Dari hasil temuan PPATK yang ditindaklanjuti oleh negara sebagai perang melawan korupsi dan terorisme. Nietzschean berbicara moralitas tuan dan moralitas budak. PPATK berbicara temuan tidak wajar atas pengelolaan ACT hasil analisisnya yang menukik.
Tetapi, Nietzschean menihilkan ACT karena “menjual” agama. PPATK tidak menentang Nietzschean akibat fase tragis melewati ketidakrangsangan manusia terhadap yang bukan dirinya. Nafsu dan kenikmatan itulah dirinya. Tamatlah nalar!
PPATK menemukan dana amal per tahun, tetapi menetralkan dirinya terhadap laporan kemerosotan moral atau penghancuran integritas pribadi.
Satu cara PPATK untuk mengetahui tentang seluk beluk pengelolaan dana, apakah tepat sasaran atau tidak melalui analisis, yang diyakininya jelas dan nyata. Ia tidak memiliki kewenangan mengembar-gemborkan kemorosotan moral. Ia menunjukkan ke mana daya nalar pengurus ACT takluk di hadapan dana amal.
Jika dilihat dari kasusnya yang cukup berat, ACT menghidupkan manusia sekaligus meruntuhkan martabatnya. Mengapa tidak? Karena ia bermain dalam pelanggaran batas-batas. Negara memiliki aturan main tentang batas alokasi dana bantuan sesama, yang ditabrak oleh ACT.
Bagi institusi berwewenang, ia tidak mengkriminalkan nafsu syahwat dunia atau berfasilitas mewah dari sumber ACT, melainkan penyelewengan dana. Pihak berwewenang tidak akan melakukan proses hukum bagi petinggi yang memperkaya diri selama sumbernya sah, tanpa mengeruk keuntungan dibalik dana amal.
Melalui cara dan sumbernya jelas, sah atau transparan tidak dikenakan pasal kriminilitas.
Bagaimanapun juga, aroma penyelewengan dana, sekalipun disembunyikan berlapis-lapis, akhirnya akan terendus. Hanya soal waktu saja untuk membuka kedoknya.
Fakta berbicara ketika ACT dinilai bersih dan jelas oleh institusi audit publik, ternyata menyimpan ‘bom waktu’, yang siap meledak kapan saja. Ditutupi kebenarannya, terbukti begitu rawan penyelewengan.
ACT menggambarkan dirinya sebagai pemilik kehidupan yang bermanfaat bagi sesama. Kehidupan sosial diubahnya menjadi mistisisme kedermawanan yang melimpah di tengah orang-orang yang masih menunggu uluran tangan.
Sisa apalagi yang ditorehkan oleh ACT sebagai pergerakan amal kemanusiaan, yang berakhir dengan keputusan pemerintah untuk mencabut izin pengumpulan uang dan barang. Peraturan ditegakkan dari kedermawanan yang memilukan. (suara, 2022/07/06/)
***
Betapa senangnya sebelum ketahuan! Hidup yang menantang! Dia belum penasaran pada godaan besar yang bukan lelucon kecil dari kenekatan berbahaya. Bahaya moral mempunyai kepentingan bagi “spiritualitas” berahi antara pria dan wanita. Bahwa seluruh jiwanya yang digelapkan oleh hentakan nafsu berahi tidak terhindarkan sulit disembuhkan.
Kehidupan agama dan diskursusnya, tatkala tujuan dan nilainya nampak akan lenyap.
Sekian hari, pelanggaran norma agama melemparkan tubuhnya dalam dekapan nafsu berahi. Tidak semua api asmara dipadamkan dan diselesaikan melalui pernikahan yang sah.
Dia tidak akan pernah lagi menampilkan kesucian dirinya akibat perbuatan nista. Ia juga tidak menemukan keindahan saat perbudakan nafsu berahi bercokol dalam sosok pria. Apalagi sosok pria yang dihormati karena kharisma terbentuk dari aura keagamaan, yang mengedepankan tanda kesalehan.
Selang waktu sekian lama, hukum belum membatasi ruang geraknya. Sosok pria anak dari pimpinan institusi pendidikan keagamaan mengalami mabuk godaan nafsu berahi. Wajah yang lugu dari sosok pria itu terletak di atas semua kesalehan yang memalukan.
Halaman selanjutnya >>>
- Kesantunan Politik, dari Teks ke Panggilan - 8 Agustus 2022
- Si Penggoda, Nafsu, dan Tubuhku - 21 Juli 2022
- Satu Gurauan Politik dan Suguhan Metafora Bakal Terjadi di 2024 - 7 Juli 2022