
Nalar Politik – Beredar di grup WhatsApp, tulisan Arif Susanto ini merupakan tanggapan atas kritik Hamid Basyaib terhadap pidato Fransisco Budi Hardiman. Mengedepankan skeptisisme, ia menilai HB keliru secara mendasar dengan mencela bahwa para filsuf sama belaka tendensi mentalnya yang gemar meratapi perkembangan sosial baru dengan murung.
“HB lupa, seperti halnya kritik dia terhadap FBH, tugas bertanya itu pertama-tama mengandaikan skeptisisme,” tulis Arif, Sabtu (11/12).
Menurutnya, keraguan dalam skeptisisme adalah modal untuk menemukan apa yang mungkin keliru dan berikutnya mencoba mencari tatanan alternatifnya.
“Tidakkah selalu ada rongga pada setiap realitas dan filsafat (juga agama dan sains) memiliki tugas untuk meminimalisasinya? Sebaliknya, kemurungan itu tidak lebih daripada kemasygulan; kegundahan yang lebih banyak menghasilkan rasa pilu. Keduanya terang berbeda.”
Arif mengaku tulisan tanggapannya bukan merupakan suatu pembelaan bagi FBH, yang memang tidak dibutuhkannya. Namun, HB dilihat secara ceroboh untuk sampai pada suatu simpul bahwa “FBH memotret dunia digital dengan lensa yang sepenuhnya buram”.
“Mari saya tunjukkan satu kutipan dari pidato FBH: ‘Dalam komunikasi digital tidak ada hirarki yang membatasi…tetapi, persis pada saat itu pula, ketika akses langsung ada dalam genggaman, cita-cita demokrasi terancam luput…’ Ironi ini menjadi bagian titik tolak salah satu pertanyaan penting FBH: Apakah bisa disebut demokrasi jika kebohongan merusak komunikasi? Pertanyaan ini mengandung skeptisisme dalam memotret realitas, tetapi sulit muncul dari suatu lensa buram.”
Ia juga menyadari FBH akan menjadi subjektif belaka jika hanya melihat fenomena komunikasi digital sebagai sepenuhnya baik atau seutuhnya buruk. Strategi tulisan FBH, dalam tafsirannya, bertolak dari suatu ironi komunikasi digital untuk kemudian mengupayakan apa yang dapat dilakukan filsafat pada zaman ketika manusia berhadapan dengan kompleksitas baru: saat dunia digital dan dunia korporeal bersilangan.
“Apa yang dicandra HB sebagai ‘memotret dengan lensa yang sepenuhnya buram’ sebaliknya adalah ekspresi fokus dan konsistensi, yang menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap tulisan yang baik. Jadi, di luar kebaikan yang terkandung dalam komunikasi digital, FBH melihat ada tendensi keburukan.”
Dari posisi itulah, lanjut Arif, lensa FBH terfokus untuk dapat mengenali ambivalensi komunikasi digital. Ia melihat FBH tidak berhenti di situ, melainkan lebih lanjut mendorong apa yang dapat dilakukan oleh filsafat berhadapan dengan negativitas itu.
“Lalu, apakah FBH mengelus-elus masa silam yang diandaikan berisi kemuliaan belaka? Lagi-lagi HB menyalahpahami strategi menulis.”
Baca juga:
- Kritik Hamid untuk FBH: Merayakan Kemurungan Hidup Bersama Filsafat
- Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital Menurut F. Budi Hardiman
Seperti banyak penulis lain, jelasnya kembali, FBH mengutip secara selektif pandangan-pandangan terdahulu (dari Descartes hingga Arendt) sebagai bagian rute penelusuran konsep sekaligus penguatan posisi sebelum sampai pada tesis tertentu yang ingin dipertahankannya. Arif memandang tidak setiap pandangan filsuf terdahulu hingga kini berisi sepenuhnya kebijaksanaan, dan karenanya mereka berpeluang untuk dikritik.
“Ketika Hatta membahas sebagian pandangan genial dari masa Yunani Kuno, Anda tidak bisa menyebut bahwa bagi Hatta masa silam lebih baik dibandingkan masa kini. Tentu ada kebaikan dan keburukan, tetapi pengalaman dan pemikiran terdahulu (terutama yang bijak) menyediakan kita cermin untuk berkaca tentang apa yang mungkin keliru dengan hari ini.”
Meski HB dinilai benar ketika menyebut bahwa sekarang akses publik ke sumber-sumber informasi itu melimpah, dan fakta itu dianggap tidak diingkari oleh FBH, penulis menyebut HB tampak kelewat optimistik dengan melanjutkan bahwa situasi tersebut sudah pasti membuat jauh lebih banyak orang mampu berefleksi-diri.
Ia kemudian mengutip akhir tulisan FBH yang membahas tentang “anugerah komunikasi” dengan menegaskan bahwa manusia tidak memegang kendali atas seluruh peristiwa komunikasi. Persis di situ, menurutnya, terdapat suatu tugas bersama untuk menjadikan komunikasi digital sebagai sarana mencapai saling pengertian.
“Refleksi ini menjadi kontekstual menimbang bagaimana keberlimpahan informasi dan kemajuan teknologi digital pada berbagai kasus justru secara ironi menjadi sumber musibah. Lihatlah Pemilu AS 2016, Brexit 2016, atau Pemilu Indonesia 2016 ketika badai disinformasi justru mengecoh banyak orang yang gagal memanfaatkan instrumen-instrumen digital untuk berefleksi dan mewujudkan komunikasi bersama penghormatan mutual.”
Cara pandang semacam itu dinilai justru berpeluang untuk menghindarkan dunia dari kemungkinan skenario apokaliptik, dan bukan secara kelewat pesimistik melihat dunia dengan perkembangan terkininya tidak lebih daripada gambaran tentang “kiamat makin dekat”.
“Kesalahpahaman ini membuat argumen HB yang kelewat optimistik melihat perkembangan komunikasi digital itu justru menggendong pesimisme apokaliptik.”
Terkait penegasan HB bahwa “kenyataan sejauh dibicarakan” itu bukan ciri khas dunia digital, melainkan terjadi sejak hari pertama media massa ditemukan, Arif menilai HB hanya separuh benar dan lagi-lagi menyalahpahami FBH.
“Betul bahwa lewat kehadiran media massa, ‘realitas sejauh dibicarakan’ itu kerap mengecoh dan kadang dipersepsi sebagai kenyataan. Problem terkini terletak tidak semata di situ.
Ia pun mengutip kembali FBH yang menyebut “…luapan informasi mengkooptasi kesadaran dan mengacaukan persepsi pengguna gawai…orang menjadi lebih percaya kepada realitas sejauh dibicarakan…” Kata ‘luapan’ di sini dimaknai cukup kuat menjadi pembeda antara kehadiran informasi pada abad ke-17 dibandingkan pada era digital.
Baca juga:
“Kelimpahruahan informasi ini, seperti juga kemudahan akses informasi, celakanya tidak serta-merta memampukan banyak orang untuk menjadi makin reflektif (seperti optimisme berlebih HB), melainkan menenggelamkan sebagian dari mereka dalam simulakra.”
Terlepas dari tanggapan utamanya, Arif tetap merasa gembira dengan kritisisme HB. Ia menilai, setidaknya HB bisa jadi tidak ingin membiarkan gagasan-gagasan FBH membeku dan dipuja sebagai mitos.
“Dengan itu, HB sedang mempraktikkan filsafat dengan tugas pokoknya menggugat, mempersoalkan, atau sederhananya: bertanya.”
- Jika Pasangan Amin Maju, Hanya 16,5 Persen Warga Akan Memilih - 22 September 2023
- Figur Presiden Lebih Kuat daripada Partai Politik - 8 September 2023
- Rakyat Indonesia Menolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara - 27 Agustus 2023