Dalam panggung politik Indonesia saat ini, perbincangan mengenai Puan Maharani dan Airlangga Hartarto mendominasi. Kedua sosok ini bukan hanya sekadar pasangan dalam politik, tetapi juga representasi dari dua kekuatan utama dalam kontestasi politik di tanah air. Namun, Survei Merah Putih (SMRC) menunjukkan bahwa mereka berdua sangat tidak kompetitif. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami bahwa Puan Maharani dan Airlangga Hartarto berasal dari latar belakang politik yang kuat. Puan, sebagai cucu proklamator sekaligus Ketua DPR RI, memiliki legacy yang kaya. Sementara itu, Airlangga, yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengemban beban tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan ekonomi bangsa. Namun, meskipun memiliki latar belakang yang solid, alasan kenyataan bahwa keduanya dianggap tidak kompetitif perlu ditelusuri lebih dalam.
Pertama-tama, marilah kita analisis faktor popularitas. Dalam survei, popularitas adalah salah satu variabel kunci yang menentukan tingkat daya saing seorang calon. Namun, data menunjukkan bahwa Puan dan Airlangga kurang mendapat sambutan hangat dari publik. Ini mencerminkan adanya jarak antara mereka dengan masyarakat luas. Masyarakat seolah kehilangan ketertarikan terhadap figur-figur ini, baik dari segi karisma maupun kemampuan politik yang dianggap tidak menggugah.
Ketidakkompetitifan juga dapat dilihat dari perspektif komunikasi politik. Dalam era informasi yang sangat cepat dan dinamis, keterampilannya dalam menyampaikan pesan politik menjadi semakin krusial. Puan dan Airlangga kerap kali terlihat terjebak dalam narasi yang monoton dan konvensional. Mereka membatasi diri dalam komunikasi yang tidak cukup inovatif, sehingga gagal menggaet perhatian generasi muda yang merupakan pemilih potensial di masa mendatang. Dengan tantangan zaman yang mengharuskan adaptasi dan kreativitas, stagnansi dalam pendekatan mereka jelas akan menjadi beban.
Mari kita pertimbangkan juga aspek kebijakan. Kebijakan yang diluncurkan oleh kedua tokoh ini tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat. Banyak kalangan yang merasa bahwa langkah-langkah yang diambil kurang relevan dengan kebutuhan mendesak saat ini. Misalnya, ketika tekanan untuk memulihkan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 semakin kuat, sikap proaktif mereka dalam memberikan solusi terkesan kurang greget. Masyarakat membutuhkan tindakan nyata dan cerdas, bukan sekadar ucapan manis yang kemudian diabaikan.
Ketidakmampuan Puan dan Airlangga dalam menjawab tantangan kontemporer menjadi isu pokok yang tak bisa diabaikan. Mereka tampaknya lebih terbiasa dengan cara-cara politik tradisional, yang kini tak lagi efektif. Dalam medan perangpolitik yang kontemporer, dinamika pemilih semakin kompleks dan bervariasi. Kesulitan untuk meremajakan strategi dan mendiversifikasi kebijakan hanya akan memperparah posisi mereka di mata publik.
Selanjutnya, faktor internal dari partai politik tempat mereka bernaung pun patut untuk diulas. PDIP dan Golkar, sebagai dua partai besar yang mendukung mereka, memiliki tantangan tersendiri. Retorika dan aksentuasi yang didorong oleh partai tidak selalu selaras dengan keinginan masyarakat, yang semakin kritis dan cerdas. Sebagai kader partai, Puan dan Airlangga seharusnya mampu menjembatani gap antara kebijakan partai dan harapan publik. Namun, ketidakmampuannya dalam hal ini hanya akan mengakibatkan mayoritas pemilih beralih kepada alternatif lain yang dianggap lebih relevan.
Di samping itu, tim kampanye mereka juga berperan penting. Dalam hal ini, upaya mereka dalam menjangkau pemilih yang lebih luas dan beragam tampaknya belum cukup maksimal. Strategi digital biasanya dianggap sebagai kunci untuk memaksimalkan jangkauan, tetapi bila tim ini tidak memiliki visi dan pemahaman kedalaman tentang audiens mereka, hasilnya akan nihil. Kesenggangan antara pendukung dan figur politik kian menyempit, menjadikan ketidakcompetitivan semakin nyata.
Selain itu, ada pula faktor psikologis yang berperan dalam menilai kompetitivitas tiap kandidat. Wajah-wajah baru di arena politik sering kali membawa harapan baru bagi masyarakat. Adanya tokoh muda atau berani yang muncul ke permukaan dapat menjadikan Puan dan Airlangga terlihat kurang mempunyai daya tarik. Keduanya mungkin saja menginginkan untuk mempertahankan pola tradisional, namun arus pergerakan di kalangan pemilih modern menunjukkan tren yang bertolak belakang.
Dalam menjawab tantangan ini, baik Puan maupun Airlangga harus melakukan evaluasi mendalam tentang diri mereka dan pendekatan politik yang selama ini mereka jalani. Mungkin, saatnya bagi mereka untuk menengok ke belakang dan merenungkan bagaimana cara-cara baru dalam berpolitik bisa diadopsi. Membangun kedekatan emosional yang lebih kuat dengan masyarakat, berkomunikasi secara terbuka dan inovatif, serta mendengarkan aspirasi publik dengan tulus adalah langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan dengan seksama.
Dalam kesimpulannya, ketidakkompetitifan yang dialami oleh Puan Maharani dan Airlangga Hartarto bukan sekadar masalah individu, melainkan merupakan refleksi dari keseluruhan sistem politik yang harus terus beradaptasi dengan konteks dan kebutuhan masyarakat. Mereka harus mengambil langkah berani untuk bertransformasi, agar dapat menemukan jalan baru yang akan membawa mereka lebih dekat dengan harapan rakyat. Hanya dengan demikian, keduanya bisa memulihkan kembali kepercayaan dan popularitas yang telah memudar.






