Smrc Sikap Warga Terhadap Fpi Dan Mrs Kurang Positif

Dwi Septiana Alhinduan

Fenomena kehadiran FPI (Front Pembela Islam) dan sosok Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam ranah politik Indonesia telah melahirkan beragam pandangan di masyarakat. Sebagaimana diungkap dalam kajian yang dilakukan oleh SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting), sikap warga terhadap kedua entitas ini terbilang kurang positif. Namun, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang sikap tersebut? Apakah ini semata-mata karena isu-isu yang beredar, atau ada faktor-faktor yang lebih mendalam? Mari kita telaah lebih lanjut.

Untuk memulai, kita perlu memahami apa yang membuat FPI dan HRS menjadi sorotan. Sejak keberadaan mereka, FPI telah mengusung agenda yang bersifat kontroversial. Aktivisme mereka dalam mempertahankan nilai-nilai agama, khususnya Islam, sering kali diwarnai dengan aksi-aksi yang memicu pro dan kontra di kalangan publik. Di sisi lain, HRS, sebagai pimpinan FPI, memiliki magnetisme tersendiri, terutama di kalangan pendukungnya. Namun, bagaimana pandangan umum masyarakat terhadap keduanya?

Menurut data dari SMRC, mayoritas responden menunjukkan ketidakpuasan terhadap sikap dan tindakan FPI. Ada kekhawatiran yang mengemuka, seperti citra intoleransi yang melekat. Masyarakat Indonesia yang dikenal akan keragaman budaya dan agama, tentunya mengharapkan sikap saling menghormati antar sesama. Sikap FPI yang dianggap seringkali menempatkan satu kelompok lebih tinggi dari yang lain menimbulkan ketegangan, bukan hanya di tingkat sosial, tetapi juga politik.

Di sisi lain, Habib Rizieq Shihab, sebagai tokoh yang karismatik, berhasil menarik perhatian banyak kalangan, namun sekaligus juga menciptakan polemik. Sikap dan retoriknya yang cenderung provokatif sering kali menjadi bahan perdebatan di banyak forum dan media. Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana pengaruh HRS dalam membangun opini masyarakat? Apakah pengikutnya murni didasari oleh keyakinan ataukah ada kepentingan politik di baliknya?

Ketidakpuasan publik pun berlanjut ketika aksi-aksi FPI dianggap melewati batas. Banyak yang merasakan bahwa keamanan dan ketertiban mulai terganggu. Tak jarang, aksi demonstrasi mereka berujung pada bentrokan dengan aparat keamanan, yang jelas-jelas berdampak negatif pada citra Islam yang seharusnya damai. Ketika provokasi dihalalkan, masyarakat angkat bicara. Iklim intoleransi pun tampak semakin terasa, menciptakan jalan berliku untuk merajut kembali persatuan.

Melihat dari perspektif lebih luas, perilaku FPI tentunya memberikan tantangan bagi pemerintah. Apakah pemerintah mampu menegakkan hukum dan keadilan tanpa terjebak dalam upland politik yang rumit? Penegakan hukum menjadi krusial di sini. Ketika administrasi negara tidak tegas, malu-malu dalam menangani masalah, maka kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah pun akan terus menyusut.

Pihak pemerintah juga perlu membangun dialog, bukan sekadar pendekatan represif. Ada kebutuhan mendesak untuk melakukan diskusi terbuka dengan kalangan yang berbeda pandangan, termasuk FPI dan pengikutnya. Ini sebagai upaya untuk meramu solusi kolektif, alih-alih sekadar mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.

Sementara itu, peran media dalam membentuk opini publik sangat penting. Media harusnya bertindak sebagai penjaga netralitas, meliput dengan adil dan berimbang, sehingga memberi ruang bagi semua suara untuk didengar. Sayangnya, realita seringkali menunjukkan sebaliknya. Framing negatif yang konsisten terhadap FPI dan HRS bisa memperparah polarisasi yang ada. Namun, di sisi lain, sensitivitas yang tinggi terhadap isu-isu keagamaan juga perlu diperhatikan agar tidak memperparah keadaan.

Adalah tugas kita untuk mempertanyakan, “Apakah kita ingin terus berhadapan dengan situasi yang memecah belah ini?” Ataukah sudah saatnya untuk beranjak melangkah maju, mencari titik temu, dan membangun kesepahaman yang lebih konstruktif? Kesedihan melihat masyarakat terpecah belah seharusnya menjadi cambuk untuk bertindak. Bagaimana jika kita semua, dengan berbagai latar belakang dan pandangan, berupaya untuk merangkul perbedaan sebagai bagian dari keindahan berbangsa?

Dengan demikian, kita perlu menyadari bahwa sikap warga terhadap FPI dan HRS bisa jadi mencerminkan keresahan yang lebih besar terkait nilai-nilai kebangsaan dan kerukunan. Ini bukan hanya soal satu kelompok atau sosok tertentu, melainkan sebuah proses mencerna kompleksitas identitas bangsa. Menyelesaikan persoalan ini memerlukan ikhtiar bersama, kolaborasi antar elemen masyarakat, dan tentunya, kesadaran bahwa toleransi bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi harus terimplementasi dalam tindakan nyata.

Terakhir, tantangan bagi kita semua adalah bagaimana menyusun narasi yang lebih inklusif, memfasilitasi diskusi dan dialog antarkelompok, serta menciptakan ruang di mana setiap suara dapat disuarakan dengan rasa saling menghormati. Ini bukan pekerjaan enak, tetapi mari lihat ini sebagai tantangan yang perlu dihadapi secara kolektif demi masa depan yang lebih cerah bagi Indonesia.

Related Post

Leave a Comment