Stabilisasi Reformasi

Stabilisasi Reformasi
©The Diplomat

Reformasi yang pelbagai komponen bangsa gulirkan 20 tahun yang lalu adalah pintu masuk bagi segala kemungkinan.

Era transisi ini membuka kemungkinan bagi terciptanya demokrasi yang stabil, tetapi juga membuka kemungkinan bagi berkuasanya kembali rezim otoriter lama, otoriter baru, atau anarki yang tiada henti. Di titik inilah perlu terus kita lakukan upaya mengawal reformasi agar tidak melenceng dari tujuan awalnya.

Enam agenda reformasi yang mahasiswa gulirkan tahun 1998 perlu terus kita jaga dan jadikan semacam indikator berhasil-tidaknya era reformasi ini. Enam agenda reformasi itu adalah penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi TNI/Polri, dan pemberian otonomi daerah yang seluas-luasnya.

Secara umum, sebagian besar agenda reformasi ini memang belum tersentuh secara maksimal. Tetapi tidak juga mungkin kita mungkiri bahwa usaha-usaha ke arah itu sudah ada.

Pertanyaan besarnya adalah kenapa usaha yang sudah coba kita lakukan itu tampak belum maksimal? Penegakan hukum tampak berhenti pada angan-angan dan harapan ketimbang mewujud pada tataran riil. Pemberantasan korupsi masih terlalu banyak menjadi sekadar wacana.

Soeharto yang terduga menjadi salah satu koruptor nomor wahid tidak pernah tersentuh hukum sampai ajal menjemput. Amandemen konstitusi masih berjalan setengah-setengah.

Pencabutan dwifungsi TNI/Polri tampak tidak berpengaruh pada kinerja kedua lembaga tersebut. Sementara otonomi daerah malah menyuburkan praktik korupsi dan menjadi lahan subur tumbuhnya radikalisme agama dan sektarianisme kedaerahan.

Sebetulnya era transisi adalah era yang paling sulit bagi sebuah bangsa. Era ini menjadi ajang pertarungan banyak sekali kepentingan. Kekuatan lama yang tidak sepenuhnya kehilangan kekuasaan akan berusaha memulihkan kekuasaannya kembali.

Baca juga:

Sementara penguasa baru masih terlalu rapuh dan tidak memiliki dukungan kuat dari jaringan birokrasi yang masih sangat dikuasai oleh rezim lama. Tentu saja sangat sulit mengharapkan sebuah perubahan cepat pada kondisi semacam ini.

Yang mungkin kita lakukan adalah sebuah perubahan gradual, di mana rezim baru dan kekuatan lama terus melakukan dialog dan negosiasi.

Negosiasi adalah pekerjaan yang melelahkan dan membutuhkan energi yang tidak sedikit, tetapi ini harus kita lakukan agar perubahan gradual terus terjadi. Jika tidak, maka anarki dan jatuhnya korban akan menjadi menu sehari-hari. Alih-alih terjadi perubahan signifikan, yang terjadi justru adalah ketidakstabilan akut yang susah pulih.

Ketidakstabilan politik dan keamanan yang mungkin timbul dari konfrontasi yang berlebihan antara rezim baru dan kekuatan lama akan berpengaruh besar kepada iklim pertumbuhan ekonomi. Sementara stabilitas pertumbuhan ekonomi mutlak ada untuk meredam gejolak sosial yang kerap kali lumrah di masa transisi.

Sebagaimana lazim gejolak ekonomi, ia akan meluluhlantakkan rezim apa pun yang sedang berkuasa. Itulah yang membuat presiden Soekarno dan Soeharto jatuh. Kita sangat tidak menghendaki era reformasi ini akan berakhir tragis hanya karena semua rezim yang berkuasa tidak memperoleh legitimasi rakyat karena gejolak ekonomi yang tak terkendali.

Di sinilah rezim yang sedang berkuasa kita tuntut untuk bisa menyelesaikan dilema yang ada. Rezim harus mampu memberikan kepuasan ekonomis jangka pendek tetapi tetap harus mengagendakan kebijakan jangka panjang agar rezim tidak rapuh.

Kebijakan-kebijakan jangka pendek kerap kali bertentangan secara diametris dengan kebijakan jangka panjang. Kebijakan-kebijakan jangka pendek adalah kebijakan populis yang bisa meredam gejolak.

Halaman selanjutnya >>>
Saidiman Ahmad
Latest posts by Saidiman Ahmad (see all)