Stadion Kanjuruhan, Colesseum-nya Indonesia

Stadion Kanjuruhan, Colesseum-nya Indonesia
©Kompas

Malang malam itu
malang sepanjang jalan

oh langit lapang bulan purnama
pudar namamu cahaya tak bernama
duka, duka, dan duka
oh, amat dalam…

gairah colosseum, pesona gladiator, hiruk-pikuk kematian
adalah arketipe setiap pemain
membunuh adalah pahlawan
kesadaran paling purbakala
kita mungkin menyimpannya sebagai jejak subtil evolusi

ia tiba lagi di sini, di tapak kaki kita
kaki yang menjelajahi bumi
diasuh oleh olahraga lapangan
tapi amarah mengubahnya menjadi pedang gladiator Romawi

arema yang geram jadi terbenam
senja melingkupi ratusan wajah
kalang kabut langit malam
ribuan bintang kematian menyanyikan cahaya

apa yang kau kenang:
stadion sebagai colosseum
atau pemain sebagai gladiator?

Permainan atau Pertandingan

permainan atau pertandingan
yang lebih menggugat rasa-hatimu?

anak-anak di tanah lapang, tanpa baju,
mencintai matahari seperti memeluk ibunda
riang mengejar imaji dari bola plastik yang amat murah

permainan adalah kegembiraan tanpa harga
sebab lebih berharga dari jual-beli pasar modern

permainan adalah komedi tanpa panggung
tak butuh juri untuk menilai,
tak pula inginkan tepuk ria penonton
ia hati yang mekar berbungan karena persahabatan

hunian masa kecil, main bola di halaman
tinggal sayup-sayup
lampu-lampu kota bagai terik
hidup adalah pasar, adalah kawan lawan
inilah pertandingan, uang di meja judi
kekalahan itu haram, kemenangan adalah arogansi

sepak bola jadi market baru
demi kantong kapital yang lain terhempas

ribuan gugur kamboja runtuh di lapangan itu
wanginya tetap duka kelopaknya tetap malam dingin

Aku Takut  (1)

Di atas batu sepi yang ceper dan dingin
aku bersila menyelam laut sunyi.

Kuhirup ruah Eden  dan
kuhembuskan prahara terbawa alir Yordan.

Tubuhku membening tenang,
jumbai jubah-Nya mengibas alis jiwaku.
Dan aku takut:
“Apakah Tuhan hanya ada di kesunyianku, di sendirinya diriku ?”

Aku Takut  (2)

Aku karam karena sakit.
Mulai kubayangkan Tuhan yang baik, penyayang dan maharahim
Kuberdoa, ”Tuhan bolehkah aku bagikan lukaku ‘tuk-Mu?”

Telapaknya nan agung menangkup mesra,
aku lanjut berlayar karena sembuh.
Masih juga kuragu:
“Apakah Tuhan  hanya benar-benar hadir di kala
aku terhempas badai?”

Aku Takut  (3)

Aku takut:
Tuhan kesepian dan sakit

Suatu Malam di Tempat Pameran
Bulan Sabit pun Tersenyum Binar

Malam menanggalkan dingin dan ingin berpendar gemerlapan
di antara hiruk-pikuk pesona dan gemuruh debur kagum.
Kita berjumpa walau keluh; adakah dulu mawar sempat mekar?
Sekejap kecap anggur terteguk.

Kita berpisah ketika lukisan dan pembacaan sajak
menjadi pilihan ingin masing-masing. Aku masuk aula
dan kau menata senyum dari binar kagum matamu
Pada stan yang memajangkan lukisan-lukisan eye catching

“Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka”
Kuingat baris Toto ketika kupandang jauh.
Dari pintu kubalas senyum bulan
Sambil kudengar bisiknya:
“Malam ini kutitipkan purnama untukmu.”

Orang ramai mengurai rinai rindu.
Di sepanjang tatap membekas percik-percik
nostalagia. Aku semakin sendiri.
Di depanku ada yang merona:
Anak-anak cacat merayakan ria gembira yang sendu.
Langkah mereka mengharukan; kaki-kaki kecil
yang kehilangan firdaus, galau gemulai
sepi dari alas kaki bagai kemarau di ranting cemara

Kudekati seorang yang masih riang.
Bertumpu dengan kaki kanan, keringat memancar dari pipi
Ia tersenyum padaku dan berkata: “Aku sedang merayakan purnama.”
Aku kagum-kagum: “Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka.”
Aku memeluknya erat dan kurasakan hangatnya rembulan
dan belaian gemintang dari lengan perkasa.

Malam itu, bulan sabit pun tersenyum binar.

Edy Soge
Latest posts by Edy Soge (see all)