Stephanie dan Kopi Kenang-Kenang

Stephanie dan Kopi Kenang-Kenang
©Blogspot

Satu-satunya caraku agar bisa mengingat kamu, Stephanie, adalah dengan  menyeruput kopi saban hari. Sebab, selain membuat inspirasi menulisku makin bertambah-tambah, juga sebagai bentuk memoria untuk yang sudah pergi.

Seperti pagi ini, ketika mengingatmu, aku cepat-cepat bangun dan memelukmu lewat doa. Erat sekali. Sebab, tiba-tiba saja, kenangan kita menyelinap dalam doa-doaku yang membubung menuju langit ganih.

“Stephanie, teguklah kopimu sebelum kenangan membuatnya dingin. Sebab rindu masih terlalu jauh kau tempuh.”

“Rindu? Rindu itu rupa apa? Rindu itu milik siapa?”

“Rindu itu degup jantungmu yang gugup dan gagap tiap kali kau mendamba jumpa pada dia yang kau cinta.”

“Untuk sementara, cinta hanya defenisi umpama-umpama yang kadang keras kepala menumbuhkan rindu di balik dada.”

“Akh! Logis. Kau makin filosofis dalam bicara.”

“Ya, kira-kira begitulah.”

 “Kemarilah. Siapa yang kamu tunggu? Kenangankah?”

“Hhmm, aku menunggu pelangi, biasanya saat gerimis ia akan muncul.”

 “Suka menatap pelangi? Ehm, sendirian?”

“Suka, suka sekali… ya sendirian atau lebih tepatnya sendiri berkawan sunyi.”

“Hahaha…. biasanya wanita seusiamu tidak suka bersunyi-sunyi. Sebab mereka sering sibuk berhahahihi di dunia maya, ‘kan orang-orang milenial?”

Sebuah tawa yang sengau dari suaranya dan pernyataan yang menyindir  membuatku sesaat tersedak. Entahlah, aku selalu menyukai tempat ini meski tanpa hujan yang melahirkan pelangi. Berada di sini, aku mendapat banyak sekali inspirasi dan melahirkan banyak puisi sebagai sebuah kegilaan.

Aku suka menulis dan sudah sering berlama-lama di sini sambil menyeruput kopi hingga tuntas dan memeluk sunyi sampai puas. Aku mesti menghindar dari kebisingan dan ingar bingar kotaku untuk menyepi dan berjumpa dengan diri.

Lagi pula teman-teman kuliahku lebih banyak sibuk berkelana di dunia maya. Mereka sering narsis di dinding-dinding medsos dengan mengunggah status yang bukan-bukan, juga foto yang bikin mata kita banyak yang keranjingan. Pokoknya, mereka selalu ingin tampil beda selaras zaman.

“Stephanie, kamu itu ketinggalan zaman. Kita ini generasi milenial, anak-anak zaman now bukan zaman old”! Angel anak anggota dewan menegurku hanya karena merek hapeku kurang berkelas seperti mereka.

Angel itu orangnya cantik dan selalu berpenampilan aduhai. Ia juga punya mustang pribadi. Kuharap itu bukan hasil korupsi ayahnya yang kudengar-dengar ingin bertarung lagi merebut kursi empuk di kotaku dalam pilkada nanti.

Kadang teman-teman kuliahku juga menegurku. Bila setiap waktu luang, aku lebih suka duduk di taman ini sambil membaca, menulis, dan tak lupa menyeruput kopi.

“Tak usah susah-susah membeli buku, Stephanie, lebih baik langsung baca di media-media online, ‘kan zaman sekarang sudah canggih.” Evelyn menyindirku yang sedang tenggelam dalam lautan kata-kata Negeri Para Bedebah karya Tere Liye yang baru kubeli kemarin di Gramedia.

Benar juga sih celetuk dari Evelyn, tetapi aku masih menyukai kebiasaanku untuk membeli buku. Lagi pula setelah kelar membaca, aku akan memberi kepada anak-anak di kampungku. Intinya, aku masih suka membaca buku yang kubeli dari Gramedia.

Hal ini bukan mau sombong atau apalah menurut Anda-kalian. Tetapi diam-diam aku juga berperan dalam menyukseskan program pemerintah yang tengah gencar belakangan ini, yakni tentang literasi.

Lalu lelaki yang tiba-tiba mampir di sebuah pagi yang berembun setelah aku merangkai doa dan menjahit puisi. Dan sebelum bianglala muncul memberiku pertanyaan yang menyindir serempak membuat aku setengah terperanjat dan ingin tertawa.

“Hahhaaa.. tidak juga, aku hanya meluangkan waktu dari kesibukan kuliah untuk bersantai di taman ini.”

“Oh, kupikir kamu lagi menunggu seseorang atau barangkali kenangankah?”

“Kenangan? Iya…aku juga sedang menunggu dan merindukan kenangan  di kampungku yang tidak kutemukan di sini.”

“Kalau boleh tahu, kenangan apa?”

Aku tertunduk sebab kenangan yang menjadi kerinduanku itu sederhana saja. Aku menyukai saat-saat seperti ini saat hujan yang jatuh rimis biasanya anak-anak kecil di kampungku akan berkejaran di pematang sawah.

Sambil bertelanjang dada, mereka menyanyikan sebuah lagu yang setiap kali bila mendengarnya selalu membuat aku tersenyum. Ada semacam rasa senang yang membuncah dari balik dada. Aku selalu suka sebab suara-suara yang lugu dan aksen bahasa daerah yang masih kental menjadikan lagu yang dinyanyikan itu kedengarannya begitu miring.

Tetapi meski begitu, mereka sangat riang dan sungguh menikmati. Aku tak tahu siapa pencipta lagu itu dan sampai kini aku hapal betul liriknya. Lagu itu menjadi semacam teman bermain anak-anak.

Berbeda dengan anak-anak di tempat aku menimba ilmu kini. Anak-anak di sini punya kesenangan yang lebih istimewa,yakni bermain game dari gawai pemberian orang tua mereka. Mereka anak-anak kota dan orang tua mereka sibuk bekerja.

Gawai menjadi semacam hiburan buat mereka untuk tidak merengek dan menangis. Aku khawatir, jangan-jangan mereka di sini tidak tahu menyanyikan lagu anak-anak. Atau barangkali sekadar permainan yang lebih kreatif, rekreatif, dan punya nilai edukatif  yang tidak diperoleh dari game-game dalam gawai mereka.

“Aku selalu merindukan anak-anak kecil di kampungku yang sampai sekarang masih jauh dari perhatian pemerintah. Mereka punya semangat untuk sekolah, tetapi mereka kekurangan perlengkapan sekolah. Sekolah saja hanya bangunan tua yang kini sudah reyot dan atap pun sudah lubang di sana-sini.

Kau tahu, aku berjuang di sini agar bisa kembali ke kampung dan mengabdi di sana. Mereka akan senang bila setiap liburan tiba, aku bawakan banyak buku buat mereka.”

Saat menceritakan kepada Ray, aku tak sanggup membendung ada gerimis yang jatuh dari langit mataku. Aku menangis mengingat semangat anak-anak di kampung untuk bisa bersekolah. Aku juga menangis karena anak-anak di sini lebih banyak menghabiskan banyak uang dan waktu hanya untuk bermain dan berselancar di dunia maya. Sedih melihat kenyataan ini.

“Aku bangga terhadap dirimu yang punya ambisi besar untuk mencerdaskan anak-anak bangsa di kampungmu. Aku yakin, pertiwi akan tersenyum dan senang melihat usahamu.”

“Terima kasih paling putih untuk dukunganmu buat mimpi-mimpiku.”

“Stephanie, kalau boleh tahu, kapan terakhir kamu melihat pelangi?”

“Hmmm..minggu lalu, emangnya kenapa?”

“Oww..kalau hari ini, lihat pelangi?”

“Tidak…tidak lihat, tak ada pelangi hari ini.”

“Akh, masa? Aku lihat kok pelangi hari ini”.

“Lihat di mana emangnya?”

“Di matamu…Biasanya setiap kali gerimis itu jatuh dari langit matamu, aku selalu melihat ada pelangi di sana. Indah sekali. Di matamu juga kutemukan bekas-bekas waktu yang kau kebas sebagai kenangan tentang gerimis.”

Aku tak bisa menahan senyum setelah ia menyeka air mata dan mendaratkan sebuah kecupan hening di bibirku. Jujur, kata-kata Ray tadi berhasil membuat degup jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

***

Ray itu seorang yang suka menulis. Di sini, ia jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Perasaan kami kembar dan sama-sama peduli dengan nasib anak-anak.

Tapi untuk liburan kali ini, Ray tak bersamaku. Ia sedang menjalani kuliah kerja nyata di daerah perbatasan, Wini. Sedang aku berusaha pulang kampung halaman dengan membawa banyak buku.

Harapku kini anak-anak di kampung bisa tersenyum riang. Sudah terlintas dalam tabung kepalaku anak-anak akan berlari menemuiku dan menanyakan buku-buku. Aku akan mengelus kepala mereka penuh kasih.

Kemudian di bawah atap alang-alang sekolah tua, kami akan bernyanyi bersama, berteriak keras-keras, membaca diam-diam, dan berdoa sopan-sopan. Aku juga punya niat untuk mendirikan rumah baca di sana.

Hayalanku buyar ketika hape di saku baju bergetar hebat. “Stephanie, sudah tiba? Hati-hati ya.” Pesan singkat dari Ray. Dan aku baru sadar bahwa sekarang aku masih di area Ende tepatnya di Roworeke. 

“Belum..belum, sedikit lagi tiba, sampai jumpa nanti ya.” Kubalas seadanya.

Dalam bis yang aku tumpangi, banyak sekali penumpang. Mereka semua sibuk dengan diri, tenggelam dalam dunia maya. Tak ada yang mau kuajak bicara. Semua perhatian disita oleh hape atau kalau anak-anak di sebelahku sibuk bermain game.

Sesekali aku melihat om sopir yang juga tidak ketinggalan. Sambil menyetir, ia berhahahihi dengan si penelpon yang entah siapa dan berani kutebak itu mungkin selingkuhannya.

Bis melaju begitu kencang, aku masih asyik membaca surat kabar dan tiba-tiba saja braaaakkkkk…..!!! ada gemuruh yang membuat segalanya hilang. Gelap. Senyap. Kata terakhir yang sempat kudengar dari beberapa penumpang  hanya ‘Tu…han tolong se..lamat..kan….. hapeee… ka…mi.. hi..lang..’.

***

Anak-anak berlarian di pematang sawah dengan dada yang telanjang. Persis saat itu mataku menangkap pelangi di sebelah timur hamparan sawah sedang nyanyian itu membuat aku tersenyum bangga.

Hanya saja kali ini suara mereka begitu samar dan aku masih hafal betul lirik itu. Samar-samar aku mendengar

Abang dari mana/ abang dari Betawi/ membawa oleh-oleh sebuah lemari/ lemari minta kunci/ kunci ada di tukang/ tukang minta uang/ uang ada di raja/ raja minta istri/ istri minta anak/ anak minta susu/ susu dari lembu/ lembu minta rumput/ rumput ada di gunung/ gunung minta hujan/ hujan dari langit// pelangi-pelangi alangkah indahnya….

Aku ingin bernyanyi, tetapi bibirku semacam dijahit. Aku hendak berlari, tetapi tak mampu. Aku hanya mampu melihat dan tersenyum dari sini. Terpaksa aku mengubur pelangi itu di pelupukku. Sebab hati ini luluh dalam keluh.

Kini, satu-satunya caraku agar bisa mengingat kamu, Stephanie, adalah dengan  menyeruput kopi saban hari. Sebab, selain membuat inspirasi menulisku makin bertambah-tambah, tetapi juga sebagai bentuk memoria untuk yang sudah pergi. Entahlah.

Rikard Diku
Latest posts by Rikard Diku (see all)