Dalam era di mana informasi dapat menyebar dengan cepat, isu kriminalisasi terhadap individu atau kelompok seringkali menjadi perdebatan yang hangat. Narasi yang mengedepankan penggambaran suatu tindakan sebagai kriminal tanpa mempertimbangkan konteks dan faktor-faktor lain dapat berujung pada penzaliman. Pertanyaannya, seberapa jauh kita dapat menerima penggambaran semacam ini tanpa mempertanyakan keabsahannya? Dan lebih jauh lagi, apa tantangan yang kita hadapi untuk melawan narasi ini?
Penting untuk mengawali diskusi ini dengan mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kriminalisasi dan penzaliman dalam konteks sosial kita. Kriminalisasi merujuk pada proses di mana tindakan atau perilaku tertentu dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Sementara itu, penzaliman mencakup segala bentuk ketidakadilan yang diterima oleh individu sebagai akibat dari stigma atau prasangka yang melekat pada mereka. Dalam banyak kasus, kedua fenomena ini berinteraksi, menciptakan spiral yang membuat sebagian orang merasa terpinggirkan.
Mari kita renungkan sejenak, siapa yang benar-benar diuntungkan dalam situasi ini? Apakah sistem hukum yang ada? Atau mungkin, kepentingan politik tertentu yang menggunakan alat hukum untuk memanipulasi kenyataan? Setiap kali individu dikriminalisasi tanpa alasan yang kuat, suara mereka tenggelam di lautan kebisingan berita yang tidak henti-hentinya menggema tentang ‘kejahatan’ yang mereka lakukan. Akibatnya, narasi mengenai mereka sebagai ‘penjahat’ melekat selamanya, tanpa memberi kesempatan untuk membuktikan diri.
Tantangan yang kita hadapi di sini adalah bagaimana mengalihkan narasi tersebut. Pendidikan merupakan salah satu alat yang paling ampuh untuk mengubah penilaian publik. Masyarakat perlu dilengkapi dengan pengetahuan yang menjabarkan kompleksitas situasi sosial dan menyebabkan tindakan-tindakan yang dinyatakan sebagai kriminal tersebut. Misalnya, banyak sekali perilaku menyimpang yang disebabkan oleh faktor lingkungan, pendidikan, kesehatan mental, dan tekanan ekonomi. Oleh karena itu, menggali dan memahami latar belakang individu adalah langkah awal menuju keadilan yang lebih inklusif.
Namun, proses ini tidaklah mudah. Ketika kita berbicara tentang perubahan narasi, kita harus berhadapan dengan sistem yang sudah berjalan lama dan mengakar. Menantang dominasi narasi kriminalisasi memerlukan keberanian, bukan hanya dari individu tetapi juga lembaga yang memiliki kemampuan untuk meredefinisi masalah. Penegakan hukum harus diimbangi dengan pendekatan rehabilitatif yang tidak hanya mengenakan hukuman, tetapi juga memahami mengapa seseorang berperilaku demikian.
Sebuah contoh menarik terjadi ketika sebuah lembaga sosial mencoba untuk menyuarakan pengalaman mantan narapidana. Dengan menciptakan platform bagi mereka untuk berbagi cerita, lembaga tersebut mengubah persepsi publik tentang penjahat. Bukan hanya individu yang tersekat dalam stigma, tetapi manusia yang memiliki kisah dan belajar dari kesalahan. Proses ini bukan hanya mengedukasi publik, tetapi juga membantu mantan narapidana untuk menemukan kembali identitas mereka di masyarakat.
Namun, apakah perubahan itu dalam jangka panjang bisa bertahan? Agar narasi positif ini dapat bertahan, dukungan dari media sangat kritikal. Media memiliki peran sebagai pembentuk opini dan dapat berfungsi sebagai jembatan antara fakta dan persepsi publik. Ketika berita lebih berfokus pada penggambaran manusia daripada pencitraan kriminal, kita berpotensi untuk merubah cara pandang masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan.
Lebih lanjut, partisipasi masyarakat dalam diskusi publik harus ditingkatkan. Masyarakat yang terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan hukum akan lebih mudah mendiskusikan dan memperdebatkan isu-isu ini. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk membentuk narasi di sekeliling kita. Apa yang bisa dilakukan untuk memastikan bahwa suara-suara yang terpinggirkan mendapat porsi yang sama dalam pembicaraan ini?
Pada akhirnya, kita tidak dapat mengabaikan dimensi psikologis dari kriminalisasi dan penzaliman. Ada dampak mental yang berat bagi individu yang mengalami stigma ini. Membangun sistem dukungan psikologis menjadi penting, agar korban penzaliman dapat meneruskan hidup mereka dan berkontribusi kembali kepada masyarakat. Tanpa langkah-langkah ini, kita hanya menghasilkan lingkaran setan dari kejahatan dan kriminalisasi.
Ketika memutuskan untuk melawan narasi kriminalisasi, kita tidak hanya berjuang untuk individu tersebut, tetapi juga untuk keadilan sosial secara keseluruhan. Dengan menyoroti tantangan ini, kita diingatkan akan pentingnya membangun kesadaran bersama agar keadilan bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi menjadi hak setiap individu. Lalu, siapkah kita untuk beranjak dari pola pikir yang sempit dan membangun narasi baru yang lebih adil dan inklusif?






