Tak Ada Bulan bagi Liliy Malam Ini

Tak Ada Bulan bagi Liliy Malam Ini
©WallpaperCave

“Pernahkah sekali waktu kau mengalami cinta seperti kematian?” tanya Liliy (perempuan cantik yang kutemui di rel kereta beberapa tahun lalu), setelah menceritakan semua hal mengapa ia begitu membenci kehadiran laki-laki dalam hidupnya.

***

Ada banyak peristiwa yang mungkin saja terjadi di muka bumi ini. Dari seluruh peristiwa itu, kesedihan menyumbang lima puluh persen lebih persentasinya.

Orang-orang tidak akan mampu mengakui kebahagiaan tanpa merasakan kesedihan lebih dulu. Banyak kenangan yang justru lebih membekas ketika dikisahkan dengan kesedihan dan juga luka.

Liliy, temanku, sangat sepakat soal itu. Dia sudah sangat merasa matang jika berbicara tentang hidup. Sebuah kefanaan yang seakan terus menyodorkan kata syukur demi terlihat baik-baik saja.

***

Sebetulnya aku tidak begitu mengenal Liliy. Selain hanya sekadar teman organisasi di luar kampus, juga teman berburu kopasus murah dan enak di warung-warung kopi terdekat.

“Nongkrong yuk. Jumat pagi biasanya ada kopi gratis. Lumayan, bisa wifian gratis sampai pagi lagi,” ucap Lily. Ajakan yang sudah kutahu pasti tidak akan ada penolakan.

Dia memang manusia paling semangat di muka bumi yang pernah kutemui. Rambut ikal, gigi gingsul, kaus oblong, celana Lois Jeans, juga totebag putih tulang bertuliskan quotes Karl Marx “Keep people from their history, and they are easily controlled” sangat pas di badannya.

Aku tetap mengenalnya sebagai pribadi periang, jauh sebelum malam itu, di rel kereta, tepat pada plang jalan bertuliskan “Batas wilayah Yogyakarta,” ia terlihat sangat asing.

Ekspresi yang tidak pernah kujumpai sebelumnya, sebuah pandangan kosong tak berisyarat, pada asap keretek yang diembuskannya dengan keras. Di sampingnya, botol minuman berserakan, entah berapa jumlahnya—ia sepertinya mabuk malam ini.

Pada saku jaketnya, ia merogoh headset yang kusut. Lama jemarinya berkutat pada kabel yang belit-membelit. Namun, tatapannya tetap tidak berada pada apa yang sedang dikerjakan.

Apakah ia sedang mengurai sesuatu yang lebih berbelit dalam kepalanya?

Dalam gelap aku seperti menemukan mata yang putus asa darinya. Aliran air mata mencoba diputus dengan sapuan tangannya—begitu keras. Dengan keras pula ia mencoba menghalau semua kesedihan.

Terlihat, ia sudah berhasil mengurai kabelnya lalu segera memasang di telinga. Duh, tangisnya malah pecah. Dan aku mendengar isaknya begitu jelas.

Aku melangkah lebih dekat ke arahnya. Suara kerikil yang kupijak tidak membuatnya bereaksi apa-apa. Padahal suasana sedang sunyi-sunyinya, pukul 00.27 begini biasanya kereta sudah jarang lewat.

“Liy,” sapaku. Tapi kali ini tak ada jawaban. Satu per satu perasaan ragu muncul dalam pikiranku, apa benar dia Liliy, jangan-jangan salah orang, atau bagaimana kalau dia sebetulnya bukan orang.

Jika memang Liliy, apa benar Liliy seberani ini—menyendiri di rel kereta, dingin, dan gelap tanpa lampu jalan? Ah, pikiran apa ini.

Halaman selanjutnya >>>
Naspadina
Latest posts by Naspadina (see all)