Tanah dan Kedaulatan Pangan

Tanah dan Kedaulatan Pangan
©MP

“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-An’am 6: Ayat 99)

Tafsir al-azhar

Ayat di atas sengaja penulis ajukan sebagai pembuka sebab erat kaitannya dengan problem sosial yang sedang dialami umat manusia serta  relevan dengan kebutuhan kita. Surah Al-An’am yang memiliki arti binatang ternak merupakan surah keenam dalam urutan mushaf Al-Qur’an dan tergolong surah Makiyah dengan 165 ayat.

Digambarkan dengan sangat gamblang dalam ayat tersebut, anugerah Allah SWT berupa kekayaan alam yang subur dengan aneka ragam tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai sumber makanan bagi manusia. Kekayaan alam ini melibatkan beberapa komponen, seperti tanah, air, benih, udara, matahari, dan komponen lainnya yang saling bersinergi membentuk alam yang asri.

Dalam tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menerangkan bahwa air memegang peranan penting menumbuhkan berbagai tumbuh-tumbuhan, mulai dari rumput hingga beringin. Tanaman yang menghijau adalah pohon-pohon yang banyak menghasilkan buah dan biji-bijian.

Selain itu, kehijauan adalah simbol kesuburan. Di antara buah dan biji-bijian itu, Allah SWT menyuruh memperhatikan kurma yang merupakan makanan penting bagi orang Arab. Kemudian terdapat pula kebun-kebun, yang di dalamnya melimpah akan anggur, zaitun dan delima.

Dalam hal ini, Buya Hamka mengkontekstualisasikan kurma, anggur maupun delima dengan buah-buahan yang umumnya kita temui di Indonesia, semisal pisang ambon, pisang raja serai, pisang raja tenalun, pisang jarum, pisang lidi, pisang tembatu dan sebagainya. Pada ujung ayat, kita diperintahkan untuk memperhatikan dengan saksama, niscaya akan timbul iman dalam hati.

Tanah sebagai sumber kehidupan

Dengan khas Melayunya, Buya Hamka hendak menerangkan bahwa ada keteguhan iman saat terjalinnya hubungan batin antara manusia dengan alam sebagai ciptaan Tuhan. Sejalan dengan tafsir Al-Azhar, kaitannya dengan tanah, memiliki keterkaitan secara natural dan terkait secara legal terhadap manusia.

Mana yang lebih utama? Jawabannya adalah keterkaitan secara natural, sebab keterkaitan legal datang belakangan setelah terbentuknya komunitas sosial.

Baca juga:

Dalam prinsip hukum, kita mengenal adagium Ubi Societas Ibi ius yang berarti di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Itulah ungkapan yang selalu didengar apabila berbicara masalah hukum.

Pentingnya tanah sebagai sumber kehidupan mengingatkan saya pada ungkapan salah seorang ilmuwan tanah asal Pakistan yang mendapat penghargaan pangan dunia tahun 2020, Rattan Lal bahwa; “stabilitas politik, kualitas lingkungan, kelaparan dan kemiskinan memiliki akar yang sama.

Dalam jangka panjang, solusi untuk setiap masalah itu adalah memulihkan sumber daya yang paling dasar, Tanah.” Franklin Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-32 bahkan menyebut; “Sejarah setiap bangsa akhirnya ditulis sesuai dengan cara mereka memperlakukan tanahnya.” Dengan demikian, pemilikan tanah hendaknya diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi ketimpangan antara satu sama lain.

Tanah untuk kepentingan umum

Dalam konteks keindonesiaan, secara umum tanah terbagi atas dua, yakni tanah yang dikuasai oleh negara dan tanah milik individu dengan sertifikat hak milik (SHM) berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Selain daripada itu, maka tanah oleh pemerintah akan dikelola untuk kepentingan umum dalam bentuk hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak membuka tanah dan memungut hasil hutan dan lain-lain.

Timbul persoalan, bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum itu seperti apa. Jan Gijsel dan J. J. H. Bruggink menyebutkan bahwa kepentingan umum merupakan suatu pengertian yang kabur (vage begrip) sehingga tidak dapat diinstitusionalisasikan ke dalam norma hukum karena dapat menimbulkan norma kabur (vage normen).[1]

Senada dengan itu, Gunanegara dalam penelitiannya menyatakan bahwa merumuskan makna kepentingan umum adalah hal yang tidak mungkin dilakukan. Tidak ada batasan makna ketentuan umum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, cara yang kemudian dipakai adalah dengan menentukan kriterianya dan menetapkannya dalam bentuk daftar (enumeratif).[2]

Dari penjelasan di atas, lahirlah UU nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum demi kebutuhan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran sebagaimana yang tercantum dalam pasal tiga.

“Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan. masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.”

Halaman selanjutnya >>>
Rizal Firmansyah Putra Moka
Latest posts by Rizal Firmansyah Putra Moka (see all)