Tantangan Diplomasi Era Soekarno Memori Kelam Indonesia Malaysia

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam perjalanan sejarah Indonesia, upaya diplomasi dan hubungan internasional selalu menjadi sorotan utama. Salah satu periode yang paling menarik untuk dikaji adalah era Soekarno, terutama dalam konteks hubungan Indonesia dengan Malaysia. Diplomasi pada masa itu tidak hanya berfokus pada politik dan ekonomi, tetapi juga melibatkan aspek budaya dan identitas nasional. Namun, perjalanan tersebut tidaklah mulus dan diwarnai oleh tantangan yang signifikan, menciptakan memori kelam yang sangat berdampak pada hubungan kedua negara.

Era Soekarno, yang berlangsung dari 1945 hingga 1967, adalah saat di mana Indonesia berjuang keras untuk menentukan jati diri di pentas internasional. Munculnya Malaysia sebagai negara tetangga pasca Perang Dunia II tidak hanya sekadar menambah kompleksitas geopolitik di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga memicu persaingan yang sengit. Fenomena ini menciptakan friksi antara kedua negara, yang dipicu oleh kebangkitan nasionalisme yang kuat di Indonesia, yang saat itu diwakili oleh sosok Soekarno yang karismatik.

Salah satu momen paling signifikan dalam hubungan Indonesia-Malaysia adalah pembentukan Malaysia pada tahun 1963. Indonesia melihat pembentukan ini sebagai upaya kolonialisasi Inggris, dan Soekarno tidak ragu untuk mengekspresikan ketidakpuasannya melalui aksi negatif, termasuk kebijakan “Konfrontasi” atau “Ganyang Malaysia”. Konfrontasi ini bukan hanya simbolik, tetapi mencerminkan rasa ketidakadilan yang dirasakan Indonesia terhadap tindakan Inggris dan impunitas yang diberikannya kepada Malaysia. Dalam hal ini, Soekarno menggunakan retorika yang mengobarkan semangat nasionalisme untuk menjustifikasi langkah-langkah yang diambil.

Namun, di balik tindakan agresif tersebut, terdapat pertanyaan mendalam mengenai identitas dan ideologi. Soekarno mempromosikan prinsip “Nasionalisme, Agama, dan Komunisme”, suatu sintesis yang mencerminkan pendekatan diplomasi luar negeri yang bercorak revolusioner. Melalui kebijakan ini, Indonesia berusaha menegaskan dominasi dan pengaruhnya di Asia Tenggara. Tetapi, benarkah langkah-langkah agresif itu terencana, ataukah lebih merupakan respons emosional yang tidak terduga dari seorang pemimpin yang merasa terancam?

Perseteruan antara Indonesia dan Malaysia sering kali dikaitkan dengan sejarah kolonial yang sama. Sewa tanah, kontrol sumber daya, dan tekanan politik yang diwariskan dari penjajahan Inggris menciptakan ketegangan yang mendalam di kalangan rakyat. Soekarno cerdas dalam memanfaatkan elemen-elemen ini untuk memperkuat posisinya di mata rakyat, menggambarkan Malaysia bukan hanya sebagai tetangga, tetapi sebagai penghalang bagi cita-cita Indonesia merdeka dan berdaulat penuh.

Selama periode konfrontasi, hubungan antara kedua negara menjadi semakin buruk. Konflik bersenjata di perbatasan dan propaganda yang tidak henti-hentinya di media membuat ketegangan semakin meningkat. Dari sudut pandang diplomatik, langkah-langkah Soekarno dapat dipandang sebagai manuver politik yang berisiko tinggi. Marginalisasi Malaysia oleh Indonesia, di satu sisi, menciptakan citra heroik di dalam negeri, tetapi di sisi lain, memperburuk diplomasi di kancah internasional.

Penting untuk menggarisbawahi pengaruh dinamika internasional pada pandangan Soekarno terhadap Malaysia. Persaingan antara blok Barat dan Timur, serta dukungan Soviet bagi Indonesia, memberikan angin segar bagi ambisi Soekarno. Hubungan dekat Indonesia dengan Uni Soviet dan negara-negara komunis lainnya menciptakan nuansa pertempuran ideologis yang kompleks. Dalam situasi ini, Malaysia, yang lebih cenderung mendekati kekuatan Barat, menjadi sasaran empuk bagi kritik dan serangan retoris.

Namun, tantangan terbesar bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam negeri. Kebijakan luar negeri yang berorientation konfrontatif tersebut menghadapi resistensi dari berbagai kalangan, termasuk militer dan kalangan intelektual. Gagasan untuk merangkul Malaysia kembali, atau paling tidak, mengurangi ketegangan, mulai muncul sebagai alternatif. Dalam hal ini, esensi diplomasi yang seharusnya mengedepankan dialog dan kerjasama tidak sepenuhnya terwujud, menyebabkan dianggapnya era Soekarno sebagai momen hilangnya kesempatan untuk membangun hubungan yang lebih baik.

Akhirnya, setelah kejatuhan Soekarno pada tahun 1967, hubungan Indonesia-Malaysia mengalami transformasi yang signifikan. Puncak dari ketegangan yang dialami selama era ini menjadi pelajaran berharga bagi kedua negara. Meskipun memori kelam hubungan diplomatik tersebut masih membekas, upaya rekonsiliasi dan kerjasama terus berkembang dalam skala yang lebih luas. Hal ini menandakan bahwa meskipun sejarah sering kali berat dan penuh konflik, harapan untuk masa depan yang lebih baik tetap ada.

Pemahaman mengenai tantangan di era Soekarno menjadi penting dalam konteks kontemporer. Ketika kedua negara merayakan hubungan yang lebih harmonis dan saling menguntungkan, refleksi atas masa lalu membantu untuk menghindari pengulangan kesalahan yang sama. Diplomasi yang tulus, berorientasi pada kepentingan bersama dan solusi damai, adalah fondasi bagi hubungan Indonesia-Malaysia yang lebih kokoh di masa depan. Dengan memelajari memori kelam tersebut, kita bukan hanya mengenang, tetapi juga berharap untuk menuju arah yang lebih baik.

Related Post

Leave a Comment