Teori Habitus Pierre Bourdieu Dalam Berpolitik Di Indonesia

Dwi Septiana Alhinduan

Di tengah dinamika politik yang kerap kali bergejolak, rumusan teori Habitus yang dicanangkan oleh Pierre Bourdieu membuka spektrum pemahaman terhadap tindakan dan perilaku politik di Indonesia. Di negeri yang kaya akan adat dan budaya ini, Habitus tidak sekadar menjadi istilah akademis, melainkan metafora yang mencerminkan perjalanan jiwa dan cita-cita masyarakat. Dalam konteks tersebut, kita akan menjelajahi bagaimana Habitus berperan dalam melahirkan norma, kebiasaan, dan perilaku politik yang khas di Indonesia.

Teori Habitus menekankan bahwa perilaku individu dihasilkan oleh struktur sosial dan historis yang kompleks. Dalam kehidupan politik, hal ini mengimplikasikan bahwa keyakinan, nilai, dan norma yang menjadi pegangan individu tidak lahir dari ketiadaan, melainkan dibentuk oleh pengalaman kolektif yang berlangsung bertahun-tahun. Jika kita membayangkan sebuah sungai yang mengalir, maka Habitus adalah aliran yang mengarahkan arus tersebut. Dalam konteks politik, arus ini dipengaruhi oleh tradisi, pendidikan, serta ideologi yang dianut oleh masyarakat.

Di Indonesia, Habitus politik terwujud dalam berbagai bentuk. Pertama, nilai-nilai kearifan lokal berperan penting dalam membentuk pola pikir warga negara. Masyarakat yang terdidik dengan nilai gotong royong, misalnya, cenderung lebih aktif dalam praktik politik yang melibatkan kolaborasi komunitas. Dalam hal ini, tujuan bersama mengalahkan ambisi individu, menciptakan lanskap politik yang inklusif, dan mendorong partisipasi yang lebih luas.

Kedua, pendidikan memainkan peran kunci dalam masyarakat. Temuan Bourdieu menunjukkan bahwa pengalaman pendidikan turut membentuk Habitus. Dalam konteks ini, elite politik yang mengenyam pendidikan tinggi sering kali memanipulasi sistem bagi kepentingan mereka. Metafora yang tepat di sini adalah pohon: baik pendidikan maupun pengalaman berakar dan bercabang ke berbagai aspek kehidupan, tetapi saat cabang-cabang tersebut hanya menjadi milik segelintir orang, kesenjangan sosial dalam politik kian menganga.

Pertentangan nilai pun muncul, menciptakan ketegangan yang menarik. Hubungan antara elit dan massa sering kali dipenuhi dengan berbagai bentuk distorsi. Entitas politik di pos-pos strategis perlu memahami bagaimana Habitus membentuk harapan dan aspirasi masyarakat. Misalkan, ketika seorang calon pemimpin menciptakan janji-janji populis, mereka tak hanya berbicara tentang ekonomi, tetapi juga merangkul simbol-simbol budaya yang membangun koneksi emosional. Dalam hal ini, mereka berfungsi sebagai jembatan antara dua dunia—elit dan rakyat. Melalui lensa Habitus, kita mampu melihat betapa pentingnya komunikasi dalam menjaga keseimbangan antara harapan masyarakat dan kekuasaan politik.

Namun, kita tak bisa menafikan bahwa Habitus juga mengandung elemen ambivalensi. Dalam setiap perilaku dan keputusan, ada kemungkinan terjadinya friksi di antara tradisi budaya dan tuntutan modernitas. Dalam arena politik, hal ini tercermin dalam kebangkitan gerakan sosial yang menuntut perubahan. Seperti ujung tombak dalam pertempuran, gerakan ini merepresentasikan aspirasi masyarakat yang berjuang melawan struktur kekuasaan yang mapan. Di sinilah Habitus membentuk potensi untuk revolusi, untuk menggoyang fondasi yang telah terlalu lama tersolidifikasi.

Selanjutnya, kapital juga merupakan elemen integral dalam teori Bourdieu. Terdapat berbagai bentuk kapital—kapital sosial, budaya, ekonomi, dan simbolik—yang saling berinteraksi dalam kontestasi politik. Mereka yang memiliki akses terhadap kapital lebih besar berpeluang lebih besar untuk mendominasi, sementara yang terpinggirkan senantiasa berjuang melawan arus. Pertarungan ini mirip dengan prinsip alami; di mana hanya makhluk yang paling sesuai dengan lingkungannya yang dapat bertahan. Dalam hal ini, Habitus bertindak sebagai penentu posisi dalam ranah politik.

Dalam analisa terhadap situasi politik Indonesia, kehadiran media sosial telah membawa perubahan yang signifikan. Platform-platform digital memperluas ruang partisipasi politik dan memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi secara langsung dengan politikus dan kebijakan pemerintah. Namun, efek ini juga memberikan tantangan tersendiri. Kebisingan informasi dan disinformasi dapat mengaburkan pandangan masyarakat dan menciptakan Habitus baru yang berdasarkan pada opurtunisme. Media sosial, yang awalnya muncul sebagai wadah aspirasi, sering kali berbalik menjadi arena pertarungan opini yang sarat akan polaritas.

Akhirnya, dalam mengkaji Habitus di ranah politik Indonesia, kita tidak dapat lepas dari tantangan globalisasi. Di dalamnya terletak sebuah pertanyaan penting: sejauh mana Habitus, yang terbangun dalam konteks lokal, mampu beradaptasi dengan pengaruh luar? Indonesia, yang terletak di persimpangan jalan antara tradisi dan modernitas, menghadapi dilema yang kompleks. Seperti benang yang dipilin dalam anyaman, Habitus harus mengintegrasikan elemen-elemen baru tanpa kehilangan identitas esensialnya.

Dalam konteks ini, Habitus bukanlah angan-angan utopis, melainkan koherensi dari berbagai lapisan pengalaman yang membentuk cara masyarakat berinteraksi dengan dunia politik. Meneliti Habitus dalam konteks Indonesia adalah usaha menggali kedalaman lautan budaya yang melambangkan keberagaman, aspirasi, dan konflik. Melalui pemahaman menyeluruh tentang Habitus, kita bisa berusaha untuk menciptakan iklim politik yang lebih responsif dan inklusif, di mana setiap individu memiliki peran dan suara yang berarti dalam menciptakan arah masa depan bangsa.

Related Post

Leave a Comment