Titik Tekan Kelompok Cipayung Plus Yogyakarta Hadapi Gejolak Publik

Titik Tekan Kelompok Cipayung Plus Yogyakarta Hadapi Gejolak Publik
©Dok. Pribadi

Reaksi publik terhadap berbagai isu dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat hingga saat ini masih terus mengalir dan menuai berbagai macam komentar. Pemindahan Ibu Kota Negara, penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden, kelangkaan minyak goreng, stabilitas harga kebutuhan pokok, naiknya PPN menjadi 11%, hingga naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite terus menjadi topik hangat dalam berbagai perbincangan publik.

Hadirnya sebuah gerakan untuk menyampaikan berbagai aspirasi atas berbagai gejolak ini telah banyak digaungkan. Dengan harapan agar berbagai kebijakan yang dikelarkan oleh pemerintah bisa tetap berpihak kepada masyarakat dan membawa kemaslahatan bersama. Tidak terkecuali pada gerakan mahasiswa yang berperan sebagai agen perubahan yang senantiasa mengawal berbagai kebijakan publik dan isu-isu nasional yang sedang terjadi.

Hal ini pula yang mendasarai diselenggarakannya diskusi publik yang diinisiasi oleh HMI Cabang Yogyakarta melalui bidang Perguruan Tinggi Kemahasiswaan dan Pemuda (PTKP) dengan mengangkat tema Dilema Gerakan Mahasiswa di Tengah Problematika Sosial, Politik, dan Ekonomi Indonesia. Diskusi berlangsung di Gedung Pusat Kebudayaan Lafran Pane, Kota Yogyakarta, Kamis, 7 April 2022.

Hadir sebagai pembicara dalam diskusi yaitu pimpinan dan perwakilan dari kelompok gerakan mahasiswa Cipayung Plus Yogyakarta yang terdiri atas Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) selaku tuan rumah kegiatan.

Ketua Bidang Jaringan dan Hubungan Kelembagaan GMNI DIY, Mario Erlanda dalam pernyataanya mengatakan, semanjak terjadinya pandemi Covid-19, para pemangku kebijakan mengalami cacat logika berpikir sehingga mengakibatkan kebijakan yang diambil terkesan tidak serius dalam menangani permasalahan yang ada.

Dengan demikian, berbagai kebijakan yang ada saat ini bukannya memberikan keuntungan bagi masyarakat, sebaliknya justru merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

“Fenomena (permasalahan sosial) yang ada saat ini karena diawali dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada saat pandemi ini muncul, kebijakan-kebijakan ini bisa dilihat bahwasanya pemerintah tidak serius dalam menangani,” ucap Mario.

Ketua Umum PC PMII DIY, Sayyid Habibur dalam penegasannya mengatakan, negara saat ini sedang tidak baik-baik saja. Banyaknya realitas yang tidak sesuai dengan ekspektasi publik pada akhirnya menimbulkan berbagai gejolak di masyarakat.

Baca juga:

Lebih lanjut menurut Sayyid, wacana akan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden tidak lepas dari skenario pemerintah untuk mengamankan investasi di Ibu Kota Negara (IKN).

“Ketika pemerintah menggaungkan persoalan penundaan Pemilu, ataupun memperpanjang masa jabatan Presiden, perlu kita garisbawahi, ini hanya untuk mengamankan investasi di IKN. Diproyeksikan IKN ini bisa ditempati pada 2025, sedangkan 2024 masa jabatan presiden itu sudah habis. Artinya, ada ketidakpastian dari investor kepada pemerintah. Pemerintah ingin mengamankan bagaimana agar investor ini tidak pergi,” ujar Sayyid.

Terkait pemindahan Ibu Kota Negara, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Cabang Djazman Al Kindi, Moh. Heri mengatakan, terdapat cacat administrasi dalam kebijakan pemindahan Ibu Kota ini. Partisipasi masyarakat Kalimantan Timur maupun aktivis dan pegiat lingkungan tidak begitu dilibatkan.

Menurutnya, dalam hal kebijakan tata ruang pembangunan IKN haruslah memperhatikan aspek kajian risiko, berorientasi pada kedaulatan alam, dan menggunakan paradigm biosentris dan ekosentris.

“Kita kembali lagi pada diri kita, ayo kita mengawal IKN, kemudian kita bergeser pada paradigma biosentris, dan kalau bisa ekosentris, agar lingkungan kita tetap nyaman dan bisa dinikmati oleh generasi sekarang, generasi yang akan dating,” kata Heri.

Ketua Umum GMKI Yogyakarta, Urlik Hufum menyatakan, dibutuhkan kajian yang intens dari gerakan mahasiswa saat ini untuk mengawal berbagai isu nasional yang memihak ataupun tidak memihak pada rakyat.

Menurut Urlik, wacana akan penambahan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode merupakan kegagalan reformasi dan sarat akan kepentingan kelompok tertentu karena bertentangan dengan UUD 1945. Menanggapi hal ini, maka telah menjadi keharusan bagi mahasiswa untuk menggapinya secara kritis melalui aksi dan tindakan nyata.

“Berkaitan (isu) tiga periode, ini adalah salah satu kegagalan reformasi karena sangat bertentangan dengan UUD 1945. Kegagalan reformasi saat ini kita lihat pecah. Artinya, ada kepentingan segelintir orang yang kemudian ini dimanfaatkan,” ungkap Urlik.

Halaman selanjutnya >>>