Tokenisme Hari Santri Nasional

Dwi Septiana Alhinduan

Di tengah ramainya perayaan Hari Santri Nasional, konsep tokenisme sering kali terlupakan. Sekilas, Hari Santri Nasional pada 22 Oktober menjadi momen yang merayakan kontribusi santri dalam sejarah bangsa. Namun, terdapat fenomena yang lebih dalam yang patut untuk dipertimbangkan, yaitu tokenisme. Dalam konteks ini, tokenisme merujuk pada tindakan simbolis yang tidak diikuti dengan upaya nyata untuk memberdayakan santri dan nilai-nilai yang mereka bawa.

Hari Santri bukan sekadar pengingat akan perjuangan para santri dari berbagai kalangan pesantren dalam membangun bangsa. Dia juga merupakan kesempatan untuk merefleksikan bagaimana masyarakat dan pemerintah memandang peran santri dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Apakah Hari Santri hanya menjadi ajang seremonial, ataukah benih perubahan dan pengakuan yang lebih substansial bagi santri dan pesantren?

Pertama-tama, kita perlu menggali lebih dalam tentang latar belakang Hari Santri Nasional. Sejarahnya berkaitan erat dengan pernyataan resolusi jihad yang dikeluarkan oleh para kiai, yang memanggil umat Islam untuk berjuang melawan penjajahan. Pada saat itu, santri berperan sebagai garda terdepan dalam perjuangan tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, bagaimana kita menempatkan makna hari ini dalam konteks keberadan santri? Apakah peran mereka masih relevan? Mari kita telaah lebih lanjut dengan memasuki berbagai aspek yang mewarnai perayaan ini.

Kedua, kita harus mempertimbangkan dampak dari simbolisme yang terwujud dalam perayaan Hari Santri. Setiap tahun, beberapa elemen pemerintah, organisasi sosial, dan institusi lainnya menyerukan gerakan untuk mengenang peran santri. Namun, sering kali hal ini hanya menjadi ritual tahunan tanpa realisasi konkret dalam kebijakan publik. Ini adalah bentuk tokenisme yang dapat membuat santri merasa dihargai, namun esensinya tidak lebih dari sekadar simbol.

Ketiga, dalam observasi kita tentang realitas santri saat ini, banyak dari mereka masih mengalami marginalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Pendidikan berbasis pesantren kerap kali kurang mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah. Selain itu, peluang kerja yang terbatas bagi lulusan pesantren menunjukkan bahwa pengakuan yang semu terhadap peran mereka dalam masyarakat tidak akan pernah memperbaiki keadaan. Hari Santri bisa menjadi titik tolak untuk membahas tidak hanya masa lalu, tetapi juga masa depan santri di Indonesia.

Keempat, kita harus menginvestigasi peran teknologi dalam merevitalisasi perayaan ini. Di era digital, pesantren dan santri dapat memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan pengaruh mereka. Pendidikan berbasis online, saluran media sosial, dan platform komunikasi memungkinkan santri untuk terhubung dan berbagi ide lebih luas. Hari Santri Nasional dapat menjadi opsi untuk memperkenalkan inovasi baru, mengajak santri untuk berdiskusi tentang isu-isu kontemporer, dan mengembangkan jaringan yang lebih kuat.

Kelima, penting untuk membawa isu-isu ketidakadilan sosial yang mungkin dialami oleh santri ke dalam fokus. Misalnya, kita wajib meminta legalitas dan pengakuan terhadap pendidikan formal yang diberikan oleh pesantren. Kita harus menuntut integrasi nyata antara kurikulum pendidikan nasional dan kurikulum pesantren agar santri tidak lagi dianggap sebagai ‘siswa kelas dua’. Tanpa tindakan konkret, perayaan ini akan menjadi sebuah kekosongan makna—hanya menjadi rutinitas yang tidak memberi makna bagi keberadaan santri.

Keenam, di luar aspek politik dan sosial, kita juga dapat memperhatikan bagaimana budaya dan seni dapat menjadi bagian integral dalam merayakan Hari Santri. Mempelajari tradisi lisan dan karya seni yang diciptakan oleh santri dan pesantren dapat menggugah kesadaran masyarakat akan kekayaan budaya Islam di Indonesia. Konser, pameran seni, dan literasi harus dieksplorasi untuk merayakan keberagaman yang dibawa oleh santri ke dalam tatanan masyarakat.

Kemudian, kita tidak boleh melupakan peran perempuan dalam konteks ini. Pesantren-pesantren banyak melahirkan santriwati yang berpengaruh, namun pengakuan terhadap mereka sering kali terpinggirkan. Program-program pelatihan dan pengembangan yang inklusif perlu diperkenalkan untuk memastikan santriwati mendapatkan pengakuan setara dalam perayaan ini

Terakhir, Hari Santri Nasional harus menjadi momentum bagi seluruh elemen masyarakat untuk bersatu dalam membangun kesadaran akan pentingnya peran santri. Ada tantangan monumental yang harus dihadapi, namun dengan komitmen dan kolaborasi yang nyata, restorasi dari makna Hari Santri bisa diwujudkan. Jangan biarkan perayaan ini hanya sekadar jargon kosong yang mengganggu ruang kosong dalam sejarah. Biarkan Hari Santri menjadi pengingat akan kekuatan kolektif yang dapat dihasilkan oleh sinergi antara santri, masyarakat, dan pemerintah.

Maka, ke depan, kita harus menegaskan bahwa Hari Santri harus berevolusi dari hanya menjadi perayaan simbolis menjadi gerakan yang berdaya. Saat kita melangkah ke depan, mari kita harapkan Hari Santri menjadi titik awal perubahan, pengakuan, dan pemberdayaan yang mendalam, bukan sekadar tokenisme semata.

Related Post

Leave a Comment