
Sejarah kekristenan selama ribuan tahun diisi oleh dinamika yang bersinggungan dengan rasialisme.
Kematian George Floyd membuat Amerika Serikat bergejolak. Demonstrasi besar-besaran terjadi hampir di seluruh negara bagian. Ribuan orang turun ke jalan, tentu dengan amarah dan sakit hati yang mendalam. Kobaran api dan gemuruh makian mencerminkan rasa kecewa.
Banyak yang berasumsi bahwa gejolak ini melebihi gerakan anti rasialisme Amerika Serikat tahun 1960-an, yaitu era Martin Luther King Jr dan Malcolm X. Dinamika ini tidak hanya memanas di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Tagar black lives matter berkali-kali menjadi trending di berbagai media sosial. Hal ini menandakan jutaan penduduk dunia resah, baik yang nyata maupun maya.
Dari jutaan orang resah, saya adalah salah satunya. Sebagai seorang Kristen, saya memaknai rasialisme sebagai tragedi iman, tidak sebatas tragedi sosial politik saja. Sejarah kekristenan selama ribuan tahun diisi oleh dinamika yang bersinggungan dengan rasialisme, mulai dari masalah gereja etnis sampai perdebatan Rasul Petrus dengan jemaat Yerusalem tentang “bangsa bangsa lain” yang menganut kekristenan.
Lalu, bagaimana persinggungan itu terjadi? Sejauh apa hal ini berdampak pada spiritualitas kekristenan?
Dari Kekristenan Eksklusif-Inklusif sampai Rasialisme Religius
Menurut N.T Wright (1992) dalam “The New Testament and the People of God”, tradisi agama Yahudi begitu kuat dalam Kristen mula-mula. Sehingga beberapa sarjana menggolongkan kekristenan mula-mula sebagai salah satu sekte Yahudi.
Sedangkan dalam agama Yahudi, identitas rasial menjadi penting karena ada sebuah ajaran bahwa mereka adalah bangsa yang dipilih Allah. Pengikut Yesus mula-mula adalah orang Yahudi, sehingga pemahaman rasial tentang iman dan keselamatan yang eksklusif itu ada dalam benak mereka.
Itulah sebabnya mereka hanya memedulikan bangsa Yahudi saja. Mereka tidak bergaul, makan bersama, dan masuk ke rumah orang bukan Yahudi. Yesus dalam pikiran mereka adalah Tuhan yang eksklusif, khusus untuk bangsanya saja.
Pada akhirnya, eksklusivitas rasial itu hancur. Petrus diutus kepada perwira kekaisaran Romawi bernama Kornelius, Filipus diutus kepada pejabat dari Etiopia, dan murid lain diutus kepada orang orang Yunani dan Asia Kecil.
Pengutusan kepada semua ras dan bangsa adalah inisiasi Tuhan sendiri, tercatat dalam Kisah Para Rasul pasal 9 sampai 11. Sehingga dalam kekristenan, Tuhan dipandang sebagai sosok yang membongkar dinding perbedaan rasial.
Dalam Kisah Para Rasul 11:18, sebuah ekspresi iman yang inklusif diucap oleh orang-orang Yahudi pengikut Yesus: “Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup”. Semenjak itulah kekristenan diartikan sebagai komunitas iman yang penuh keberagaman, setara, dan kolektif.
Kekristenan mula-mula menjadi perhatian bagi pengkaji teologi historis dan sejarah gereja. Bahkan Frederich Engels yang menulis Manifesto Komunis tertarik dengan kekristenan mula-mula. Tahun 1894, ia membuat tulisan berjudul On the History of Christianity.
Baca juga:
Engels menyatakan ada kemiripan antara kekristenan mula-mula dengan gerakan kelas pekerja modern. Baginya, kekristenan bermula sebagai gerakan orang tertindas. Maka terdapat banyak budak, rakyat miskin, dan orang marginal.
Semua orang dari berbagai latar belakang hidup dalam komunitas iman yang kolektif dan egaliter. Sehingga strata sosial, kelas ekonomi, dan perbedaan ras menjadi tidak penting dalam iman Kristen.
Dalam komunitas Kristen mula-mula terdapat orang Yunani, Yahudi, Asia Kecil, Mesir, sampai Afrika. Semua keberagaman itu adalah bukti semangat spiritual yang setara antarmanusia. Konteks sejarah tentang spiritualitas itulah yang sangat penting dalam kekristenan. Kejadian 1900 sampai 2000 tahun yang lalu itu tetap relevan sampai hari ini. Bahkan kita bisa memaknai itu sebagai konsep ideal iman Kristen mengenai ras dan kesetaraan.
Namun konsep ideal itu tidak berjalan mulus sepanjang sejarah kekristenan. Bahkan berabad-abad berikutnya konsep ideal itu perlahan hilang, terutama periode 1500-1600 Masehi.
Dalam sejarah dunia, periode ini dikenal sebagai era eksplorasi dunia baru. Columbus, Bartolomeu Diaz, atau Vasco da Gama telah merintis sebuah jalur perdagangan global. Jalur ini menjadi penting untuk jual-beli rempah sampai budak, terutama budak-budak yang dibawa dari benua Afrika. Perbudakan itu pada akhirnya tidak hanya membutuhkan persetujuan politis saja, tapi juga persetujuan keagamaan.
Dalam periode ini kita bisa melihat bagaimana kekristenan menjadi landasan teologis dalam kelahiran rasialisme modern. George Fredrikson (2002) dalam “Racism: A Short History” menyebut hal ini sebagai rasialisme religius, yaitu sebuah kondisi ketika doktrin agama menjadi legitimasi untuk melakukan rasialisme.
Bagi kekristenan abad 16-17, orang-orang Afrika dipandang sebagai orang terkutuk. Oleh kekristenan Barat masa itu, mereka diyakini sebagai keturunan dari anak Nabi Nuh yang kedua, yaitu Ham.
Dalam Kitab Kejadian pasal 9, tertuliskan bahwa Ham dikutuk Tuhan karena mempermalukan Nuh yang sedang mabuk dan telanjang. Kutukan itu berisi: “Hendaklah ia (Ham) menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya” (Kejadian 9: 25-27).
Baca juga:
Menurut Fredrikson, kisah kutukan Ham dilegitimasi sebagai alasan biblikal untuk melakukan perbudakan kepada orang Afrika. Sehingga jual-beli budak, kultur rasistik, dan segregasi rasial yang mana di kemudian hari tak lepas dari andil kekristenan abad 16-17.
Pasang-surut sejarah kekristenan selama 2000 tahun mendorong umat Kristiani untuk memaknai ulang kesetaraan dan religiositas. Namun umat juga diuji ketika berhadapan dengan realitas negeri ini.
Tak hanya di Amerika Serikat, di Indonesia pun kasus rasialisme sering terjadi. Salah satu yang masih menetap di ingatan adalah persekusi sekelompok ormas kepada mahasiswa asal Papua di Surabaya, tepatnya 16 Agustus 2019.
Persekusi itu benar-benar membuat situasi bergejolak. Demonstrasi besar-besaran terjadi, bahkan gedung DPRD Manokwari dibakar. Jayapura dan banyak daerah lain bergolak, mirip dengan situasi protes terkini di Washington atau Mississippi terkini. Diskriminasi rasial tidak hanya terjadi di Amerika Serikat atau negeri nun jauh di sana, sejarah negeri kita diisi banyak kerusuhan dan persekusi rasial.
Melalui sejarah kita mengerti bahwa sebuah agama bisa menjadi dua wujud yang berbeda. Agama bisa merupa pedang kebencian atau jembatan perekat perbedaan.
Semangat kesetaraan Kristen mula-mula berbeda dengan konspirasi rasialisme religius abad 17, walaupun keduanya adalah ekspresi keagamaan. Kasus George Floyd sampai mahasiswa Papua di Surabaya membuat kita sadar, bahwa religiositas sejatinya adalah jembatan penghubung antar jurang perbedaan ras, status sosial, sampai kelas ekonomi.
Dalam kondisi hari ini, semangat keagamaan kita diuji, yaitu ketika bahasa kasih dituntut berbicara melampaui berbagai perbedaan. Rasialisme sebagai tragedi iman terjadi ketika bahasa kasih tergantikan bahasa lain, yaitu kecurigaan, ketakutan, dan kebencian.
Dapatkah kita menyapa, berpuisi, berkelakar, bahkan berdebat dalam bahasa kasih?
- Tragedi Kekristenan Bernama Rasialisme - 17 Juni 2020