
Hari berlalu namun ingatan tentang kamu masih menjadi candu. Sungging yang kau persembahkan selalu saja tergambar. Jauh sebelum kau memperingatkan. Aku sudah terbiasa akan lamunan sunggingmu. Manis nan asik. Aku terkunci di sisi sunggingmu. Tertarik tuk lebih lama bersemayam di dalamnya.
Halusinasi mungkin terlalu membumbung ke angkasa. Namun, jika kelak aku terjatuh, setidaknya aku tak jatuh sia-sia. Karena aku telah dapatkan sungging termanis yang kau persembahkan.
Aku tak tahu apakah rasa yang kupunya terbalaskan atau sebaliknya. Yang aku tahu saat ini aku hanya ingin kau tak pergi dariku tetap jadi seseorang yang membuatku terus merasa kuat. Aku takut serta lelah dengan kata pisah. Dan ketika kau mengetahui akan rasaku, saat itulah rasa pisah itu selalu menghantuiku.
Aku sadar aku bukan siapa-siapa tapi aku tak peduli karena kau tetaplah yang teristimewa. Entah sampai kapan hatiku akan menjadi pion atas kamu. Yang aku tahu hanya aku harus mengikuti alur yang telah tuhan tuliskan ini.
Di sepertiga malam serta setiap sujud namamu kusertakan dalam draf-draf harapan. Kuadukan segala ingin. Karena aku tahu tuhan tak pernah menghiraukan segala doa yang tulus dari seorang hamba. Apalagi bila hamba tersebut meminta dengan menengadah serta mengangkat telapak tangan memuji serta sungguh dalam kata semoga. Dan semoga apa yang selama ini kusemogakan akan tersemogakan.
Aku kerdil di sisimu. Sungguh ku tak pantas dengan segala harap ini. Namun apalagi yang bisa aku perbuat? Aku hanyalah insan biasa. Dan tentang rasa aku tak pernah memilih ingin jatuh cinta pada siapa. Tuhan yang memberiku secuil rasa ini untukmu. Dan segala yang tuhan beri tak ada yang kebetulan, semua pasti berhikmah dan pasti ada maksud tersendiri dari segala yang terjadi.
***
Namun malam tak bersahabat dengan sukma kali ini. Ia tak memberi secercah cahaya gemintangnya sama sekali sekadar berkeling sekejap. Cahayanya seakan enggan membius alamku, membuat warna kanvas yang kutoreh kelabu.
Sekat yang membatasi khayalku hancur. Menjadi dunia halu yang pekat dengan redup malam kelabu. Detak jarum jam mulai melelah berdentang berputar. Sungguh malam yang syahdu lebih mirip pilu.
Kau katakan satu kata yang buatku ngilu. Dan aku harus menutupinya dengan sungging termanisku. Dengan kepura-puraanku.
Sembilu, sungguh ingin kuhampas segala rasa serta asa yang terselip di palung hati. Ingin kucabut sematan rindu yang merundungku. Namun lembayung kehangatan itu kembali menjulang. Mega emas nan indah serta kicauan burungnya bersorak kebahagian. Menyeretku perlahan dalam pesta sunyi yang tak kusukai.
Di seberang jembatan sana, kulihat bayangan akan dirimu bersorak ria dengan temaram kebahagiaan. Bersama sang nona yang sangat kau impikan. Juga para pion yang selalu menyanjung akan asmaramu dengannya.
Namun nyatanya semua yang tampak tak sejelas yang aku pikirkan. Semua hanya gambaran yang menyilaukan naluriku. Kau memang pembawa bahagia bagi seluruh insan pun diriku yang kini terjebak oleh dirimu. Kau bagai pengobat bagi insan yang dirundung pilu.
***
Hari ini Desember kan berakhir, ia cukup memberi kejutan-kejutan menarik. Termasuk perihal tuan canduku. Kepastian-kepastian datang dengan riil bukan hanya sekadar maya. Kenyataan bahwa aku tak jatuh cinta sendiri. Aku tak menanggung rindu sendiri. Miracle tuhan nyata adanya saat ini.
Januari 2021
Di tahun baru ini aku mendapatkan bukti nyata sebuah doa. Rapalanku pada tuhan kini hadir membawa sungging purnama paripurna. Inci desir angin seolah harmoni penenang bagi diri. Pengembaraan yang beberapa tahun terlewati begitu pilu, tanpa terasa rasa telah menahun namun tetap setia menua di dalam palung kalbu.
Aku tidak jatuh cinta sendirian. Kenyataan yang membuatku susah lelap walau sekejap.
“Aku juga sayang kamu,” sayup-sayup kau lontarkan barisan kata itu dari kota seberang. Sebaris kata yang kentar di palung-palung kalbu. Bagai nada-nada sufi yang berisikan zikir penenang hati.
Dalam ranah waktu yang kuberi tema “Sabar Menanti” hari ini kutuai sebuah harap yang nyata tak sekadar ilusi. Beberapa rapalan doa yang aku lantunkan tuhan kabulkan. Hanya sebaris inti dari gambar Januari “aku bahagia, kau nyata ada bawa serta sebuah rasa. Yang menjadi prosa bertemakan KITA. Dalam alur takdir tuhan.”
Pertengahan Januari
Kudapati sikapmu sedikit dingin lagi. Namun lagi-lagi diri menasihati bahwa jangan ada lagi prasangka-prasangka pendek untuk menyimpulkap sikap seseorang. Minggu berikutnya kau manis lagi. Terserah sudah, aku pasrah biar takdir yang bekerja.
14 Januari 2021/ 22:23/ Jumat Manis
Hari di mana kau tawarkan aku kebahagiaan. Dan aku tanggalkan ragu yang sebelumnya sering menghantuiku. Hari itu aku dan kamu menjadi kita. Seseorang yang sebelumnya hanya bisa bersinggungan di garis cakrawala kini menjadi kita yang terikat kata saling dalam romans sayang. Aku milikmu. Dan kau milikku.
Sebelumnya aku takut sekali akan rasa kecewa yang pastinya akan datang entah kapan. Namun kau membuatku percaya. Katamu tak usah khawatir atas kecewa sebab masih ada doa. Aku harap jarak memberi jangka waktu yang terlama dalam tema perpisahan.
14 Februari 2021
Monthsive pertama yang biasa-biasa saja. Aku tahu kamu sibuk dan aku paham kau masih banyak beban. Dan aku tak mau menambah bebanmu, tak ingin mengganggu kefokusanmu. Dan hari itu hari terahir aku menghubungimu setelah sebelum kau bergelut dengan berbagai kesibukan dan beban-beban. Aku tahu kamu kuat dan aku yakin kamu bisa, kamu terhebat, bang. Semangat, sayang.
Aku berharap hubungan kita bukan sekadar status, tapi lebih dari itu aku benar-benar ingin serius. Aku ingin kamu! Imam terbaik yang tuhan beri. Jikalau kamu bukan orang terbaiknya, aku berharap tuhan memperbaikimu, bang. Karena aku tak inginkan subjek lain selain jiwamu.
***
Jujur aku ingin menyerah. Aku ingin mundur. Aku lelah itu saja. Adaku seakan maya bagimu.
Tuhan
Tiupkan aku kekuatan
Payungi aku
Dengan malaikat rahmatmu
Semoga kau sudi mendengar
Jeritan hati kecilku
Aku merayu Ya Allah
Aku merayu Ya Allah, aku sudah benar-benar ingin menyerah aku merasa tak berdaya. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin terbaca itu saja sebenarnya.
Tak penting status yang melekat jika ia hanya formalitas tanpa dasar cinta. Aku lebih merasa asing di dunia kita yang sekarang. Aku terluka dan kau masih ingin mengoyak kepercayaanku lagi? Sudahlah jika kau memang hanya ingin singgah, tak usah terlalu banyak mewarnai kanvasku dengan berbagai harapan aku tak mampu. Sungguh aku lemah. Jangan kau usik derita lagi. Aku meminta aku memohon jaga hati kecilku untuk sementara.
Aku rindu kamu yang dulu, bang, rindu sorot mata yang menenangkan meski sangat tajam. Aku rindu leluconmu yang kerap membuatku geli. Aku rindu segala tuturmu serta langkah gontai yang biasanya ditemani rumbai anak poni sebab sepoi yang menjulang.
Kudapati nasihat kawan “jangan kau cintai penyair sebab ia hanya akan memeras sari pati tuk dijadikan diksi”. Bukan, bukan provokasi itu yang membuatku mengakhiri alur ini. Namun ketakberdayaanku sudah tak dapat kubendung kembali. Aku menyerah. Aku pergi. Terima kasih.
- Perihal Kamu - 15 Agustus 2021
- Tuan Candu - 15 Agustus 2021
- Sepucuk Angpao untuk Puan - 29 Juli 2021