Tuhan dalam Perspektif Rasio dan Kritik terhadap Rasionalisme

Tuhan dalam Perspektif Rasio dan Kritik terhadap Rasionalisme
©Iqra

Rasio tidak benar-benar sesempurna itu, di mana rasionalisme atau rasionalitas membatasi kebebasan berpikir manusia.

Agama adalah sebuah institusi yang berpijak pada sebuah kepercayaan tertentu. Ia mengikat manusia dengan seperangkat aturan yang baku.

Begitu dahsyatnya dan begitu hebat kekuatan yang mengikat tersebut sehingga mengintervensi kuasa atas tubuh dari manusia. Sehingga tercipta sebuah kebiasaan yang dihaluskan dalam diksi yang disempurnakan dalam kitab suci yang disebut ibadah. Tanpa kita sadari adalah sebuah bentuk eksploitasi yang diciptakan dan merupakan bentuk penderitaan yang oleh manusia itu sendiri.

Hal yang melatarbelakangi hal tersebut adalah karena manusia yang haus akan pencarian suatu nilai kebenaran. Sehingga manusia meyakini sebuah keyakinan yang abstrak lantaran keyakinan tersebut mampu memberikan dahaga atas pencarian tersebut. Agama masih menjadi jawaban yang paling manusia yakini.

Karl Marx dalam jurnalnya, namun tidak terbit, yang berjudul “A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right”, membuat argumentasi struktural fungsionalisme dari agama. Ia mengatakan bahwa “Agama adalah candu”.

Pada jurnal tersebut, Marx mengatakan bahwa agama memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat. Marx menganalogikan fungsi tersebut sebagai opium bagi orang-orang yang sakit atau bagi mereka yang cedera.

Agama mampu mengurangi rasa sakit dengan cara berdoa dengan memberikan semacam ilusi atau harapan-harapan yang dapat menyenangkan bagi yang merasakan sakit. Selain itu, di sisi lain, agama mampu mengurangi energi dan keinginan untuk melawan realitas.

Kutipan yang paling fundamentalis yang Marx tulis adalah sebagai berikut: “Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat.”

Sebab yang paling diagungkan oleh agama adalah ketuhanan, maka tuhan menjadi tujuan manusia untuk menyerahkan hak atas hidup. Tuhan menjadi semacam pengendali kekuatan atas dunia. Tuhan menjadi tempat berlindung yang paling nyaman bagi mereka yang menyerahkan hidupnya.

Baca juga:

Mencari tuhan ibarat ikan haus mencari minum. Jika kita tidak menemukan tuhan dalam diri sendiri, tuhan tidak akan kita temukan pula di tempat lain. Sebab pembenaran logis sebuah kekuatan atas dasar keyakinan itu terletak pada intuisi iman atas dogma yang sudah tertanam sedari kecil, dalam bentuk intimidasi dan ketakutan.

Bahwasanya ketika kita mencoba mempertanyakan keberadaan atau meragukaan ketuhanan, ganjarannya adalah pembalasan setelah kematian.

Sebab manusia takut untuk mati dan kapan matinya manusia masih belum dapat kita tebak dan jawab secara logis dengan nalar manusia, maka sampai saat ini tuhanlah yang masih menjadi pemenang dan berkuasa atas kehendak kematian tersebut.

Padahal menurut Feuerbach terdapat sebuah kesadaran sebagai sebuah entitas-entitas dan predikat-predikat abstrak. Feuerbach sendiri meyakini bahwasanya kodrat tertinggi itu hanyalah kebenaran material, dan bukan ide absolut.

Menurut Feuerbach, yang awal, tengah, maupun yang akhìr daripada tuhan dan agama adalah adalah manusia itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah biang keladi atau konseptor/otak dari proyeksi imajinatif tentang agama, bahkan tuhan sekalipun. Atas dasar dari sebab-sebab itulah Feuerbach hendak menerangi esensi gelap agama dengan obor rasio.

“Gelap” yang Feuerbach di sini adalah kegelapan yang dibuat oleh agamawan yang merendahkan kemanusiaan dan meninggikan ketuhanan. Padahal tuhan hanyalah sebentuk ciptaan imajinatif kesadaran manusia.

Argumentasi yang paling rasional untuk membenarkan atau mendukung argumentasi dari Feuerbach adalah seperti apa yang Soren Kierkegaard (1813 – 1855) Feuerbach. Bahwa ketidakhadiran tuhan di dunia adalah bukti paling nyata bahwa tuhan sesungguhnya benar-benar tiada.

Di sisi lain, dàlam filsafat sendiri tentang kesatuan wujud, dikatakan bahwa sesungguhnya hanya ada satu realitas wujud di alam semesta ini. Segala entitas yang ada hanya refleksi tuhan di atas cermin non-eksistensi. Manusia, beserta makhluk hidup dan alam semesta, tercipta dari manifestasi wujud tuhan pada alam empiris.

Halaman selanjutnya >>>
Febrianto Arifin
Latest posts by Febrianto Arifin (see all)