UIN Jogja Kecam Disertasi ‘Seks di Luar Nikah’ Mahasiswanya

UIN Jogja Kecam Disertasi 'Seks di Luar Nikah' Mahasiswanya
©detik

Nalar Politik – Setelah disertasi Abdul Azis berjudul Konsep Milk Al Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital viral dan kontroversial, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai pihak terkait melakukan konferensi pers. Pihaknya berupaya mengecam (mengkritik) isi disertasi Abdul Aziz, terutama konsep pemikiran Muhammad Syahrur tentang praktik nonmarital (seks di luar nikah).

Agenda ini berlangsung pada Jumat, 30 Agustus 2019. Narasumbernya adalah Prof. Yudian Wahyudi (Ketua Sidang), Dr. Moch. Nur Ichwan (Sekretaris Sidang), serta dua promotornya: Prof. Khoiruddin dan Dr. Phil. Sahiron.

Hadir pula para penguji disertasinya, yakni Dr. Agus Moh. Najib, Dr. Samsul Hadi, Prof. Euis Nurlawlawati, dan Aimatul Qibbtiyah. Mereka memberikan penjelasan di hadapan sejumlah awak media, sekaligus untuk merespons pemberitaan yang dipandang “menyimpang”, seperti Seks Tanpa Nikah Tak Langgar Syariat dan Disertasi: Hukum Islam Lindungi Seks di Luar Nikah.

Pihak UIN membenarkan, disertasi Azis memuat penelitian secara objektif dan sesuai aturan-aturan akademik. Yang bersangkutan mampu mendeskripsikan pandangan dan penafsiran Syahrur atas istilah Milk Al Yamin, baik dari segi linguistik maupun dari sisi pendekatan gender.

Sayangnya, kritikan Abdul Aziz tersebut dinilai masih belum sempurna dan belum komprehensif. Karena itu, di ujian terbuka disertasinya, promotor dan penguji mempertanyakan dan mengkritisi juga pandangan Syahrur.

Berikut ini adalah penjelasan lengkap dari para narasumber yang hadir:

Prof. Yudian Wahyudi (Ketua Sidang)

Untuk diberlakukan pemahaman Syahrur tentang milk al yamin, harus ditambah akad nikah, wali, saksi, dan mahar. Sebagai konsekuensinya, kata-kata Syahrur: “Jika masyarakat menerima”, maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak.

Dalam konteks Indonesia, dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR agar disahkan menjadi undang-undang. Tanpa proses ini, pendapat Syahrur tidak dapat diberlakukan di Indonesia. Dengan demikian, draft disertasi yang diujikan pada tanggal 28 Agustus harus direvisi sesuai dengan kritik dan saran para penguji.

Prof. Khoiruddin (Promotor)

Disertasi yang ditulis Abdul Aziz membahas konsep milk al yamin Muhammad Syahrur. Syahrur mengontekstualisasikan konsep milk al yamin dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis. Yakni: nikah al-mut’ah, nikah al-muhallil, nikah al-‘irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah (samen leven).

Nikah-nikah sejenis ini sekarang umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Syahrur hidup lama. Secara hermenutika, konteks inilah barangkali yang menginspirasi Syahrur.

Jenis-jenis nikah ini telah ada dalam tradisi muslim dengan hukum kontroversial. Ada ulama yang membolehkan dan ada muslim yang mengamalkan. Sebaliknya, ada ulama yang mengharamkan.

Dalam disertasi, Abdul Aziz mengkritik konsep Syahrur, dengan menyebut tampaknya ada bias-bias subjektivitas pencetusnya. Di antara bias dimaksud barangkali adalah Syahrur ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentimen pribadi (politik), bukan atas pembuktian. Sebab persyaratan pembuktian zina yang demikian ketat, menurut Syahrur, ingin menunjukkan agar janganlah mudah menghukum orang berzina.

Sayangnya, dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Malah menyebut konsep Syahrur ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual nonmarital. Kalimat terakhir ini juga yang menjadi bagian dari keberatan tim penguji promosi. Selanjutnya, tim meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak untuk disesuaikan dengan isi disertasi.

Dr. Phil. Sahiron (Promotor)

Saya berpandangan bahwa penafsiran M. Syahrur terhadap ayat-ayat Alquran tentang milk al yamin atau yang semisalnya itu cukup problematik. Problemnya terletak pada subjektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi oleh wawasannya tentang tradisi, kultur, dan sistem hukum keluarga di negara-negara lain.

Subjektivitasnya yang berlebihan ini kemudian memaksa ayat-ayat Alquran agar sesuai dengan pandangannya. Sehingga ayat-ayat tentang milk al yamin yang dulu ditafsirkan oleh para ulama dengan ‘budak’ dipahami oleh Syahrur dengan ‘setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual’.

Bagi Syahrur, sama dengan budak pada zaman dulu yang dimanfaatkan oleh tuannya untuk melakukan hubungan seks, orang-orang yang diikat kontrak untuk hubungan seks, apa pun bentuknya, marital ataupun nonmarital, halal. Penafsiran ini, sekali lagi, terlalu subjektif. Mungkin dipengaruhi oleh tradisi dan kultur masyarakat yang melegalkan tindakan hubungan seks yang didasarkan pada suka sama suka (atau kontrak), sehingga mengesampingkan objektivitas makna teks ayat Alquran.

Selain itu, analogi antara budak dan orang yang diikat kontrak itu sangat simplisistik. Karena hanya memandang satu aspek perbudakan, yakni seksualitas. Padahal sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat-ayat milk al yamin adalah ‘martabat kemanusiaan’ yang oleh ayat-ayat Alquran sangat dijunjung tinggi.

Penafsiran yang tepat atas ayat-ayat Alquran tentang milk al yamin adalah penafsiran yang di satu sisi memperhatikan makna historis (al-ma’na al-tarikhi) ayat. Di sisi lain, memperhatikan pesan utama ayat (maqshad  al-ayat) dan signifikansinya (maghza) untuk konteks kekinian.

Untuk mendapatkan makna historis dan pesan utama ayat, seseorang harus menganalisis makna kata-kata dalam ayat tertentu pada masa diturunkannya ayat Alquran, konteks tekstualnya (siyaq al-ayat), dan konteks historisnya (antara lain, sabab al­nuzul). Adapun untuk mendapatkan signifikansi (maghza) ayat, seseorang berusaha mengembangkan pesan utama ayat pada konteks kekinian.

Problem penafsiran Syahrur atas ayat-ayat tentang milk al yamin terletak pada keengganan memperhatikan makna historis kata tersebut dan maksud pesan utama ayat itu. Istilah milk al yamin atau ma malakat aymanukum pada abad ke-7 itu ‘budak’. Adapun pesan utama ayat-ayat tersebut bukanlah hubungan seksual atau kebutuhan biologis, sebagaimana yang dipahami Syahrur, melainkan kemanusiaan. 

Ada dua pesan utama. Pertama, ayat-ayat tentang milk al yamin memberikan kesadaran secara implisit kepada manusia tentang kehidupan budak yang nestapa. Karena budak tidak mempunyai kesamaan derajat dengan orang merdeka.

Kedua, menanamkan kesadaran untuk mengatasi problem perbudakan saat itu dan sampai kapan pun, lihat misalnya QS al-Ma’idah: 89. Makna historis dan pesan utama ayat-ayat tentang milk al yamin semacam itu tidak ditangkap oleh Syahrur, sehingga penafsirannya menjadi problematis.

Dr. Agus Moh. Najib (Penguji)

Kritik saya terhadap pemikiran Syahrur adalah sebagai berikut: 

Pertama, penyebutan istilah milk al yamin dalam Alquran tidak hanya berkaitan dengan “budak perempuan” yang dimiliki laki-laki (ma malakat aimanuhum), tetapi juga “budak laki-laki” yang dimiliki perempuan (ma malakat aimanuhunna). Syahrur hanya terfokus pada “budak perempuan” yang dimaknai secara kontemporer. Sehingga pembahasan yang dilakukan tidak komprehensif dan secara konseptual masih dipertanyakan, apalagi kemudian akan diterapkan dalam masyarakat. 

Kedua, hubungan nonmarital ini, berbeda dengan akad nikah, disebut oleh Syahrur dengan istilah aqd ihson (akad komitmen). Kalaupun dianggap sebagai sebuah akad, seharusnya Syahrur mengemukakan syarat dan rukunnya. Syahrur belum menjelaskan syarat rukun akad tersebut secara jelas. 

Ketiga, pandangan Syahrur berangkat dari kebiasaan dan tradisi (‘urf) masyarakat barat­-sekuler saat ini yang menoleransi adanya samen leven (musakanah, kumpul kebo). Karena perbedaan ‘urf, kebiasaan dan tradisi semacam itu tidak bisa diterima oleh masyarakat muslim. 

Keempat, dengan alasan di atas, pandangan Syahrur tersebut, di samping secara teoritis masih diperdebatkan, juga secara paksis tidak sesuai dengan ‘urf masyarakat muslim.

Dr. Samsul Haji (Penguji)

Menafsirkan ayat hukum tidaklah cukup dengan menafsirkan secara bahasa ataupun didasarkan kepada konteks diturunkannya ayat tersebut. Ketika ayat ditafsirkan dengan cara tersebut, akan menghasilkan produk hukum yang parsial dan sulit diterima. 

Diperlukan pemahaman yang komprehensif terbadap metode penetapan hukum (istinbath hukum) yang disebut ushul fikih. Aspek yang sangat penting yang juga harus dikuasai adalah pemahaman terhadap illat hukum dan tujuan hukum (bina’ul ahkam ‘ala al-illat wa bina’ul ahkan ‘ala al-maqashid). 

Illat dipahami sebagai alasan kenapa suatu hukum ditetapkan (ratio legis), sedangkan maqosid asy-syari’ah adalah tujuan dari hukum, yaitu merealisasikan kemaslahatan. Kemaslahatan ini meliputi kemaslahatan agama, jiwa (kehidupan), kesucian keturunan, serta kehormatan, akal, dan harta.

Mengalihkan makna milk al yamin kepada makna diperbolehkannya hubungan seks non­marital dalam bentuk nikah misyar, muhallih, samen leven, dan lainnya. Selain tidak sesuai dengan maksud diturunkannya perintah menikah untuk membentuk suatu keluarga yang abadi, sakinah mawaddah, dan rahmah, juga tidak sesuai dengan perwujudan kemaslahatan agama. Bahwa Islam menghendaki keadilan bagi semua manusia laki-laki dan perempuan.

Pengalihan makna tersebut mengakibatkan perempuan menjadi korban dan bukan perlindungan dan keadilan. Dalam aspek lain, konsep Syahrur tersebut sangat tidak sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap kaum ibu. Dan bahwa kemuliaan laki-Iaki bisa dinilai ketika dia memuliakan wanita.

Prof. Euis Nurlaelawati (Penguji)

Disertasi ini merupakan kajian ilmiah atas pemikiran seorang tokoh, yaitu Syahrur. Penulis (Abdul Aziz) memahami bahwa dengan konsep milk al yamin, hubungan seksual di luar pernikahan diperbolehkan dalam Islam.

Penulis menekankan bahwa Syahrur mengembangkan konsep ini untuk diterapkan di masa sekarang ini dalam beberapa bentuk pernikahan atau tepatnya hubungan seksual. Seperti: nikah misyar, nikah pertemanan, dan lainnya. Tujuan Syahrur dalam pemahaman penulis adalah untuk melindungi institusi perkawinan yang diagungkan syariat Islam untuk menjadi keluarga yang sakinah, bahagia, damai, penuh kasih sayang, di mana Syahrur melihat bahwa banyak sekali pernikahan yang membawa kehancuran dan kenestapaan.

Untuk itu, bagi Syahrur, dalam masalah hubungan seksual, consensus lebih diutamakan. Memang konsep ini problematik, dilatari oleh kondisi sosial di mana Syahrur hidup dan mengembangkan pemikirannya dan karenanya penulis disertasi (Abdul Aziz) tertarik untuk mengkajinya untuk melihat kekuatan dan kelemahan pemikiran Syahrur (critical discourse).

Sayangnya, memang penggunaan bahasa atau redaksi dalam beberapa poin membingungkan di mana penulis lupa atau alpa menyematkan phrase ‘dalam perspektif Syahrur atau dalam kacamata Syahrur’ pada beberapa pernyataan penulis di disertasi dan di ajang promosinya. Sehingga yang terbaca dan terdengar adalah bahwa penulis mempunyai pandangan bahwa dengan konsep milk al yamin, hubungan seksual di luar nikah itu sah dalam syariat Islam.

Pemahaman saya sendiri terhadap pemikiran Syahrur adalah bahwa ia lemah dalam berargumen dan tidak konsisten dalam pemikirannya terkait isu-isu hukum keluarga dan pidana. Terutama argumen bahwa ayat-ayat Quran masih selalu harus relevan pada masa sekarang ini. Sehingga ia perlu membunyikan kembali milk al yamin sangat lemah.

Selain itu, interpretasi Syahrur terhadap istilah itu, dalam batas tertentu, bertolak belakang dengan “teori limit/batas hukum”-nya. Terutama batas maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal sama sekali, terkait dengan tindakan yang mendekati hubungan seksual.

Dengan konsep milk al yamin, ia malah melegitimasi hubungan seksual di luar nikah. Ia juga terkesan abai terhadap posisi ‘urf (tradisi) dan penetapan hukumnya dalam isu ini tidak memenuhi standar kelayakan konsep maslahah. Perlindungan terhadap perempuan yang ia ingin realisasikan bertabrakan dengan konsep milk al yamin yang malah merendahkan perempuan.

Alimatul Qibtiyah (Penguji)

Saya melihat pemikiran Syahrur terkait milk al yamin problematis, terutama jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender. Perspektif yang digunakan lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh ‘dinikahi’ secara nonmarital (nikah hanya untuk kepuasan seksual). Tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang di rumah), kesehatan reproduksi, hak-hak anak, dan hak-hak perempuan dari ‘pernikahan’ non­maritalnya.

Selain itu, hakikat pemikahan yang dipahami oleh jumhur ulama adalah perjanjian yang sakral dan kuat (mitsaqan ghalizhan) dan berdasar pada konsep kesalingan. Tidak sekadar menghalalkan hubungan seksual. Karena itu, ‘pernikahan’ nonmarital, dalam bentuk apa pun, tidak sesuai dengan hakikat pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan ulama.

‘Pernikahan non-marital’ yang diprediksi akan mengurangi praktik poligami, sehingga perempuan terlindungi, maka sebenamya hal itu justru menimbulkan ketidakadilan dalam bentuk lain. Legalitas perselingkuhan jadi argumentasi problematis.

Karena itu, judul disertasi disarankan ditambah dengan kata “problematika”. Semangat Alquran adalah melindungi perempuan dan menghapuskan perbudakan.

Dengan disebutnya milk al­ yamin dalam Alquran 15 kali, hal itu menunjukkan bahwa masalah perbudakan, khususnya budak perempuan, adalah masalah yang serius. Karena menjadikan perempuan tidak diakui kemanusiaannya, tidak mendapatkan akses ekonominya, menjadi objek seksual dan tidak punya otonomi terhadap tubuhnya sendiri.

Karena itu, tidak sepatutnya justru dicari bentuk perbudakan baru dengan konsep ‘pernikahan nonmarital’ yang hanya berorientasi pada pemenuhan hubungan seksual, dan mengabaikan hak-hak perempuan dan anak. [bb]