Ulil Sedih Lihat PBNU Hendak Jadi Konservatif Memundurkan Demokrasi

Ulil Sedih Lihat PBNU Hendak Jadi Konservatif Memundurkan Demokrasi
©JawaPos

Nalar Politik – Ulil Abshar-Abdalla mengaku sedih melihat kelakuan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dewasa ini. Itu karena sikapnya yang menggulirkan dukungan Pilpres melalui MPR, yang, menurutnya, hendak jadi konservatif memundurkan demokrasi.

“Saya amat sedih sekali karena PBNU mendukung pemilihan presiden melalui MPR,” ungkap Ulil melalui keterangan tertulisnya, Kamis (28/11).

Pemilu langsung, jelas Ulil, merupakan salah satu capaian penting dari Reformasi. Sehingga, ketika ada pihak yang kembali mewacanakan Pilpres jalur MPR, seperti ditunjukkan oleh PBNU, maka itu adalah kemunduran besar bagi demokrasi Indonesia.

“NU tak boleh menjadi bagian dari kekuatan konservatif untuk memundurkan demokrasi kita,” tegas sosok yang lebih dikenal sebagai tokoh Jaringan Islam Liberal ini.

Selain terhadap dukungan PBNU, Ulil juga menolak wacana pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, untuk menggantikan Pilkada langsung melalui DPRD. Mahalnya ongkos pelaksanaan tidak bisa jadi alasan. Itu menyalahi konsensus kebangsaan yang telah dicapai di era Reformasi.

“Pilpres langsung adalah salah satu penanda bahwa negeri kita benar-benar demokratis. Kita selama ini melakukan diplomasi keluar, menjual Islam khas Indonesia yang ditandai dengan kompatibilitas Islam dan demokrasi. Kalau Pilpres langsung diakhiri, maka diplomasi Islam kita akan ambyar.”

Memang tak termungkiri bahwa suara-suara yang membenci demokrasi sekarang ini kembali mendapat angin segar. Salah satu indikasinya, Mendagri Tito Karnavian, secara implisit, mulai memuji negeri-negeri non-demokratis seperti Cina lantaran pertumbuhan ekonominya yang lebih tinggi.

“Sedih! Mereka yang ingin menjadikan Cina sebagai model, karena pertumbuhan ekonomi tinggi walau otoriter, mengingatkan saya pada zaman Orde Baru.”

Dulu, kata Ulil, political wisdom yang dominan di zaman Orba adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak cocok dengan kebebasan/demokrasi. Nahasnya, perkara itu hendak dimunculkan kembali di saat Indonesia sedang gencar-gencarnya mengejar ketertinggalan.

“Saya ingin Indonesia tumbuh ekonominya, keluar dari middle income trap, dengan tanpa meninggalkan jalan demokrasi. Saya tak ingin Indonesia mengikuti jalan Cina: ekonomi tumbuh tinggi, tetapi tanpa demokrasi. Ini harus menjadi visi kebangsaan kita.” [tw]

Baca juga: