
Etika digital itu tujuannya jelas: membuat orang yang berkomunikasi bisa saling berinteraksi secara nyaman di dunia maya.
Nalar Warga – Beberapa waktu lalu, sebagian kita ribut-ribut dengan hadirnya “virtual police” yang tugasnya mengawasi akun-akun “nakal” di media sosial. Malah ada yang sudah kena semprit, kan, ya? Pemerintah dituding antikritik gara-gara ini. UU ITE juga didorong untuk direvisi karena “mengancam” demokrasi.
Sebenarnya, mana yang lebih penting?
- Revisi UU ITE
- Virtual Police
- Gerakan Literasi Bermedsos
Atau penting semua?
Belum lagi fakta bahwa netizen kita mendapat gelar netizen paling enggak sopan di media sosial versi Microsoft, ya. Padahal di Indonesia, pengguna internet sebanyak ini.
Sumber: Wearesocial Hootsuite, 2020
Perkembangan komunikasi digital memang menciptakan karakter komunikasi global yang lintas geografis dan lintas budaya, bahkan lintas generasi. Di luar dunia maya, tiap wilayah geografis dan wilayah budaya serta masing-masing kelompok generasi berlaku standar etika yang tidak sama.
Di ruang digital global, kita berpotensi berinteraksi dengan orang-orang yang beda kultur, beda bahasa, beda aspek-aspek demografis. Tentu saja ini berpotensi juga memunculkan masalah-masalah etis karena sifatnya yang lintas geografis, lintas budaya, dan lintas generasi.
Itulah kenapa diperlukan standar etika yang sama untuk mewadahi pengguna media sosial yang masing-masing memiliki latar belakang standar etika yang berbeda, sehingga dunia media sosial ini menjadi lebih sehat dan nyaman, membawa implikasi yang baik bagi kemajuan masyarakat.
Baca juga:
Lha ya gimana wong di real life standar etikanya beda kok?
Etika digital bisa kita maknai sebagai kemampuan individu menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata kelola etika digital dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber: Japelidi
Intinya sih “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Saat bermedia sosial, kita harus sadari bahwa kita berhadapan dengan publik yang masing-masing berlatar budaya dan standar etis yang beda. Maka kita tidak bisa mendasarkan standar kita sendiri di ranah publik yang sedemikian heterogen.
Sementara etika digital itu tujuannya jelas: membuat orang yang berkomunikasi secara digital bisa saling berinteraksi secara nyaman di dunia maya. Anggap saja kehidupan di dunia maya sama dengan kehidupan kita sehari-hari di real life di mana adat kesantunan berlaku sama.
Memang agak sulit kita kendalikan, karena saat berinteraksi di dunia maya kita tidak berhadapan langsung dengan orang lain. Kita tidak benar-benar merasakan sisi emosional dalam berinteraksi, tidak menikmati aspek non-verbal lain yang kemudian membuat kita seolah hanya berhadapan dengan gadget/mesin wicis benda mati.
Ini yang sering kali kita lupa: adat kesantunan, karena “toh tidak face to face” yang tentu saja feel-nya beda.
Baca juga:
Ya bedalah ya. Coba maki-maki orang saat berinteraksi face to face? Apalagi kalau akunnya anonim, tidak teridentifikasi. Sehingga kalaupun melanggar etika berinteraksi, akan sulit kita telusuri.
Maka kemudian ada UU ITE, ada “virtual police” yang tugasnya menjadi pengendali perilaku di media sosial.
Tapi, instead menanggapi perilaku di media sosial dengan UU dan aparat, saya lebih suka kita sedikit lebih cerdas saja saat bermedia sosial. Literasi penting, karena filter media sosial sebenarnya ya diri kita sendiri.
- Mungkinkah Gerindra Akan Menggeser Posisi PDIP? - 29 September 2023
- Murid Budiman - 1 September 2023
- Budiman Sudjatmiko, Dia Pasti Adalah Siapa-Siapa - 30 Agustus 2023