
Sekitar dua ribu lima ratus tahun yang lalu, seorang Filsuf Yunani Epicurus merenungkan kesulitan dan manfaat dari usia tua. Beliau sampai pada kesimpulan ini:
“Bukan pemuda yang harus dianggap beruntung, tetapi orang tua yang hidup secara baik, karena pemuda di masa jayanya banyak mengembara secara kebetulan, terombang-ambing dalam keyakinannya, sementara orang tua berlabuh di pelabuhan, setelah menjaga kebahagiaannya yang sebenarnya.”
Jujur, setelah belajar filsafat empat tahun di Ledalero di mana Epicurus sering kali diframing buruk sebagai peletak dasar hedonisme, baru kali ini saya menemukan dimensi berbeda dari beliau. Disebut demikian karena Epicurus percaya bahwa kebahagiaan paling baik dapat dicapai jika kita “membebaskan diri dari penjara” bisnis sehari-hari, perdagangan, dan politik. Kebanyakan anak muda tidak bisa melakukannya. Tapi, pensiunan bisa.
Sekali lagi, ternyata Epicurus tidak terlalu epikur dalam pengertian modern. Dia percaya pada kesenangan, tetapi baginya kesenangan terdiri dari berkumpul dengan teman-teman untuk makan malam bersama yang ‘kaco’ (itulah sebabnya Epicureanisme menjadi terhubung dengan makanan), namun argumennya lebih condong ke hidangan rumahan bersahaja di kampung kecil yang ada di pelosok Flores Timur sana.
Di Desa Nobo, pada senja yang temaram, ada gelas berisi tuak putih yang diedarkan kepada beberapa orang yang duduk mengelilingi tungku api.
Artinya, bagi Epicurus, kenikmatan makan malam yang luar biasa bukanlah makanannya, tetapi percakapan yang sangat baik dengan teman-teman—banyak dari mereka, seperti dia, “berlabuh di pelabuhan” pada usia tua yang puas.
Bagi Epicurus, itu adalah salah satu hal terbaik tentang usia tua atau sekurang-kurangnya pengalaman usia muda yang sulit terulang: kemampuan untuk memelihara persahabatan, tidak terbebani oleh urusan bisnis dan profesi.
***
Namun, itu hanyalah salah satu cara pandang terhadap usia, terutama usia yang diberi beban politik dan ekonomi.
Meskipun beberapa pemikir telah menawarkan filsafat waktu (terutama Martin Heidegger), analisis filosofis tentang usia masih kurang. Untuk memperbaiki ini, beberapa filsuf lain, di antaranya Alain Badiou, mulai menawarkan filosofi dan fenomenologi usia.
Usia dan Waktu
Badiou berpendapat bahwa kita memiliki kecenderungan untuk meringkus usia ke dalam waktu atau menganggap usia sebagai salah satu dari sekian banyak fungsi waktu; sekalipun benar bahwa usia memberi waktu ukuran realitas.
Jika kita merenungkan pengalaman kita, kita menemukan bahwa waktu lebih merupakan fungsi dari, atau didasarkan pada, usia. Sebagai contoh, konsep kita tentang waktu menua dan tunduk pada proses penuaan: konsep kita tentang waktu hari ini tidak sama dengan zaman dahulu, dan seterusnya.
Ketika saya berpikir tentang kata usia, saya berasumsi usia hanyalah angka.
Usiamu mestinya tidak mendefinisikan siapa dirimu atau apa yang orang pikir tentang dirimu.
Sebuah angka mestinya tidak melabeli siapa dirimu karena usiamu bukanlah representasi lengkap dari siapa dirimu.
Orang-orang mestinya tidak peduli berapa usia mereka.
Bahkan banyak kelompok orang dalam masyarakat tidak suka berbicara tentang usia mereka karena sesama mereka mendiskriminasi atau menghakimi apakah mereka tua atau muda.
Halaman selanjutnya >>>
- Mengapa Kita Tertarik pada Kasus Pembunuhan? - 5 September 2022
- Menjadikan Sastra NTT sebagai Sebuah Gerakan Politik - 31 Agustus 2022
- Usia - 20 Agustus 2022