
Melihat UU KPK hasil revisi, ada gerakan manuver yang dilakukan untuk kemudian mempersempit ruang gerak KPK sebagai sebuah lembaga.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK adalah sebuah lembaga negara yang menangani salah satu permasalahan yang paling merusak tatanan kehidupan bernegara kita, yakni “korupsi”. Terlahir sebagai anak kandung reformasi Indonesia membuat kehadiran KPK sangat penting terhadap keberlangsungn kehidupan berbangsa dan bernegara.
KPK merupakan lembaga yang bersifat indenpenden. Artinya, KPK bebas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan apa pun dalam melaksanakan tugas wewenangnya.
Dalam sejarahnya, KPK merupakan lembaga yang lahir pada masa kekuasaan Presiden Megawati pada tahun 2002. Semangatnya bahwa kondisi saat itu, terkhusus praktik korupsi, tidak efektif diatasi oleh institusi kejaksaan dan kepolisian sebagai penegak hukum.
Pendirian KPK berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 mengenai komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Pedoman KPK dalam melaksanakan tugas berasal dari lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Sehingga secara kelembagaan, KPK mempunyai beberapa tugas penting, yakni 1) Berkoordinasi dengan instansi yang berwenang untuk memberantas tindak pidana korupsi. 2) Melakukan pengawasan terhadap instansi yang berwenang memberantas tindak pidana korupsi. 3) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan menuntut tindak pidana korupsi. 4) Mencegah tindak pidana korupsi. 5) Memonitor penyelenggaraan pemerintah negara.
Dengan adanya revisi Undang-Undang KPK, secara langsung tentu sangat berdampak pada eksistensi KPK sebagai sebuah lembaga negara dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam menangani praktik korupsi di Indonesia.
Kalau kita lihat secara seksama tentang beberapa poin yang sudah direvisi dan disahkan oleh pemerintah, dalam hal ini DPR sebagai representasi rakyat, maka kesimpulan yang akan muncul adalah “KPK sedang ingin dipersempit ruang geraknya dalam menangani praktik korupsi”.
Hal ini tentu akan berdampak baik dan yakin sungguh para koruptor makin diberikan keluasan dalam melakukan tindakan korupsi. Ironis memang jalan yang diambil jika melihat revisi UU KPK. Lembaga yang dipercayakan (baca: KPK) untuk menangani praktik korupsi telah kehilangan arah untuk bergerak dalam menjalankan sebuah tugas dan tanggung jawab.
Melihat data dan fakta tentang kasus korupsi di Indonesia dengan presentasi anggota DPR dan DPRD paling banyak diciduk KPK. Berdasarkan laporan tindak pidana korupsi berdasarkan profesi akumulasi 2004-2018, yakni KPK berhasil menangkap 247 dari DPR/DPRD sebagai pelaku tindak pidana korupsi (TPK), 238 dari sektor swasta, 199 dari PNS eselon I/II/III, 101 dari wali kota/bupati dan wakilnya, 26 dari kepala lembaga/kementrian. Pada 2018, terdapat 260 TPK dengan angka pelaku tertinggi terdapat di DPR/DPRD, yaitu sebanyak 103 TPK.
Sementara dari Indonesian Corruption Watch (ICW), mencatat 254 anngota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi dalam lima tahun terakhir. 22 di antaranya adalah anggota DPR RI. Bahkan dua di antara mereka adalah Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan. Wajar jika DPR sebagai pemegang rekor teratas lembaga paling korup di Indonesia dengan penuh semangatnya untuk merevisi undang-undang KPK ini.
Manuver Mengintervensi KPK
Melihat UU KPK hasil revisi, maka dalam perspektif saya, ada gerakan manuver yang dilakukan untuk kemudian mempersempit ruang gerak KPK sebagai sebuah lembaga. Lihat saja UU KPK dari pasal per pasalnya yang telah di revisi;
UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 1 Ayat 3 berbunyi Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dar pengaruh kekuasaan mana pun. Pada-pasal ini ada kontradiktif bahwa KPK adalah lembaga independen, tetapi berada dalam rumpun eksekutif. Artinya, KPK bisa diintervensi oleh pemerintah.
Pasal 1 Ayat 5 berbunyi, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara. Bahwa pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang terdiri dari PNS dan PPPK. Artinya, ada peran dan campur tangan pemerintah dalam mengatur proses penerimaan pegawai KPK.
Pasal 12B Ayat (1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dar Dewan Pengawas. (2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.
(4) Dalam hal pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyadapan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak izin tertulis diterima dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama. Ini artinya bahwa dalam melaksanakan penyadapan, KPK harus mendapat izin dari dewan pengawas dan dengan waktu yang diberikan sangat singkat (6 bulan) untuk melakukan penyadapan.
Di mana dalam hal ini dewan pengawas KPK dipilih dan diusulkan oleh lembaga legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) sebagaimana terdapat dalam Pasal 37E Ayat 1-3. Artinya, ada intervensi dari DPR terhadap KPK. Kemudian telah dihapusnya Pasal 19 Ayat 2 dalam draf revisi UU No. 20 Tahun 2002 tentang KPK di mana tidak ada lagi pembentukan perwakilan KPK di daerah provinsi. Dan masih ada pasal-pasal yang kontroversi berdasarkan hasil nalar publik kalau kita lihat dengan teliti UU KPK ini.
Hal ini tentu akan memberi dampak pada makin bebas praktik korupsi di daerah-daerah di Indonesia. Dan parahnya lagi, dalam proses penetapan revisi UU KPK, DPR mengambil jalan tidak melibatkan KPK. Hal ini tentu sangat mencedrai nilai-nilai demokrasi.
Ada yang Marah
Dari hasil revisi UU KPK yang sudah disahkan/diundangkan menjadi UU KPK, sehingga membuat publik (Rakyat-Mahasiswa) marah dan melakukan protes sebagai bentuk perlawanan bahwa ada ketidaksesuain dan ketidakadilan yang terjadi secara nyata di negara bangsa ini.
Bahwa UU KPK ini perlu dilihat kembali karena dalam UU ini ada pihak dilemahkan dan ada pihak yang kuatkan atau ada yang dirugikan dan diuntungkan. Sebab mempersempit dan menghambat kerja KPK itu berarti mengkianati amanat dan cita-cita reformasi atau sama saja dengan reformasi dikorupsi.
Sebab, perlu kita tegaskan sekali lagi bahwa KPK merupakan anak kandung dari hasil reformasi Indonesia. Kalaupun KPK adalah anak kandung reformasi, mestinya negara (pemerintah) wajib untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat KPK layaknya seorang ibu kepada anaknya. Bukan malah sebaliknya, melemahkan KPK bahkan hampir membunuhnya.
Baca juga:
- Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya: Membetulkan Arah Pendidikan Kita - 12 Mei 2023
- Rakyat: Subjek Demokrasi, Bukan Objek - 11 Desember 2022
- Bangsa Bermasalah - 10 Oktober 2022