
Kekurangan yang paling fatal adalah bahwa film ini, saya kira, sama sekali tidak menggambarkan Mesir, yang konon menjadi salah satu kekuatan novel Ayat-Ayat Cinta. Dan yang paling menyedihkan adalah bahwa Mesir digambarkan sangat kumuh.
Studio 3 Twenty One Bintaro, Jakarta, tempat saya menonton Ayat-Ayat Cinta malam itu memang sesak. Dan yang menarik adalah dipenuhi oleh ibu-ibu dan bapak-bapak setengah baya, sesuatu yang sangat tidak lazim untuk film-film yang lain.
Dua orang bapak-bapak harus kecewa karena ia memilih tempat duduk paling depan yang dia kira adalah tempat duduk paling belakang.
Memang ada beberapa hal yang menarik dari film ini, di samping beberapa kekurangan yang cukup fatal. Kelebihan pertama adalah bahwa film ini dibintangi oleh pemeran yang benar-benar gagah dan cantik.
Kelebihan kedua adalah dari sudut cerita yang tragis. Saya kira ini adalah salah satu kisah cinta yang dahsyat, seperti kisah-kisah cinta yang lain yang juga sering dahsyat.
Kekurangan fatalnya adalah bahwa film ini belum mampu keluar dari bentuk film Indonesia yang lain yang hampir seluruhnya selalu tampak verbal dalam menjelaskan sebuah gagasan. Karena film ini salah satunya dimaksudkan sebagai syiar agama, maka agama yang dimaksud adalah ayat, salat, ceramah, azan, dan lagu salawat yang dilantunkan oleh Emha Ainun Nadjib.
Fahri dan Aisyah bertemu pertama kali di sebuah kereta. Ada dua orang bule yang dilecehkan oleh penumpang Mesir karena mereka dianggap kafir dan teroris. Kebencian orang Mesir terhadap Amerika tidak divisualisasikan, melainkan terlalu banyak dikatakan. Fahri dan Aisyah saat itu membela sang Bule, maka berkenalanlah mereka.
Fahri yang sepanjang film selalu didesak oleh orang tuanya di Semarang untuk menikah, harus selalu menjelaskan kepada penonton, dengan kata-kata, bahwa Islam tidak mengenal pacaran, yang ada adalah ta’aruf. Maka pusinglah ia karena selalu bingung menentukan pilihan.
Ia dikerumuni banyak gadis, tapi tak satu pun yang menjadi pacarnya. Gadis-gadis itu adalah Nurul (anak kiai besar Jawa), Maria (gadis Kristen Koptik yang luar biasa cantik), Noura (anak seorang Mesir yang perankan oleh Zaskia Mecca), Aisyah (muslimah bercadar keturunan Jerman), dan masih banyak lain yang tidak disebutkan nama-namanya, tetapi mereka selalu bergosip mengenai Fahri sambil mengupas jeruk.
Ketika Fahri putus asa di dalam penjara karena tak juga mampu membuktikan bahwa ia bukanlah pemerkosa Zaskia Mecca, teman sebuinya yang tak punya gigi depan itu dengan gesit menasihati Fahri tentang pentingnya sabar dan ikhlas.
Tak lupa ia menceritakan kembali kisah Yusuf yang dituduh memperkosa Zulaikha. Yang bikin pusing adalah bahwa kisah itu diceritakan secara detail.
Kekurangan yang paling fatal adalah bahwa film ini, saya kira, sama sekali tidak menggambarkan Mesir, yang konon menjadi salah satu kekuatan novel Ayat-Ayat Cinta. Dan yang paling menyedihkan adalah bahwa Mesir digambarkan sangat kumuh.
Mesir adalah unta, kambing, ayam di pinggir jalan, penjual kurma, dan keriuhan pasar di lorong sempit. Apa betul Mesir sekarang seperti itu?
Saya kira Mesir yang digambarkan Hanung itu adalah Mesir zaman Nabi tetapi dengan beberapa penduduk yang memakai jeans dan memegang handphone. Belum lagi bicara kondisi kost mahasiswa S2 Mesir itu yang lebih memprihatinkan daripada mahasiswa S1 di Ciputat.
Kekurangan lain yang saya tangkap adalah ketidaksensitifan film ini terhadap isu toleransi beragama. Secara kasar, film ini menggambarkan ketercerahan Maria untuk memeluk Islam, sementara sebelumnya ia adalah Kristen Koptik. Maria dipaksa oleh cerita untuk mengucapkan syahadat dan menjadi Muslimah.
Di akhir cerita, Maria berkata, “Ajari aku salat, aku ingin salat bersama kalian.” Lalu salatlah mereka, maka suara Emha muncullah, dan Maria mati.
Kendati Fahri tidak hanya menikah dengan Aisyah, tetapi juga dengan Maria, saya kok cenderung tidak melihat ada kampanye poligami di dalamnya. Yang justru diungkap adalah fakta betapa poligami adalah sesuatu yang sangat tidak ideal, bahkan jika pun itu dilakukan dengan terpaksa. Fahri melakukan poligami dengan terpaksa. Tetapi toh tetap digambarkan penuh masalah.
Di malam pertama mereka bertiga, Aisyah bertanya kepada Fahri, “Fahri, malam ini kamu tidur di mana?” Akhirnya ketiganya tidur berpisah.
Selama masa poligami itu, Fahri benar-benar adalah sosok yang rapuh. Ia harus banyak menutup diri kepada kedua istrinya. Masalah kecemburuan juga tidak berusaha ditutup-tutupi. Menurut saya, film Ayat-Ayat Cinta ini justru lebih banyak menunjukkan sisi kelam poligami, ketimbang mengampanyekannya.
Di akhir cerita, Maria “dimatikan.” Maka hiduplah mereka berdua, Fahri dan Aisyah, dengan bahagai untuk selamanya.
___________________
Artikel Terkait:
- Derita Cinta di Film Silariang
- Poligami, Jalan Politik Sang Nabi
- 3 Film yang Membangkitkan Kesadaran Politik
- Siapa Lebih Terbuka: PDI Perjuangan atau Prabowo? - 18 Agustus 2023
- Homoseksualitas Bukan Kejahatan - 28 Januari 2023
- Pidato Megawati - 12 Januari 2023