Virtue Ethics Aristoteles

Virtue Ethics Aristoteles
©Pixabay

Para pakar filsafat menyamakan etika (ethics) pada umumnya dengan filsafat moral. Etika seperti yang kita ketahui membahas persoalan baik dan buruk serta suatu tatanan yang ada di dalam masyarakat.

Namun, para pakar juga membagi lagi bentuk-bentuk ethics. Ada yang membagi ke dalam etika deskriptif dan etika normatif, ada juga ada yang membagi dalam etika normatif dan metematika. Pembagian ini tentunya berdasarkan keadaan masyarakat dan pengalaman langsung dari para pakar yang mengkaji dan meneliti.

Dalam konteks filsafat Yunani kuno, ethics sudah terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika adalah ilmu, tetapi sebagai filsafat ia bukan bagian dari suatu ilmu empiris (K. Bertens, 2002). Sedangkan yang biasanya kita katakan sebagai ilmu berarti ia bersifat empiris. Artinya, ilmu yang berdasarkan fakta dan tidak pernah meninggalkan suatu fakta yang mana bisa kita katakan etika juga aspek lain dari filsafat moral.

Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia jika kita lihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia jika kita lihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Itulah kekhususan norma moral.

Ada berbagai macam norma yang harus kita perhatikan. Ada norma-norma khusus yang berlaku pada situasi khusus. Norma-norma moral berarti tolok ukur yang masyarakat pakai untuk mengukur kegiatan seseorang. Maka dengan norma kita betul-betul dinilai. Kita mendapat nilai bukan dari salah satu segi, melainkan dari segi manusia.

Sebagai seorang filosof yang menitikberatkan pada hal yang bersifat antroposentris, Aristoteles dalam karya-karyanya selalu berkaitan dengan manusia, apalagi ketika berkaitan dengan ethics. Karyanya Ethica Ecomachia adalah karya yang secara khusus membahas etika kemanusiaan yang harus individu lakukan. Tidak mengherankan jika etika dan karya Aristoteles adalah cerminan dari kehidupan Aristoteles sendiri yang mungkin sekarang sulit untuk individu tiru di era disrupsi sekarang ini.

Pemikiran Aristoteles bersifat teologis dan merupakan suatu etika keutamaan. Secara etimologi, “keutamaan” adalah terjemahan dari bahasa Inggris virtue, dari bahasa latin vitus, kata sifat virtous bisa kita terjemahkan secara saleh. Sehingga dalam bahasa Barat virtue sering orang artikan sebagai kesalehan.

Aristoteles menyatakan bahwa keutamaan adalah sifat utama yang muncul atas kebiasaan. Kebiasaan ini menjadi penting karena hal yang baik perlu manusia jalankan terus-menerus. Seseorang tidak dapat kita nilai memiliki keutamaan jika ia hanya menjalankan kebaikan secara jarang-jarang saja, atau bila yang bersangkutan mendapatkan keuntungan (James Rachel, 1996).

Baca juga:

Keutamaan juga dengan kehendak tetap untuk berbuat baik. Perilaku keutamaan harus menyertakan maksud yang baik. Walaupun bagi sebagian orang menilai kita tidak memiliki maksud yang baik, tapi selama maksud yang kita tuju adalah baik, maka perbuatan itu adalah baik. Seperti contoh ketika orang lain menganggap kita, namun kita tidak ada niat sombong, maka perbuatan kita ternilai sebagai keutamaan, karena tujuannya adalah bukan mengarah pada keburukan.

Menurut Aristoteles, keutamaan merupakan titik tengah yang berada di antara kedua sisi ekstrem. Contohnya sifat berani dari dua sisi ekstrem. Sifat berani ini di antara sifat pengecut dan nekat. Pengecut melarikan diri dari berbagai macam bahaya dan nekat menaruh risiko terlalu besar. Jadi keutamaan berada pada pada titik sentral di antara dua sisi yang ekstrem.

Ethics Aristoteles pada dasarnya tidak terlalu berbeda jauh dengan etika Socrates dan Plato yang memiliki tujuan yang sama, yakni eudaemonia, atau kebahagiaan sebagai barang yang tinggi dalam kehidupan. Akan tetapi, ia memahaminya secara realistik dan sederhana. Ia tidak bertanya tentang budi dan perilakunya seperti yang Socrates kemukakan.

Ia juga tidak menunjukkan pengetahuan ide yang kekal dan tidak berubah-ubah, tentang ide kebaikan seperti yang Plato tegaskan. Ia menuju pada kebaikan yang tercapai oleh manusia yang sesuai derajatnya, kedudukannya, atau pekerjaannya. Tujuan hidup, katanya, tidaklah mencapai kebaikan untuk kebaikan, melainkan merasai kebahagiaan.

Tugas etika adalah mendidik kemauan manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan. Orang harus mempunyai pertimbangan yang sehat, tahu menguasai diri, pandai mengadakan keseimbangan antara keinginan dan cita-cita.

Sebagai manusia yang berbudi, tentunya mereka memiliki pola pikir yang baik untuk bisa menyeimbangkan di antara keduanya. Tidak bisa tidak keseimbangan itu harus mereka jalankan demi keberlangsungan kehidupan.

Budi pikiran seperti kebijaksaan, tanggung jawab, kecerdasan, dan pendapat yang sehat lebih Aristoteles utamakan daripada budi perangai, seperti keberanian, kesederhanaan, pemurah hati, dan lain sebagainya. Budi itu terdapat di antara manusia karena perbuatannya.

Ajaran tentang jalan tengah itu menunjukkan sikap hidup yang sesuai benar dengan pandangan filsafat Greek umumnya (Moh. Hatta, 1986). Baginya, hidup manusia lebih baik mengedepankan budi pikiran daripada budi perangai karena budi pikiran bisa mengontrol segala sistem dari yang terkecil individu itu sendiri sampai ke yang lebih besar yakni masyarakat.

Halaman selanjutnya >>>
Raha Bistara