Walaupun Kau

Walaupun Kau
Ilustrasi: NET

“Perjalanan kita akan panjang, sayang, dan akan penuh rintangan. Kau siap dengan segala?”

Kau tak perlu meminta kesiapanku. Sedari dulu sudah kutahu, tak ada hidup yang benar-benar indah. Semua semu, sayang—tidak abadi. Keindahan hanya ada di layar-layar televisi dengan alur yang sudah jelas bahagianya di akhir cerita. Itupun hanya drama.

Mari mengukir peristiwa. Kita mulai dari sini:

Pada titik awal kita memulai langkah, aku tahu akan banyak tikungan tajam di depan sana. Tapi sebelumnya sudah harus mempersiapkan diri dengan penuh pengertian-pengertian.

Sejauh kita terus melangkah ditemani kepercayaan, semua akan baik-baik saja dan lumrah. Kita menikmati perjalanan dengan santai. Tak pernah pikirkan perihal yang menggelisahkan. Semakin jauh, semakin semuanya menyenangkan.

Entah sudah berapa juta menit yang kita habiskan. Bahkan rembulan serasa muak melihat tingkah kita. Matahari tak sanggup lagi menghitung berapa ribu kali ia membenamkan diri.

Di sela-sela itu, banyak cerita dan peristiwa yang terukir di antara. Dan kehangatan menjadi saksi garangnya sebuah halauan: terjal, jalanan berduri, juga dilema, kebosanan, ketakutan, keraguan, dan hal yang melemahkan lainnya. Tapi kita masih berpegang erat—bahkan lebih erat dari sebelumnya.

“Yakinlah, semua akan baik-baik saja. Toh setelah apa-apa yang menghalang, kita tetap menjadi kita—tetap bersama.”

“Kau benar. Kita punya kuasa atas hidup. Kita bisa jalani seperti apa yang kita mau asal tidak beri kesakitan pada yang lain-lain.”

Tidak cukup sampai di situ, pada perjalanan yang masih kabur, kita terus yakin bahwa di ujung sana tersedia tujuan hidup yang sesungguhnya—kebahagiaan. Pada tujuan itulah kita tak pernah berhenti melangkah, abai pada kelelahan. Semoga kita tak pernah salah jalan.

Sebagai cara, kita mesti saling mengingatkan. Sebab kekhilafan terkadang datang tanpa diundang. Sewaktu-waktu, di tengah perjalanan, bisa saja aku tergoda pada bunga yang tampak indah di seberang sana. Mecoba meraih, justru jatuh ke jurang yang dalam. Mencipta luka dan cacat yang terus membekas. Menyisakan penyesalan yang selalu datang di akhir tindakan. Sayang, pun begitu denganmu. Kuharap tidak.

“Kau masih kuat?” katamu lirih.

“Selama bersamamu, aku akan baik-baik saja.”

“Berapa lama kita akan bertahan?”

“Selama yang kita mampu,” aku coba meyakinkan

“Kalau begitu, kita lanjutkan perjalanan supaya segera sampai. Semoga di ujung sana benar adanya kebahagiaan.”

“Semoga.”

Kudapati wajahmu sumringah. Gigimu yang rapi tampak tegas menghantar tawa. Sejauh ini tidak ada rintangan yang berarti. Semua bisa dilewati dengan mudah. Semakin jauh kita berjalan, semakin tampak banyaknya terjal dan tikungan tajam.

Sejenak kita berhenti dan berbaring santai di antara bebatuan. Memandang langit yang menyuguhkan ribuan gemintang. Bulan tersenyum haru melihat kau membelai rambutku. Kuseru pada pohon-pohon dan cahaya bahwa kita akan terus bersama. Sebab seruan itu—angin memberi isyarat persetujuan. Juga ranting-ranting dengan saling bergesekan. Juga air yang terus gemericik, jangkrik malam yang ikut meng-iya-kan. Tak luput dari dedaunan yang berpegang tangan ikut menggembirakan. Semua terasa gaduh.

Sebelum terlelap, kita berkhayal tentang banyak hal. Jika kelak kita benar-benar sampai pada tujuan itu, kita akan mengukir lebih banyak cerita. Bukan saja untukmu dan aku, tapi untuk segala. Ya, segala.

***

Kali ini, gundukan terjal terdapat di tiap langkah perjalanan. Tikungan-tikungan tajam tak lagi kabur terlihat. Di kelilingi jurang yang curam, terasa begitu mencekam. Aku selalu ingatkan agar kita lebih berhati tiap kali menapak kaki.

Tak jarang terdapat begitu banyak bunga-bunga yang tampak indah, tumbuh segar di tepi-tepi. Kesemuanya memunculkan hasrat ingin memetik dan menciumnya dengan seksama. Tanpa berpikir bahwa kita bisa terpeleset kapan saja.

Aku dapati wajahmu begitu kagum memandang keindahan. Kau tampak kehilangan keseimbangan. Walau begitu, aku tak pernah lelah mengingatkanmu.

“Aku ingin memetik bunga di ujung sana. Tampaknya harum,” ujarmu mulai mengadu padaku. Tapi, bunga yang kau tunjuk itu benar-benar indah tampaknya.

“Silakan. Tapi berhati-hatilah. Kau harus yakinkan bahwa bunga itu tidak memberimu racun setelah kau menciumnya. Sebab di sekelilingmu adalah jurang,” pintaku penuh cemas.

“Aku akan hati-hati. Percayalah.”

“Silakan. Tak perlu lagi aku memohon. Kau pun tahu bahwa tujuan masih ada di ujung sana.”

“Ya, aku tahu sekali. Tapi apa salahnya memetik bunga itu dan menciumnya sepanjang perjalanan? Aku ingin sekali memilikinya.”

“Jika bunga-bunga itu justru bisa tumbuh subur tanpa kau ulah-ulah, mengapa mesti kau petik dan membuatnya mati perlahan?”

“Aku akan menjaganya.”

“Dengan cara apa? Membuatnya layu, kering, kemudian mati sia-sia?”

Kau bersikeras memetik bunga itu. Dari belakangmu, aku hanya bisa berharap: semoga  kau baik-baik saja. Kau terpeleset dan hampir terjatuh pada jurang yang penuh kengerian.

Walaupun kau begitu, aku tetap meraih tanganmu dengan erat, memelukmu hangat. Tapi kau begitu bangga, bangga sekali memamerkan bunga itu padaku—bunga yang baru saja kau dapati. Walaupun kau begitu, aku tak pernah murka. Aku maklumi.

Kita lanjutkan perjalanan. Lagi-lagi aku dapati matamu memandang nafsu pada bunga-bunga yang tumbuh subur sepanjang perjalanan. Tanpa lelah, aku akan terus mengingatkanmu untuk lebih berhati-hati.

Jurang-jurang curam sudah mengintai lewat harumnya aroma bunga. Jika terjebak, kita bisa apa selain pasrah menikmati tubuh kita tercabik-cabik tanpa kasihan oleh tumbuhan liar dan hewan buas di dalam sana?

“Berhati-hatilah, sayang.”

“Bunga itu lebih bagus dan lebih harum dari yang tadi. Akan aku coba memetiknya.”

“Petiklah dengan hati-hati. Sangat hati-hati.”

“Kau tenang saja. Aku bisa menjaga diri.”

“Semoga,” jawabku singkat dengan penuh harap

Benar saja, belum sempurna aku berucap, kau lebih dahulu bertindak. Aku bisa apa lagi selain berharap semoga kau baik-baik saja?

Karena kecerobohanmu itu, kau benar-benar jatuh ke jurang yang paling dalam. Perlahan tubuhmu menjauh dan hilang di antara belukar. Apa lagi yang bisa kukatakan selain pasrah dan menunggu—berharap kau pulang?

Sepanjang hari hanya bisa bersedu-sedan tanpa pernah berhenti berdoa dengan penuh semoga. Aku menyesali sikapmu yang mengabaikan ketakutanku. Selama menunggumu, aku terus merenung: apa sesungguhnya dirikulah yang salah, sampai tak sanggup meyakinkanmu tentang jalan yang akan kita tuju?

Aku tak mungkin mengajakmu pada jalan yang salah. Walau mustahil, aku tetap berharap kau pasti pulang. Dengan jalan lain mencoba menyusuri jurang, berharap sampai padamu. Setidak-tidaknya dengan harapan aku masih bisa bertahan untuk melanjutkan hidup—masih memiliki harapan.

Sesungguhnya harapan itu bukanlah sebuah kemustahilan. Perlahan tanganmu tampak menjajak puing-puing yang tersisa. Tanpa ragu aku menggapainya dan menopangmu. Aku tak ingin kau putus asa dan menghadapi kesakitan sendirian. Aku tak mungkin membiarkanmu berjuang sendirian dengan belukar yang masih bernafsu atas tubuhmu.

Kau meraung menyesali semua. Tapi duri-duri itu terlanjur menancap di tubuh. Meninggalkan bekas tanpa bisa kau hilangkan.

Aku dapati tubuhmu tersayat-sayat. Luka-luka menganga dan darah. Tanpa banyak yang bisa kukatakan, aku hanya ingin menyambutmu walau sekedarnya saja. Berharap masih bisa melanjutkan perjuangan bersama yang entah kapan akan usai.

Pada selembar daun, kutuliskan puisi untukmu:

Sayang, seindahnya bunga tak lebih indah dari kedamaian
Seharumnya bunga tak lebih berarti jika menwarkan racun dan duri

Sayang, kita bisa saja memilih jalan seperti apa yang kita mau
Jika tidak teliti dan hati-hati, hanya akan membawa perih

Kita punya kuasa atas segala, tapi tidak pada nafsu dan angkara murka
Kita bisa menggenggam rembulan pada wujudnya di telaga
Walau begitu, kita mesti ingat, ia hanyalah semu

_____________

*Klik di sini untuk membaca cerpen lainnya.

Uci Susilawati
Latest posts by Uci Susilawati (see all)