What Is Enlightenment Kritik Terhadap Klaim Abad Pencerahan

Dwi Septiana Alhinduan

Abad Pencerahan, atau sering kali diistilahkan sebagai Aufklärung dalam bahasa Jerman, mengacu pada periode sejarah yang menandai pergeseran besar dalam cara berpikir manusia. Periode ini berlangsung sekitar abad ke-17 hingga ke-19, dan ditandai dengan munculnya ide-ide baru mengenai rasionalitas, sains, dan hak asasi manusia. Namun, di balik klaim muluk-muluk mengenai pencerahan manusia ini, tersimpan kritik yang tajam terhadap asumsi-asumsi yang sering kali diambil begitu saja oleh para pemikir dan politisi zaman itu.

Dalam pukulan retoris dan intelektual, Abad Pencerahan tidak hanya dianggap sebagai fase pembebasan dari belenggu dogma, tetapi juga sebagai sebuah narasi yang dibangun dengan agenda tertentu. Kritik terhadap klaim Abad Pencerahan mengindikasikan adanya kebutuhan untuk menggali lebih dalam mengenai motivasi intelektual dan politik yang mendorong perubahan ini. Banyak pemikir telah mencetuskan keraguan tentang batasan dan efektivitas pencerahan yang diklaim. Dengan kepercayaan kolektif akan kemajuan, Abad Pencerahan seolah menyesatkan banyak orang dengan janji kesempurnaan dalam berpikir dan bertindak.

Di satu sisi, pencerahan ini mengedepankan rasio sebagai dominasi hampir semua aspek kehidupan manusia, dari filsafat hingga kebijakan publik. Di sisi lain, banyak kritikus berargumen bahwa pendekatan ini gagal untuk mencakup kerumitan pengalaman manusia. Misalnya, Immanuel Kant sendiri, meskipun dianggap sebagai pelopor dalam pencetus ide pencerahan, juga mengakui adanya batas-batas kembali yang diciptakan oleh ketidakberdayaan manusia. Dalam karyanya, “Apa itu Pencerahan?”, Kant menekankan perlunya keberanian untuk berpikir secara mandiri, tetapi seberapa banyak dari kita yang benar-benar mampu melakukannya dalam kontek sosial dan politik yang ada?

Kritik semacam ini menerpa gagasan keuniversalan yang dibawa oleh Abad Pencerahan. Sering kali, pencerahan dianggap berlaku tanpa terkecuali bagi semua masyarakat. Ini mengabaikan kenyataan bahwa pencerahan itu sendiri hadir dalam konteks sosial dan budaya tertentu yang khas bagi Eropa. Ada kekhawatiran bahwa pemikiran pencerahan mungkin menghegemoni cara berpikir orang lain di luar bumi Eropa, berpotensi menganggap sistem nilai lain sebagai inferior, tanpa memberikan ruang untuk dialog yang lebih inklusif.

Di ranah politik, terdapat banyak contoh di mana ide-ide pencerahan digunakan untuk membenarkan tindakan yang sewenang-wenang. Revolusi Prancis, yang diilhami oleh nilai-nilai pencerahan, oleh beberapa kalangan justru diartikan sebagai peristiwa yang menggambarkan kekacauan yang merugikan masyarakat. Frekuensi pengacauan kekuasaan untuk mewujudkan ‘kebaikan bersama’ menjadi sorotan. Apakah konsep ‘freedom’ dan ‘equality’ benar-benar mampu diwujudkan, atau sekadar retorika untuk menghancurkan tatanan lama demi kepentingan kelompok tertentu?

Lebih jauh lagi, kita tak bisa mengabaikan dimensi religius dalam kritik terhadap klaim pencerahan. Pergerakan untuk membawa terang ini sering kali berlangsung bersamaan dengan upaya pemberantasan dogma agama. Namun, ini menciptakan kesan seakan agama adalah musuh dari rasionalitas. Padahal, banyak nilai-nilai moral dan etika yang esensial dapat ditemukan dalam tradisi keagamaan yang telah ada jauh sebelum pencerahan. Nestapa manusia di dalam pembacaan domestifikasi intelektual ini sering mengarah pada jarak yang semakin jauh antara akal dan spiritualitas.

Observasi umum tentang kekuatan pencerahan terletak pada fakta bahwa ia memicu perdebatan yang berkelanjutan mengenai hakikat kemanusiaan. Rasionalitas yang dipromosikan sering diterima sebagai panacea bagi semua masalah sosial. Namun, semakin kita menjalani kemajuan yang diklaim oleh pencerahan, semakin kita menyadari bahwa kompleksitas kehidupan manusia tidak dapat dijelaskan dalam satu dimensi. Keberagaman pengetahuan, pengalaman, dan tradisi seharusnya diintegrasikan dalam wacana pencerahan, bukan dijadikan suatu hal yang terpisah.

Dalam banyak hal, penolakan terhadap klaim Abad Pencerahan bukan berarti kembali ke dogma masa lalu. Sebaliknya, kritisisme ini bertujuan untuk mensoalkan regulasi yang diciptakan oleh rasionalitas yang sempit. Kita diajak untuk merangkuh ukuran-ukuran kebijaksanaan yang lebih luas, yang mengakomodasi keragaman perspektif dan nilai yang berbeda. Integrasi antara rasio dan intuisi, antara pengetahuan dan kebijaksanaan, merupakan tantangan yang masih perlu kita hadapi hingga hari ini.

Ketika mengamati fenomena sosial-politik kontemporer, kita tidak bisa lepas dari bayang-bayang pencerahan. Kita dihadapkan pada momen-momen keputusan yang membawa dampak luas bagi dunia. Oleh karena itu, refleksi mendalam perlu dilakukan, untuk memastikan bahwa langkah-langkah ke depan tidak terjebak dalam jebakan keangkuhan intelektual yang melupakan substansi pengalaman manusia. Dengan cara ini, Abad Pencerahan dapat dilihat bukan sekadar sebagai ujian sejarah, tetapi juga sebagai laboratorium untuk menafsir ulang apa yang kita pahami sebagai pengetahuan dan pencerahan sejati.

Related Post

Leave a Comment