
Wilhelmina, nama yang saban hari kutulis dalam imajinasiku. Dia gadis yang kuciptakan bersama realitas semu.
Dua minggu yang lalu, kami sempat bercerita di trotoar jalan menuju ibu kota. Di tengah keramaian dan bisingan roda dua maupun empat yang lalu lalang, hilir-mudik aku menghitung satu atau dua kali tawa renyah di sudut bibirnya.
Sempat juga, beberapa kali aku membusungkan mataku agar bisa menatapnya lebih jelas dan lama wajahnya yang dibias rembulan malam minggu kali ini. Meskipun gelap makin gulita, aku mengagumi wajahnya sekalipun bulan harus tanggal dan pergi meninggalkan kegelapan.
“Aku jatuh cinta padanya,” ucapku keceplosan.
Ia berhenti dengan mata menatapku tajam. Memberi tatapan dengan seribu tanya yang mengundang wajahnya merah merona sambil mulutnya komat-kamit kegagapan persis seperti tidak terbiasa dengan ungkapan-ungkapan yang baru saja aku keceplosan itu.
“Apa katamu barusan, Jim?”
“Aku jatuh cinta padanya.”
“Siapa sih yang kau maksudkan dari subjek “nya” itu?” tanyanya dengan mengantisipasi kalau-kalau bukan dia yang kumaksudkan.
“Aku jatuh cinta pada semesta. Cintaku itu lahir dari pesona wajahmu. Sering kali aku menghitung ribuan senyum yang jatuh dari orang-orang sepertimu. Polos, sederhana, simpel, cantik. Lebih menariknya lagi, kau pandai membawa dirimu dalam setiap situasi. Dan akhirnya aku kagum dan membuatku begitu mencintainya.
Ia sungguh luar biasa. Menciptakan kaum-kaummu dengan keindahan dan kecantikan yang tak dapat dibahasakan oleh kalimat-kalimat panjang atau sekadar kebelat ingin berpamitan keluar. Kau dan kaum-kaummu merupakan ciptaan yang paling luar biasa di dunia ini.
Darimu aku belajar bahwa sesungguhnya cinta tak harus pergi. Sekalipun ia harus berpisah untuk selamanya atau sekadar dipisahkan oleh waktu dan jarak, mungkin juga pisah karena bosan dan akhirnya diputusin, namun cinta akan terus kembali.
Sederhananya, seperti ungkapan Sujiwo Tedjo dalam sajak-sajak kecilnya yang pernah beberapa kali kubacakan kepadamu, “Tuhan menciptakan pundak laki-laki agar mampu menampung tangis perempuan dan Tuhan menciptakan air mata perempuan agar laki-kali paham bahwa ia tak sendirian.”
“Ah…, jujur saja aku mencintainya karena aku mengagumimu lebih dari sekadar cinta.”
Semua jawabanku terlalu berbelit seputar mencintai. Malam itu, aku mencintainya, begitu juga untuk malam-malam berikutnya. Perjalanan, perjumpaan, kebersamaan, dan perpisahan di gang-gang yang membedakan rutinitas kami makin membuatku takut. “Takut menghilangkan rasa atau barangkali lebih tepatnya aku takut kehilangan segala yang kukagumi darinya.”
* * * *
Pada suatu senja yang panjang, aku diam di ujung lidahku yang keluh. Menghayal dengan seribu bahasa yang tak dapat dibahasakan dari semua kisah yang terlewatkan begitu saja.
“Mencintai tak harus jadi puisi.” Sebab mencintai itu bukan prahara dari sekian banyaknya syair yang kau lantunkan di dalam bait-bait puisi indahmu. Bukan pula permainan kata dengan metafora bahasa yang kau kawinkan dari satu sudut pandang ke sudut pandang yang lain dengan segala alur yang bisa kau mainkan begitu saja seenaknya.
Kadang maju kadang juga mundur atau maju-mundur sesukamu hingga membuat semua orang jadi ambigu untuk memahaminya. Hanya kau yang benar-benar memahami dengan segala suasana perasaan dirimu.
“Cinta itu sebuah doa yang, ketika kau kenang, ia mampir tanpa malu dalam rumusan doa yang singkat. Tuhan, terima kasih untuk cinta-Mu kepadaku lewatnya.” Ungkapan Ving itu membuatku lupa pada hayalku dan sekaligus menyadarkanku dari dunia romantis imajinasiku sendiri.
“Barangkali benar juga ucapan Ving. Sebab, aku sering mengagumi seorang wanita lewat puisi-puisiku tapi tak pernah terbacakan dengan lidahku sendiri,” batinku.
“Tapi, Ving, bukankah setiap manusia memiliki caranya masing-masing untuk mencintai?”
“Aku membahasakan cinta tanpa membacakannya dengan baik dari setiap rasa yang kutulis dalam sajak-sajak kecil. Sedangkan kau, kau pandai membahasakan cintamu itu lewat lagu-lagu yang kau ciptakan dan nyanyikan. Sehingga tak ada satu pun wanita yang tidak kau rayui dengan nada-nada lagu yang tersentuh itu,” elakku kemudian.
“Jimmy, Jimmy, sudah berapa kali coba, aku bilang jangan sekadar keceplosan untuk mengaguminya. Cinta bukan soal keceplosan, melainkan soal keberanianmu. Atau jangan-jangan kau takut diabaikan dan ditolak? Jika karena itu, aku sarankan, memendam itu lebih mmenyiksa dan lebih sakit rasanya ketimbang kau tahu bahwa ia menolak keberanianmu mengungkapkan perasaanmu.”
Aku menimang-nimang ungkapan Ving yang terakhir itu. “Benar juga katanya, memendam dan hanya sebatas mengagumi sekalipun kami begitu dekat dan sering kali aku dibuatnya cemburu oleh keakrabannya dengan teman-teman laki-lakiku. Namun, aku sadar, aku bukan siapa-siapa baginya yang tidak pantas untuk dicemburui atau sekadar melarangnya bergaul dan berbicara dengan siapa saja.
Percakapan dua minggu yang lalu masih sebatas keceplosan. “Aku mencintainya lebih dari caraku mengagumimu.”
Dua minggu yang lalu, aku lihat ada harapan yang mula-mula terang benderang hingga redup perlahan-lahan. Mungkin saja aku mencintainya, namun ia tak mencintaiku. Seperti sebuah pilihan, dan aku hanya dipanggil menjadi bagian dari hidupnya tidak dipilih oleh cintanya untuk mencintai dan dicintai.
Dua minggu yang lalu, saat pisah kami di gang-gang panjang dengan tembok-tembok tinggi dihadang bangunan-bangunan pencakar langit, aku lihat ia dengan manjanya memeluk tubuh seseorang yang kupanggil namanya Reynhar.
“Aku cemburu.”
Bisa saja. Ingat, aku bukan siapa-siapanya. Aku hanya dianggap sebagai saudara, sahabat, kakak, dan teman yang perasaan untuk mencintai dan jatuh cinta telah kukubur jauh sebelumnya dari segala perasaan. Aku turut bahagia bersama setiap cerita dan tawa renyahnya.
“Terima kasih, Tuhan. Engkau telah mengajariku untuk mencintaimu dari menganguminya.”
* * * *
Wilhelmina, nama yang saban hari kutulis dalam imajinasiku. Dia gadis yang kuciptakan bersama realitas semu diriku.
Wilhelmina gadis yang polos, sederhana, cantik, simpel, dan membuatku jatuh hati tanpa bisa menyentuhnya. Dialah kekasihnya yang coba kujawabi dari setiap penggalan pertanyaan, “Kak, mungkinkah mencintai itu harus terluka <ditolak> dan <diputusin>?”
Ving adalah adikku yang baru saja merayakan sweet seventeen-nyapada akhir bulan lalu sekaligus menutupi tahun 2019. Dia sangat mencintai gadis di ujung gang perumahan kami. Cintanya itu penuh dan sungguh.
Bagiku, adikku tulus mencintai siapa pun. Namun gadis di ujung gang itu adalah gadis pertama dan untuk selamanya yang barangkali membuatnya jatuh dengan segala dunianya. Dan aku, aku Jimmy. Aku hanyalah pecundang yang tidak pernah mengalami perasaan mencintai seperti yang dialami adikku, Ving.
Kisahku sedikit berbeda. Aku seorang bedebah yang melarikan diri dari dunia nyata dan lebih asyik bermain dengan rutinitas imajinasiku. Kehidupan di luar bagiku hanyalah sebatas keserasian yang semu dengan dunia imajinasiku. Hari-hariku tak seirama dengan Ving, adikku. Ia bebas dan berkali-kali jatuh cinta dan aku hanya berulang kali mencintai imajinasiku. Sampai-sampai aku menyebut nama seseorang yang kukagumi. Seorang wanita yang begitu polos, cantik, manis, simpel, dan sederhana.
Namanya Wilhelmina. Seorang gadis yang lahir dari penggalan jawaban imajinasiku sendiri.
“Ving, aku tidak pernah mencintai apalagi seperti yang baru saja kau alami. Namun, sekadar membaca dunia dari imajinasiku akhirnya kakak paham bahwa sebenarnya mencintai itu harus siap menjadi mata dan rindumu harus siap jadi airnya.
Sebab perihal mencintai juga tentang rindu. Sejauh apa pun kalian dan sedekat apa pun kalian berdua, rindu mengakrabkan sekaligus menjenuhkan, membosankan dan mengakhiri semuanya karena yang sendu mustahil tanpa air mata.”
Jika kau ingin memahaminya, cobalah mencintai bulan. Sebab ia hanya tahu memahami tugasnya untuk menemani sepasang malam yang gelap <temaram>. Wilhelmina kekasihku, kudoakan semoga kau baik-baik saja.
Terima kasih, Wilhelmina.
“Nama itu, doa yang kesekian kalinya tak pernah dihentikan.”
Ving, semoga kau memahami maksud kakakmu ini. Ya, semoga saja.
- Panggung Mati - 22 April 2020
- Wilhelmina - 23 Januari 2020
- Per Mariam Ad Jesum - 17 Desember 2019