
Nalar Politik – Keadaan yang sepele ternyata yang memicu rutinitas ngaji Ihya Ulumuddin Ulil Abshar Abdalla. Tahun ini dan tahun lalu, kisah Ulil, perasaannya selalu sedih mengingat masa-masa duduk di pondok pesantren.
“Sepuluh tahun tumbuh di mana setiap bulan puasa tiba selalu terisi dengan melakukan pengajian yang terbilang ekstrem, mulai pagi hingga kadang dini hari. Saat ini, serasa tidak mampu untuk mengulangi tradisi tersebut,” ujar Ulil dalam acara Ngobrol Seru tentang Ngaji Ihya dan Lainnya di Kafe Basabasi, Yogyakarta, Minggu (4/2/2018).
Rasa kangen tersebut memicu Ulil untuk mengulang kembali suasana masa lalunya. Adapun mengapa harus ngaji Ihya, sebab Ihya sendiri memiliki tempat spesial dalam diri dan hidupnya secara pribadi.
“Kitab ini bagi saya merupakan puncak gunung dari mistik yang bersifat sulufi/praktik. Ada dua gunung penting dalam tradisi roman Islam: pertama, gunung al-Ghazali yang Ihya wakili (fokus tasawuf suluki dan mistik yang sifatnya praksis); kedua, gunung Ibnu Arabi melalui al-Futuhat al Makkiyyah (pencarian rohaniah dalam spiritualitas Islam). Keduanya saling membutuhkan, perpaduan tasawuf suluki dan tasawuf falsafi.”
Ya, Ulil sangat suka dengan kedua gunung ini. Mendaki gunung al-Ghazali, baginya, tidak sesulit gunung Arabi, meskipun alasannya sendiri tidak atau belum mampu ia dapati.
“Akan tetapi, saya katakan bahwa jika Anda berkeinginan menjadi penulis sukses, tirulah Ghazali. Bagi saya, ia adalah retorikawan luar biasa. Karyanya begitu mengkristal meskipun dengan pembahasan yang begitu kompleks.”
Ulil mengakui, membaca tulisan al-Ghazali memang tidaklah mudah. Meski demikian, di bidang filsafat khususnya, bahasan Ghazali jauh lebih clear dan terang ketimbang filsuf yang aslinya.
“Dalam penulisan Ihya, ia selalu menyisipkan kiasan-kiasan yang hidup. Semua pembahasan (wacana) yang bersifat teoritis, di tangan al-Ghazali, menjadi hidup. Sebab ia mengungkapkannya dengan metafor-metafor yang bisa membangkitkan imajinasi setiap pembacanya.”
Karya al-Ghazali, kitab al-Mustasfa, misalnya, di dalam salah satu pembahasannya menyinggung tentang ijtihad yang dalam prosesnya ia imajinasikan seperti petani yang merawat kebunnya. Intinya, bagi Ulil, al-Ghazali memiliki kepiawaian dalam menulis.
“Itulah kenapa saya ngaji Ihya. Selain karena saya sendiri mencintainya, saya juga telah belajar tentangnya sudah sangat lama tempo dulu. Meskipun banyak orang yang berpikir kalau saya mengkaji kitab ini sebagai bentuk pertobatan saya dari pikiran-pikiran nakal saya selama ini.”
Baca juga:
Terhadap anggapan itu, Ulil tidak merasa perlu untuk mengoreksi lebih lanjut. Yang ingin Ulil tegaskan ialah, dalam mengembangkan pikiran-pikirannya, ia telah membaca karya fenomenal dari al-Ghazali ini.
Kenapa ngaji online?
“Inisiatifnya telah hadir sekitar satu atau dua tahun lalu. Waktu itu, rekan-rekan saya membuat sebuah aplikasi bernama Nutizen (warganet Nahdlatul Ulama) yang memberikan layanan di bidang edukasi publik.”
Memasuki ramadan dua tahun lalu, Nutizen terus mendorong para kiai untuk melakukan pengajian melalui internet. Istri Ulil sendiri menawarkan hal serupa, yang sebelumnya ia sikapi secara skeptis dengan anggapan tidak banyak yang menyukai kitab ini (pasarnya lebih akrab pada orang tua-tua), terlebih bagi aktivis.
“Sebagai seorang istri yang sering lalu-lalang di Facebook, ia menyadari betul bagaimana maraknya konten-konten negatif beredar. Sehingga upayanya berhasil untuk mendorong saya mencoba cara tersebut, guna menyapu konten destruktif.”
Tidak ada harapan yang muluk-muluk, lanjut Ulil. Sekitar 2000 akun/orang ternyata menonton acara pengajian Ihya pertama kali (2 ramadan tahun lalu). Dan yang konstan menonton mencapai angka 600-700 view.
“Sembari kagum dan kaget, saya juga bertanya-tanya perihal keadaan masyarakat kita: mengapa mereka antusias menyaksikan acara tersebut?”
Pada akhirnya pengajian ini stabil dengan penonton (santri) sejumlah 300-an view/orang. Persis seperti santri imam al-Ghazali dalam mengkaji kitab yang sama di Baghdad.
“Sepertinya ada insidensi yang spiritualistik dalam hal ini.”
- Perilaku Jokowi ke PDI Perjuangan Dinilai Kurang Pantas - 24 November 2023
- Publik Percaya Jokowi Sedang Membangun Politik Dinasti - 23 November 2023
- Keputusan MK Tidak Adil, Hanya Memenuhi Keinginan Gibran Menjadi Cawapres - 13 November 2023