
“Kami datang karena kami rindu,” kata ibu yang berasal dari Pamboang itu padaku. Ia sedang berziarah di rumah kakek kami, Imam Lapeo. Imam Lapeo diyakini sebagai salah satu wali Allah dari Mandar. Menurut si ibu, ia selalu datang ke Desa Lapeo, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat ketika merasa rindu untuk bertemu dengan keturunan Imam Lapeo, salat di masjid Lapeo, sampai melakukan ziarah ke makam beliau.
Kami berbincang bersama, ibu itu mengatakan sudah beberapa kali ke Lapeo. Kami saling bercerita, kami merasa memberi dan berbagi kisah hidup, serasa sudah lama saling mengenal walau baru sesaat. Sampai akhirnya, si ibu mengatakan, ia seperti mendapat suruhan untuk berziarah juga di Pambusuang. Pambusuang merupakan kampung yang memiliki jaringan ulama dan terkenal juga pesantren tradisionalnya sejak zaman dulu.
Aku menanyakan padanya, “Apakah itu semacam mimpi atau kedatangan makhluk halus?” Ia berkata padaku, seperti ada suara yang menyuruhnya pergi untuk berziarah, semacam perasaan dari hatinya untuk berjalan, berziarah. “Alhamdulillah,” kataku padanya, “semoga ini merupakan petunjuk dari Tuhan untuk menyambangi leluhur, semoga setelah berziarah nanti selalu mendapat petunjuk.”
Aku kemudian mengatakan padanya, biasanya setiap hari Selasa, aku melakukan perjalanan, ziarah spiritual. Biasanya aku dan beberapa orang pergi mengunjungi suatu tempat, entah itu ke kediaman seseorang, objek wisata, warung makan, petilasan, sampai makam-makam leluhur, dan wali-wali Allah.
Aku lalu mengajaknya ikut bersamaku besok ke Lambanan. Lambanan merupakan nama suatu desa yang terletak di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (tetangga desa Pambusuang). Tempat ini menjadi salah satu tempat penyebaran Islam pertama kali di Mandar. Di sana ada syeh Musaftabullah “to masalama ri Lambanan” yang artinya orang yang selamat, memberikan kesalamatan di Lambanan. Beliau juga digelar dengan nama “Annangguru Malolo” atau guru atau ulama yang “cantik”.
Kebenaran, beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang peziarah yang berasal dari Desa Lambanan, seorang ibu yang merupakan keluarga keturunan pemegang kitab atau manuskrip yang ditulis oleh Annangguru Malolo. Aku juga banyak berbincang dengan ibu yang dari Lambanan tadi tentang sejarah Lambanan dan apa yang terjadi di sana saat ini.
Lalu, aku menghubungi teman, Muja, seorang guru sejarah di MAN Polman. Muja suka sekali melakukakan riset sejarah sambil berpetualangan. Ia juga sudah pernah melakukan riset di Lambanan, mengunjungi daerah Tanga-tanga yang terletak di atas bukit yang merupakan awalnya tempat pendirian langgar sebelum menjadi masjid di daerah Lambanan yang dulu dikenal dengan istilah “Muking pattapuloh” yang maksudnya ada 40 orang santri pesantren. Ia juga menyiarahi makam Annangguru Malolo yang menurutnya murid Syeh Abdurrahman Kamaluddin namun katanya itu masih data mentah perlu penelitian yang lebih lanjut.
Muja berhalangan untuk berziarah bersama karena besok ia akan mengajar pagi sampai siang. Aku juga mengajak Rahmat, mahasiswa S2 UIN SUKA yang lagi “stay” di Mandar. Ia mau ziarah ke pusat Islam pertama di Mandar itu. Alhamdulillah, kami membawa “pembaca kitab”.
Tosalama Annangguru Malolo
Keesokan paginya, sekitar jam sepuluh pagi, aku, Ammoz, Sunubiah, ibu peziarah dari Pamboang, dan Rahmat melakukan ziarah. Kami menyiarahi terminal surga dan neraka, istilah pada suatu areal pemakaman yang terletak di jalan poros Majene samping Kantor Desa Pambusuang. Di sana dimakamkan annangguru (guru-guru) para ulama Pambusuang, orang tua Annangguru Imam Lapeo, keturunan syeh (sayye) dan masyakat Pambusuang.
Tidak jauh dari sana, kami ke makam Annangguru K.H Muhammad Saleh, seorang mursyid tarekat Qadiriyah di Mandar. Lokasi makam tampak sepi, namun, jika bulan Ramadan, tepatnya, 27 Ramadan, tempat ini akan ramai oleh peziarah. Kami kemudian melanjutkan perjalanan masuk ke Desa Lambanan yang dari jalan poros kurang lebih sekitar 2 KM.
Di Desa Lambanan, kami berhenti untuk menyiarahi, mengirimkan Fatihah makam Tosalama Annangguru Malolo. Makam beliau dalam sebuah rumah yang berukuran kecil, di dalam terdapat beberapa makam, entah itu istri dan anaknya, atau mungkin pengikutnya. Penandanya merupakan batu yang berbentuk agak bulat kira-kira sekitar 70-80 cm berwarna hitam. Mungkin, batu itu berasal dari gunung yang tidak terukir.
Di sekitar penanda tadi sudah dikotak-kotakkan dengan semen dan ditegel. Suasananya sangat dingin padahal hari sudah menjelang duhur, mungkin karena di sekitar areal makam banyak terdapat pohon-pohon besar yang mungkin berumur tua sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu.
Dari sini kami singgah di “Masjid Tertua Lambanan”. Di sana terlihat papan nama yang tulisannya bersusun bertuliskan; Selamat Datang Welcome to Destinasi Wisata Sejarah Histrory Destination Tourism “Masjid Tertua Lambanan” Desa Lambanan, Kec Balanipa, Kab Polewali Mandar.
Tapi, sayang sekali objek wisata sejarah masjid tertua Lambanan ini malah hilang, muncul dengan bangunan baru yang rencananya sebagai masjid baru. Walaupun tiang kayunya yang empat pilar itu (appa sulapa’) masih ada, namun jelas, situs ini menjadi hilang. Kami pun hanya berfoto di balik sejarah masjid ini kemudian menikmati mata air yang mengalir di kolam (kollang) peninggalan zaman dulu yang masih ada.
Setelah dari sini, kami pun mencari rumah ibu yang pernah berziarah ke Lapeo tersebut. Rumah si ibu dekat dengan masjid. Sebelum ke rumahnya, kami melaksanakan salat zuhur di masjid yang ada pada perkampungan itu.
Syeh Musaftabullah To Masalama di Lambanan
“Tidak semua orang mempunyai keberuntungan melihat kitab ini, namun kalian adalah orang-orang yang beruntung dapat melihat kitab ini. Kami baru mengeluarkan koleksi kami,” kata bapak itu pada kami (sayang sekali, kami lupa menanyakan namanya). Selain karena bapak pemegang manuskrip kuno yang ditulis oleh Syeh Musaftabullah sebenarnya tadi mau ke kebunnya, akan tetapi karena mengetahui kami akan datang dari Lapeo, beliau pun mengurungkan niatnya untuk berkebun.
Kitab ini tidak diperlihatkan secara bebas kepada orang-orang karena kitab ini tinggi dan takut disalahgunakan jika orang itu belum memiliki kemampuan untuk membaca kitab tersebut. Lagi pula kitab tersebut sebelum dibuka harus dibacakan dan dipotongkan sesuatu (dicera’).
Kitab itu berjumlah dua (2), kondisinya masih bagus dan jumlah kertasnya masih lengkap katanya buku (kertas) itu berasal dari Lebanon salah satu negara di Timur Tengah. Isinya ajaib, kitab pertama yang khusus bertuliskan huruf Arab serang, yang berbahasa Bugis dan Mandar berisi tentang penciptaan, tauhid, tata cara shalat, tafsir Alquran – Hadis, dan lain sebagainya terdapat pula gambar-gambar yang berbayang. Kitab kedua yang bertuliskan huruf Lontar katanya bertuliskan tentang silsilah raja-raja Mandar dan tentang kondisi masyarakat di Mandar pada saat itu.
Sebelumnya, beliau menanyakan apa profesi kami, pekerjaan kami. Kami pun mengatakan bahwa kami adalah pengajar, mahasiswa, dan seseorang yang mendapat panggilan hati untuk melakukan ziarah. Beliau bersyukur karena memang kami orang yang tepat karena kitab ini adalah kitab yang berisi ilmu pengetahuan tentang agama, dan kami membawa “anak santri” bersama kami.
Tosalama Annangguru Malolo adalah gelar dari syeh Mustaftabullah tosalama Lambanan. Annangguru Malolo maksudnya karena beliau adalah annangguru yang terakhir seperti nabi Muhammad SAW yang merupakan nabi terakhir, tomasalama yang terakhir. Annangguru Malolo sezaman dengan Syeh Abdurrahim Kamaluddin di Binuang, Polewali Mandar, dan Syeh Yusuf di Gowa, Sulawesi Selatan.
Bagi kami yang mengajar, dan sedang belajar, mengetahui isi kitab ini sangatlah penting walaupun kitab ini adalah otoritas pemiliknya. Kami hanyalah orang yang beruntung telah diperlihatkan sesuatu yang tinggi dan bukan untuk dihambur-hamburkan. Semuanya diniatkan untuk mengenal diri kami, jati diri kami, Mandar kami sejatinya sebagai orang Mandar yang sakral menjunjung tinggi ajaran leluhur, spritualitas Nusantara. Semoga, kami mendapat berkah pelajaran dari sini dan kami bisa mengambil kearifan lokal dari perjalanan ziarah ini.
- Sepenuh Hati Memenuhi Panggilan Berziarah - 19 September 2023
- Diri Sejati Kita Adalah Sesuatu yang Tak Terbatas - 16 September 2023
- Orang yang Terhijab dari Pada The Truth itu Sudah Pasti Terhijab dari Pada Agama - 6 September 2023