Kegunaan dan Kebangkrutan Filsafat

Kegunaan dan Kebangkrutan Filsafat
©Twitter

“Apakah filsafat ada gunanya? Mengapa filsafat bisa bangkrut?” Demikian pertanyaan yang diajukan Luthfi Assyaukanie dalam memulai dua tulisannya di media sosial tentang kegunaan sekaligus kebangkrutan filsafat.

Pada yang pertama, yakni kegunaan filsafat, Dosen Paramadina itu berpandangan bahwa filsafat jelas berguna. Filsafat, menurutnya, sangat berguna jika dipakai dengan fungsinya.

“Apa fungsi filsafat? Fungsinya adalah mempertanyakan hal-hal besar dan mendasar yang dianggap final. Misalnya, eksistensi alam raya, hakikat agama, hakikat manusia, keberadaan pencipta, dan sejenisnya.”

Sebelum sains modern lahir, jelas Luthfi, filsafat sepenuhnya mengandalkan logika. Semua pertanyaan tentang alam raya, misalnya soal apakah alam raya ini diciptakan, dianalisis berdasarkan kemungkinan-kemungkinan logis.

“Karena belum ada teleskop dan belum ada teori evolusi, jawaban terhadap pertanyaan itu sepenuhnya spekulatif. Tidak ada alat bantu untuk memahami alam raya selain tebakan-tebakan sang filsuf.”

Itulah sebabnya Plato menebak bahwa alam raya adalah sebuah keteraturan (kosmos). Sesuatu yang teratur, menurut filsuf tersebut, pastilah ada yang mengaturnya.

“Dia menyebutnya demiurge, sejenis tuhan bagi orang-orang beragama. Demiurge inilah yang menyulap ketidakberaturan (chaos) menjadi sesuatu yang teratur. Dalam bahasa Yunani, kosmos artinya sesuatu yang teratur (order).”

Tebakan lain juga ditunjukkan Lutfhi dari Aristoteles, yang sedikit berbeda dari gurunya. Menurut murid Plato ini, karakter utama dunia yang manusia tinggali adalah bergerak. Ciri khas kehidupan adalah pergerakan. Sesuatu yang bergerak pasti ada yang menggerakkan.

“Jika kita telusuri sampai akhir, kita akan menemukan Penggerak Yang Tidak Bergerak. Mengapa tidak bergerak? Karena kalau bergerak, dia butuh penggerak. Pure logic.”

Walau percobaan Plato dan Aristoteles sangat berguna untuk membuka wawasan manusia dalam mempertanyakan alam raya dan penciptaannya, kalangan agama yang dominan ketika itu menganggapnya sesat. Itulah sebabnya para filsuf umumnya menjadi musuh masyarakat, karena mempertanyakan hal-hal yang dianggap final.

Baca juga:

“Socrates, gurunya Plato, mati diracun karena dianggap murtad, mempertanyakan keyakinan masyarakat Yunani yang sudah mapan.”

Sama seperti yang terjadi di Yunani, para filsuf di dunia Islam juga dimusuhi. Alkindi, Ibn Sina, dan Alfarabi, misalnya, dianggap kafir atau murtad. Mereka dianggap mengganggu akidah dan keyakinan kaum muslim yang sudah mapan.

Tak salah ketika buku-buku mereka dilarang dibaca. Bahkan, para ulama dan ahli hadis menciptakan hadis-hadis palsu untuk menakut-nakuti umat Islam belajar filsafat.

Man tamantaqa, tazandaqa (siapa yang berlogika, dia telah zindiq). Man tafalsafa faqad kafara (siapa yang berfilsafat, dia telah kafir). Ini adalah sebagian hadis palsu yang disebarluaskan para ulama untuk menakut-nakuti kaum muslim belajar filsafat.”

Halaman selanjutnya >>>