Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital Menurut F. Budi Hardiman

Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital Menurut F. Budi Hardiman
©Peakpx

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang Ilmu Filsafat, Fransisco Budi Hardiman menjelaskan tugas filsafat di era komunikasi digital. Meski menurutnya tidak mudah, tugas itu adalah keharusan di tengah zaman yang mulai malas berpikir dan lebih suka browsing dan googling.

“Kalau saat ini membahas tugas filsafat untuk era komunikasi digital, saya mengajak berpikir tentang manfaat filsafat untuk publik,” kata Dosen Fakultas Liberal Art Universitas Pelita Harapan itu dalam pidatonya, Rabu (8/12).

Berikut rangkuman redaksi atas isi pidato F. Budi Hardiman yang sebelumnya tayang di kanal YouTube.

Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital

“Filsafat sudah berakhir, yaitu mati.” Demikian kesalahpahaman yang terjadi setelah Heidegger dan Rorty menulis hal itu. Beberapa kematian atau akhir lain juga sempat diberitakan, seperti “kematian pengarang” Barth, misalnya, “kesudahan seni Danto”, dan “akhir manusia” Foucault.

Sudah jauh sebelumnya nabi sekuler Friedrich Nietzsche mengumumkan “kematian allah (tuhan)”, dan mungkin awalnya dari situ. Kesalahpahaman terjadi karena akhir atau kematian yang dimaksud para filsuf kontemporer itu sebetulnya adalah cara-cara berfilsafat yang sudah kedaluwarsa. Banyak yang ingin melayat filsafat, tetapi tidak menemukan mayat di dalam peti matinya. Penjelasannya sederhana: selama manusia berpikir, selama itu filsafat masih hidup, bahkan dilahirkan kembali.

Namun, di sini kita pun menghadapi masalah yang lebih pelik daripada wacana-wacana tentang kematian filsafat. Apakah manusia masih berpikir di era komunikasi digital? Apakah arti berpikir di zaman kita? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Tapi, ketika menggariskan tugas filsafat, kita sedang dipaksa untuk menemukan jawabannya.

Zaman kita disebut dengan berbagai nama, seperti postmodern, revolusi industri, dan di sini saya sebut sebagai era komunikasi digital. Apa yang menyamakan isi semua nama itu adalah luapan informasi yang diakibatkan pemakaian teknologi komunikasi digital.

Di akhir abad kedua puluh, filsuf dan sosiolog Prancis Jean Baudrillard telah bicara tentang simulakra, yaitu tentang kondisi kita saat ini ketika realitas telah diganti dengan simbol. Menurutnya, pengalaman kita—politis, ekonomis, psikologis, erotis—tidak lebih daripada simulasi kenyataan. Teks, video, gambar di internet membingkai atau merekayasa peristiwa seolah-olah terjadi. Kita sedang berada di dalamnya.

Baca juga:

Saat ini, ketika sebagian orang menundukkan kepala melihat layar ponselnya, analisis Baudrillard tampak makin terbukti. Isi Zoom, WhatsApp, TikTok, Twitter terasa lebih riil daripada orang yang duduk di depan kita. Kita menjadi gagap menghadapi kelangsungan. Efeknya untuk demokrasi cukup menggelisahkan. Dengan telepon cerdas, ideal-ideal demokrasi seolah dapat diraih.

Inilah era ketika siapa saja bisa bicara, seolah dapat mengakses kekuasaan. Dalam komunikasi digital, tidak ada hierarki yang membatasi. Setiap orang bisa menjadi produsen, sutradara sekaligus expert bagi orang lain. Tetapi persis pada saat ini pula, ketika akses langsung ada dalam genggaman, cita-cita demokrasi terancam luput dari genggaman.

Alih-alih mengupayakan saling pemahaman, kerap kali media-media sosial menjadi sarana menyebarkan hoaks, berita palsu, dan berbagai kecohan lain dalam bentuk teks, video, poster, chat, atau foto yang mendistorsi kenyataan. Industri kebohongan telah sampai ke ruang privat kita untuk mengkhianati akal sehat dan memancing kebencian timbal balik.

Apakah bisa disebut komunikasi jika kita tidak saling mengerti? Apakah bisa disebut demokrasi jika kebohongan merusak komunikasi?

Filsafat telah mengemban tugasnya sejak kelahirannya di zaman Yunani Kuno. Tugasnya adalah mengajak berpikir—berpikir adalah mempersoalkan.

Sejak awal filsafat hidup dengan bertanya. Dahulu ia mempersoalkan mitos. Dalam buku ketujuh The Republic, Plato bercerita tentang para tawanan di dalam gua yang sejak kecil hanya melihat bayang-bayang pada dinding. Mereka percaya bahwa bayang-bayang adalah realitas. Mitos dikritik sebagai realitas semu seperti itu.

Di zaman modern, filsafat mempersoalkan ideologi dan bahkan agama sebagai bentuk lain mitos. Saat itu fiksi masih relatif mudah dibedakan dari realitas.

Dalam revolusi digital, ketika luapan informasi mengacaukan persepsi, distingsi antara fiksi dan realitas mulai kabur dan agaknya tidak lagi menarik untuk dipersoalkan. Para pengguna gawai tidak lagi peduli bahwa mereka telah menjadi tawanan dalam cerita Plato itu; bukan dinding gua melainkan layar, bukan bayang-bayang melainkan simulakra sedang menjebak mereka. Namun, mereka tampaknya menikmati bayang-bayang itu.

Halaman selanjutnya >>>