Tumbal Itu Bernama Perpisahan

Dengan mantap, ia menjawab, “Kami menduga bahwa pelaku adalah agen ISIS. Sementara ini, kami masih melakukan investigasi. Semoga minggu ini sudah ada titik terang.”

Menduga? Semoga? Sungguh Pernyataan yang mengandung ketidakpastian, ibarat pernyataan seorang lelaki untuk menghentikan pertanyaan pacarnya kapan akan menikah.

Beberapa hari setelah kejadian, terkuak berita bahwa pelaku adalah perantau asal kepulauan “duga-duga” bernama Sarmin. Ia adalah buruh yang bekerja di perusahaan sirup. Genap sudah empat tahun ia mengadu nasib di Kota Tuli. Informasi ini ditemukan pihak kepolisian setelah mendapat laporan dari ibu kos pelaku, namanya Mbak Iyem.

Sekitar tiga hari sebelum kejadian, aku memergoki Sarmin meracik sesuatu. Seperti bubuk pupuk yang dicampur dengan miyak di dalam botolan. “Mungkin itu solar,” ungkap Mbak Iyem kepada polisi.

“Memang akhir-akhir ini Sarmin terlihat murung setelah pulang kampung seminggu lalu. Anak ini murah senyum, ramah dan suka bercanda, namun aku tidak tahu mengapa gelagatnya berubah menjadi aneh,” tambahnya.

Setelah mengumpulkan beberapa informasi dari narasumber yang berbeda dan mengolah beberapa bukti, tim investigasi kemudian melakukan konferensi pers dan mengumumkan, ledakan yang terjadi di alun-alun kota tertanggal 09 Februari pukul 17.40 adalah perbuatan agen ISIS yang bernama Sarmin, umur 25 tahun, pekerjaan buruh, tempat tinggal Kota Ragu-Ragu Desa Tuna.

Mendengar berita itu, kedua pasangan nelayan, Pak Tejo dan Bu Minah (orang tua Sarmin), menangis tersedu-sedu. “Anakku mati bunuh diri, mengapa kalian dengan teganya menuduh Sarmin teroris?”

Sehari setelah kejadian, seorang kawan Sarmin sesama buruh telah mengirim surat (tulisan terakhir Sarmin) kepada ayahnya. Namanya Sutrisno, ia adalah teman baik yang sangat akrab dengan Sarmin. Melaluinya, sarmin selalu bercerita tentang kisah asmaranya dengan indah. Selama di perantauan, Sutrisno sendiri telah menganggap Sarmin sebagai saudara.

Baca juga:

Di dalam suratnya Sarmin menuliskan bahwa ia bunuh diri lantaran cinta mereka tidak direstui orang tua Indah. Ia mengakhiri nyawanya dengan bom yang ia rakit dengan bahan pupuk amoniak (urea) yang dicampur dengan bahan peledak, solar, dan black powder.

Orang-orang Desa Tuna menamai bom itu dengan sebutan Patarong. Bom ini sering digunakan nelayan untuk menangkap ikan. Sarmin pernah menggunakannya semasa di kampung. Sekalipun perbuatan krimanal, namun nelayan Desa Tuna menganggap pemboman adalah simbol pembangkangan terhadap pemerintah yang telah memberi izin tambang pasir di wilayah tangkap nelayan.

Berkali-kali mereka melakukan demonstrasi, bahkan mogok melaut dalam satu minggu, namun Pemerintah Kota Ragu-Ragu selalu bergeming atas nama hukum. Karena frustrasi, akhirnya mereka memilih jalan kriminal itu.

Sarmin adalah anak nelayan miskin yang mengadu nasib ke kota karena ongkos pendidikan adiknya. Ia menjalin hubungan selama empat tahun dengan anak juragan tanah bernama Indah.

Lantaran miskin dan terlahir dari kedua orang tua yang bukan dari kalangan ningrat membuat pinangan Sarmin ditolak mentah-mentah oleh Puang Sayesu (ayah Indah).

Di Desa Tuna, kaum ningrat amat berkuasa. Mereka bahkan memandang rakyat biasa layaknya budak, tanpa nilai dan penghormatan. Bahkan diposisikan setara dengan singkong rebus.

Puang adalah nama panggilan keturunan bangsawan, sedang batua adalah penyebutan orang-orang biasa dengan darah keturunan bekas budak.

Karena Indah akan dinikahkan oleh anak teman Puang Sayesu, akhinya pun Sarmin memilih bunuh diri. Seperti janji ia kepada Indah, “Kita akan berpisah kecuali aku mati.”

Baca juga:

Publik, kecuali warga Desa Tuna, telah menganggap Sarmin sebagai teroris. Bagaimana tidak, melalui media mainstream, tim invetigasi telah mengumumkan ia sebagai teroris.

Di dalam negeri antah-berantah ini, terorisme terkadang dijadikan alasan sah untuk meningkatkan anggaran pertahanan dan kadang dijadikan isu untuk menebar ketakutan agar memperkuat legitimasi para prajurit. Di dunia internasional, terdapat pula negara serigala putih yang getol membiayai dan membentuk laskar-laskar teroris. Kemudian menyerang negara tertentu yang dianggap sebagai sarang teroris.

Semacam konspirasi yang dilanggengkan negara adidaya, sebut saja Negara Serigala Putih itu. Melalui Liga Perkumpulan Negeri Sedunia (LPNS), mereka berteriak perdamaian, sedang tangannya dilumuri darah anak-anak tak berdosa.

Syam