Indonesian Pastoral

Indonesian Pastoral
American Pastoral, A Radically Ordinary Family

Tadi malam saya menonton film yang sangat berkesan. Judulnya American Pastoral. Lebih dari sekadar drama kriminal, film ini menurut saya menggambarkan dengan baik gejolak keluarga (dan rumah tangga) Amerika dan masyarakat modern umumnya.

Ceritanya tentang sebuah keluarga di pedesaan (pastoral) Amerika yang kelihatannya sempurna. Suami kaya, istri cantik, dan seorang anak perempuan yang gagap, tetapi telah berada dalam penanganan psikolog terlatih. Namun, anak perempuan ini bukan sekadar gagap, melainkan seorang pemberontak.

Berlatar belakang tahun 1960-an, anak perempuan gagap tersebut terlibat dalam gerakan politik jalanan (semacam anarko) yang menolak kemapanan. Semua yang mereka anggap mapan harus dihancurkan.

Keterlibatan anak perempuan gagap tersebut dalam gerakan politik jalanan membuka sesuatu yang serius. Di dalam keluarga kelas menengah kulit putih Amerika yang republikan ternyata terdapat suatu gejolak internal. Suami atau ayah, istri atau ibu, dan anak memiliki pandangan dunia yang berlainan. Pernikahan dan pembentukan keluarga tidak mengakhiri, tetapi malah membuat perbedaan pandangan tersebut semakin mengeras.

Si istri ternyata tidak bahagia dengan pernikahannya. Dia merasa si suami dan kehidupan rumah tangga telah merenggut cita-cita masa remajanya. Sementara itu, si anak perempuan merasa orangtuanya sangat kolot. Akhirnya dia memilih pergi meninggalkan mereka.

Si suami berada dalam kebingungan yang mendalam. Sebagai laki-laki, saya merasakan ketegangan psikologis yang sulit dipecahkan. Akhirnya dia meninggal dalam kekecewaan setelah mengetahui si istri berpaling kepada lelaki lain dan si anak perempuan lebih memilih ideologi yang tidak pernah diajarkannya.

Hidup yang malang. Terus terang, saya menyudahi akhir film ini dengan kesesakan yang sulit disembunyikan.

Apa yang dialami oleh sebuah keluarga di Amerika tahun 1960-an tersebut adalah gambaran umum keluarga di masyarakat modern, termasuk di Indonesia. Saya melihatnya, bahkan kadang melibatinya, dari jarak yang dekat.

Cerita dalam film itu tidak asing. Kemodernan memang ironis. Sehingga terkadang saya mengerti mengapa beberapa orang pada akhirnya menyerah pada sebuah kepastian, apa pun namanya, apalagi ketika kematian telah sedemikian membayang.

*Amin Mudzakkir

___________________

Artikel Terkait:
Warganet
Latest posts by Warganet (see all)