
Nalar Politik – Dalam sejarahnya, rakyat Indonesia terkenal akan kegigihannya memberontak kepada para penjajah, termasuk pada Jepang. Mulai dari pemberontakan terhadap penjajah Portugis, Inggris, Belanda, hingga Jepang. Tujuan rakyat hanya satu: mempertahankan martabat pribumi melalui perlawanan simbolik maupun substantif.
Terutama di masa-masa penjajahan Jepang, komitmen cinta tanah air mereka begitu menggebu. Nyaris tak sedikit pun mereka mundur hanya demi mempertahankan tanah air tumpah darah mereka.
Tapi, tahukah Anda mengapa rakyat Indonesia begitu gigih melawan para penjajah, dalam hal ini, terhadap para penjajah Jepang?
Seperti KH Saifuddin Zuhir mengungkap dalam Berangkat dari Pesantren (2013), setidaknya ada 6 (enam) hal yang membuat rakyat Indonesia marah besar terhadap Jepang.
Pertama, terkuaknya kebohongan propaganda Tokyo bahwa Nippon berkehendak memperbaiki nasib rakyat Indonesia yang sebangsa dan seketurunan dengan bangsa Nippon.
Kedua, mendirikan ketenteraman yang teguh atas dasar mempertahankan Asia Raya, tak lain dan tak bukan hanya untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah jajahan sekaligus sebagai daerah garis belakang (home front). Sumber tenaga manusia dan bahan mentah berupaya mereka lumat di mana Indonesia menjadi gudang logistik bagi tentara Nippon di medan perang Pasifik dan Asia Tenggara.
Ketiga, kebencian rakyat adalah spontanitas akibat keserakahan Nippon merampas bahan makanan dan harta benda rakyat. Suatu slogan berbunyi “padi untuk saya, untuk kami, dan untuk kita sekalian” membuka kedok keserakahan mereka.
Keempat, kerja paksa berupa romusha. Kendati ada rayuan dengan sebutan “prajurit ekonomi”, tapi pada hakikatnya adalah kuli paksa. Hal ini tak ubahnya pekerjaan rodi di zaman Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Herman Willem Daendels pada 1762-1818, yang memaksa rakyat di Jawa membuat jalan raya sepanjang Anyer-Banyuwangi dengan pengawasan tangan besi, bahkan romusha lebih kejam lagi ketimbang rodi.
Baca juga:
- Esai-Esai Politik Albert Camus: Perlawanan, Pemberontakan, Kematian
- Diskursus Kekuasaan dan Analisis Politik di Indonesia
Kelima, tenaga kerja perempuan yang Nippon janjikan untuk tugas palang merah, kenyataannya banyak dari mereka yang menjadi alat pemuas nafsu serdau-serdadu Nippon di medan perang.
Keenam, yaitu perkosaan lebih dahsyat lagi adalah dari segi akidah, keyakinan Islam. Karena saat itu rakyat Indonesia tanpa kecuali wajib setiap pagi menghadap ke arah istana Kaisar Jepang di Tokyo untuk melakukan upacara saikeirei, menyembah kaisar Jepang yang disebut Tenno Heika.
Menurut kepercayaan Jepang, Tenno Heika adalah keturunan dari Dewa Matahari, Amaterasu O. Mikami yang mahakuasa.
Sumber: Sejumlah Propaganda Memantik Perlawanan Rakyat Indonesia
- Jika Pasangan Amin Maju, Hanya 16,5 Persen Warga Akan Memilih - 22 September 2023
- Figur Presiden Lebih Kuat daripada Partai Politik - 8 September 2023
- Rakyat Indonesia Menolak MPR Jadi Lembaga Tertinggi Negara - 27 Agustus 2023