Agnez Mo dan Darah Indonesia

Agnez Mo dan Darah Indonesia
©Line

Nalar Warga – Menyimak video wawancara Agnez Mo (Agnes Monica) akhir-akhir ini, aku tepok jidad. Karena tahu dia sudah keseleo lidah ketika dia bilang dia tidak berdarah Indonesia.

Saya ngerti apa maksudnya, tetapi saya tahu tidak banyak yang coba ngerti di Indo.

Kita akan periksa dulu masalahnya di mana. Apa arti berdarah Indonesia? Dari pengalaman, dan dari nuansa yang saya dapatkan dari banyak sekali bacaan, novel, dan lain sebagainya, darah Indonesia bukan bersifat genetik, tetapi itu darah dalam arti nasionalistik.

Indonesia Tanah Tumpah Darahku, demikian yang selalu dinyanyikan sedari kecil. Artinya, setiap darah yang tumpah di Indonesia, oleh warga Indonesia yang baru lahir itu, darah Indonesia—sebuah nuansa yang terjadi dalam proses nation-building.

Bagi yang lahir, mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia, terutama di perguruan yang dianggap berkualitas, sudah tentu nuansa ini masuk ke kalbu. Walau banyak yang secara rinci tidak bisa menjelaskan seperti ulasan ini, banyak yang tahu ada masalah jika ada pernyataan yang tidak klop.

Tetapi jangan berasumsi semua warga, terutama warga minoritas etnis, yang dulu dianggap non-pri, bisa langsung tahu. Terutama ketika seumur-umur hidup selalu diingatkan bahwa mereka itu non-pri, mereka banyak yang merasa bahwa “mungkin saya ini kelas dua”, ya.

Tidak disangkal lagi, setiap warga yang dianggap “non-pri” pernah (dan bagi yang sial, selalu) diingatkan ulang bahwa mereka itu warga kelas dua. Kalian boleh lahir di sini bergenerasi-generasi, boleh pintar, boleh kaya, tetapi tetap numpang di negara ini. Ini adalah fakta pahit bagi mereka.

Untuk keluar dari lingkaran setan gak enak ini, maka beberapa warga non-pri melakukan proses pribumisasi. Ada yang agak ekstrem.

Dulu saya pernah sampaikan, ada “pribumi”yang shock setelah mendapat hasil analisis genom DNA. Termasuk salah satu cara pribumisasi adalah jadi mualaf.

Tetapi umumnya, warga non-pri tidak melakukan tindakan pribumisasi ekstrem, terutama jika sudah berpendidikan, dan tahu bahwa haknya sama dengan warga-warga lain yang bertumpah darah sama. Bahwa dia tidak perlu menyangkal identitas diri hanya untuk diterima.

Baca juga:

Kehidupan yang dilalui Agnez Mo sejak kanak-kanak jelas sangat berbeda dengan anak-anak lain di Indonesia. Dia ada dalam jalur karier sejak usia sangat muda. Waktu dihabiskan banyak untuk berkarier, bukan investasi pada hubungan-hubungan di sekolah yang akhirnya mengembangkan nuansa-nuansa yang dibutuhkan.

Ketika dia menyampaikan bahwa dia tidak berdarah Indonesia, pada saat itu, sebenarnya, jeritan hatinya bahwa dia adalah warga non-pribumi. Dan kemungkinan dia pernah diingatkan soal bahwa dia warga kelas dua. Dia tidak tahu nuansa nasionalisme yang berkembang dengan istilah “darah”.

Lingkungannya adalah lingkungan karier, dan gereja. Dia menjadi penyanyi di gereja. Karena itulah saat ini dia punya pengalaman yang mirip dengan para vokalis gereja warga hitam Amerika. Karena itulah mereka bisa “mengerti” Agnez Mo.

Karena saya mengerti latar belakang ini, maka saya bisa “memaafkan” keseleo lidah Agnez Mo. Ingat, kesalahan yang serupa juga sering dilakukan oleh warga-warga lain, termasuk warga “pribumi” yang kurang masuk dalam ruang pendidikan nasional.

Sudah seberapa banyak yang dengan tegas menolak NKRI gegara ideologi yang dianut menyatakan bahwa NKRI itu kafir? Itu bukan keseleo lidah, tetapi memang tekad anti-NKRI benaran.

Agnez Mo jelas tidak beranjak dari sisi menolak NKRI. Itu cuma masalah bahasa yang dipakai.

Bahasa yang dipakai Agnez Mo untuk berekspresi di Amerika adalah Inggris. Dari wawancara tersebut, dia bahkan keberatan untuk berbahasa Indonesia. Bukan karena dia merendahkan, tetapi karena Bahasa Indonesia sangat intim dengannya, sehingga dia gak bisa bilang “fuck” dalam Bahasa.

Artinya, dia merasa oke untuk ber-fuck-ria dalam English. Tetapi sewaktu dia ganti bahasa ke Bahasa Indonesia, maka seluruh ­up-bringing yang dia tahu dari gereja, membuat dia tahu dia gak boleh berbahasa “jorok” di Indonesia. Dia menghormati Bahasa Indonesia.

Ada berbagai kalangan yang menggunakan kesempatan ini untuk menghantam Agnez Mo. Saya gak tahu apakah itu disebabkan oleh perasaan enak mengeroyok, atau memang tidak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.

Menurutku, jika seseorang punya pendidikan yang cukup, dia akan ngerti.

Karena itulah, jika Anda sekolah sampai SMA di sekolah favorit seperti Tarakanita, masuk UI, apalagi bidang yang memang berhubungan dengan pemikiran sosial atau filsafat, sudah tentu Anda ngerti nuansa-nuansa, dan bisa menghindari dari keseleo lidah. Jika Anda ngerti, cobalah bisa empati sedikit.

Apalagi ketika saya lihat profesor UI yang ikut menghantam Agnez Mo dari segi kewarganegaraan. Aduh, betapa nistanya hal-hal seperti itu dikemukakan oleh seorang yang dianggap intelektual. Atau memang itu cara untuk dapat sorotan dan kemungkinan untuk masuk politik pemerintahan?

Jika Anda merasa seorang intelektual, cobalah berpendapat seperti intelektual. Anda bukan kelompok 212 yang teriak-teriak sembarangan dengan toa dari atas truk di jalanan.

Agnez Mo justru perlihatkan betapa jauhnya seorang WNI bisa berkiprah di panggung internasional. Dia harus dirangkul.

Buat Agnez Mo—jika baca ini, tidak setiap WNI tetiba mengecam kamu. Banyak yang memahami. Tetapi jika mereka pikir perlu minta maaf, itu juga a nice gesture.

Yang penting, Agnez, please, jangan lupakan Indonesia. Kamu lahir di Jakarta, kan? Berarti Indonesia Tanah Tumpah Darahmu.

*Mentimoen

Warganet
Latest posts by Warganet (see all)