Akar Terorisme Adalah Ketidakadilan

Dwi Septiana Alhinduan

Dalam dunia yang diliputi oleh berbagai tantangan dan ketidakpastian, muncul sebuah pertanyaan yang krusial: apakah akar terorisme benar-benar dapat ditelusuri dari ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian kelompok dalam masyarakat? Dengan berbagai survei dan studi yang telah dilakukan, banyak yang sepakat bahwa ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik dapat menjadi pemicu utama bagi lahirnya tindakan-tindakan kekerasan yang merusak.

Terorisme tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah konsekuensi dari proses sosial yang kompleks. Ketika suatu komunitas merasa terpinggirkan—baik dari segi ekonomi, identitas, maupun keberadaan—pengabaian ini dapat menciptakan rasa frustrasi yang mendalam. Rasa frustrasi inilah, dalam banyak kasus, yang menjadi pendorong lahirnya pemikiran ekstremis, yang pada akhirnya berujung pada tindakan teror.

Pertimbangan pertama dalam menilai hubungan antara ketidakadilan dan terorisme adalah memahami konsep ketidakadilan itu sendiri. Ketidakadilan dapat terjadi dalam berbagai bentuk—seperti diskriminasi rasial, penindasan politik, atau ketidakadilan ekonomi. Ketika pemerintah atau masyarakat yang berkuasa gagal untuk memberikan perlindungan yang adil bagi semua warganya, mereka menciptakan celah yang berpotensi diisi oleh ideologi ekstrem.

Misalnya, dalam banyak konteks, kelompok yang terpinggirkan mulai merasa bahwa mereka tidak memiliki saluran untuk mengungkapkan rasa ketidakpuasan mereka. Ketika suara mereka tidak didengar, muncul pertanyaan: apakah kekerasan adalah satu-satunya cara untuk menarik perhatian yang mereka rasa perlu? Dalam kondisi seperti ini, tindakan terorisme bisa dipandang sebagai alat perjuangan—a desperate call for justice—meskipun dengan cara yang sangat merugikan.

Namun, kita harus menyikapi fenomena ini dengan bijaksana dan kritis. Menyalahkan ketidakadilan semata tidak akan menyelesaikan persoalan. Justru, tindakan tersebut dapat mengaburkan pemahaman kita tentang faktor-faktor kompleks yang berkontribusi terhadap terorisme. Misalnya, ada banyak individu yang hidup di dalam komunitas yang terpinggirkan namun tidak berusaha untuk beralih ke jalan kekerasan. Mengapa demikian? Bisa jadi karena mereka memiliki akses kepada pendidikan yang baik, dukungan sosial, atau alternatif untuk mengekspresikan rasa ketidakpuasan mereka secara damai.

Bagaimana dengan ideologi? Di sini kita bisa melihat bagaimana ideologi ekstrem bisa menyuburkan rasa ketidakadilan yang sudah ada. Banyak kelompok ekstremis menawarkan narasi yang sangat atraktif bagi individu yang merasa terabaikan. Mereka menjanjikan solusi yang mudah—yang tampaknya memberikan makna dan tujuan bagi hidup mereka. Dengan demikian, ada dua unsur yang saling memengaruhi: keadaan ketidakadilan yang ada dan penyebaran ideologi yang meradikalisasi pemikiran.

Saat mempertimbangkan pemecahan masalah ini, kita timbul pertanyaan lain yang menggelitik: apakah kemungkinan mengubah narasi tersebut? Bisakah kita merangkul mereka yang merasa terpinggirkan dan memberikan mereka platform yang lebih baik untuk berpartisipasi dalam diskusi sosial dan politik? Menanamkan rasa memiliki dan partisipasi di kalangan komunitas yang terpinggirkan bisa jadi adalah kunci untuk mengubah komunitas menuju jalan yang lebih aman.

Selanjutnya, kita perlu mengeksplorasi pendekatan yang lebih konstruktif. Pendidikan adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menciptakan pemahaman yang lebih luas tentang konsep keadilan. Dengan memberikan pendidikan yang memadai dan akses ke informasi, kita tidak hanya mengurangi rasa ketidakpuasan tetapi juga memperkuat daya tahan masyarakat terhadap propaganda ekstremis. Tanpa pendidikan, banyak individu akan tetap terjebak dalam siklus ketidakpuasan dan ketidakadilan.

Sebuah tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjembatani kesenjangan antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan dasar masyarakat. Pembangunan kebijakan yang inklusif dan adil merupakan langkah fundamental dalam meminimalisasi ketidakadilan. Melibatkan partisipasi aktif dari berbagai lapisan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan membantu memastikan bahwa semua suara didengarkan dan diperhitungkan.

Tak kalah penting, membangun kerjasama antar negara demi menangani isu-isu ketidakadilan global juga diperlukan. Terorisme bukan sekadar masalah satu negara; ia adalah fenomena lintas batas. Negara-negara perlu bersatu untuk menangkal penyebaran narasi kebencian dan mendorong keadilan serta rasa saling menghormati.

Akhirnya, dalam menilai akar terorisme, kita harus selalu ingat: menyisir kompleksitas masalah ini tidaklah mudah. Namun, yang terpenting adalah kita tidak hanya berfokus pada tindakan teror itu sendiri, melainkan juga pada sistem yang mendasarinya, yaitu ketidakadilan. Jelas, jalan menuju keadilan dan perdamaian adalah proses yang panjang, namun sangat mungkin. Sekeras apapun tantangannya, menemukan solusinya adalah hal yang mutlak demi masa depan yang lebih baik.

Related Post

Leave a Comment