Jang terlalu kepala batu, mamtua telpon sonde angkat. Mamtua suruh pi kuliah bukan baku lihat!
Teruntuk semua manusia di Langensari No 22 ..
Goresan luka yang membusuk pada ingatan menghantui dari cabang-cabang pohon mangga oleh setiap dari kita yang tak lagi saling menegur. Yang baru saja kembali dari kampung, yang baru saja berkunjung dari berbagai daerah, kita pernah sama-sama makan dan minum di Langensari. Dari kamar ke kamar, pintu hingga jendela, masuk lalu keluar, setiap harinya kita terhubung satu sama lain.
Ada sebuah ketakutan terbesar yang terjebak di dalam kamar kita dan kita semua mengetahuinya tapi tak ada kesadaran untuk meramal apa yang akan terjadi di masa depan. Saya mencoba merawat kamar saya dengan botol-botol minuman yang saya konsumsi setiap saat karena dalam keadaan sadar tak menyenangkan jika harus cemburu terhadap alat yang tak berdosa itu.
Tidak ada lagi yang berjemur ketika matahari naik lalu menikmatinya dengan garukan gitar selepas matahari jatuh. Suara tikus tanah lebih sering didengar karena mereka asyik menutup telinga sehingga tak mau disapa karena mereka sibuk membobol situs terlarang.
Saya berharap kecemburuan ini segera berakhir karena kita semua adalah putra-putri kebanggaan yang diberi tugas suci agar tak diperalat, ditipu lalu merasa malu, sehingga tak lagi menjadi budak di kampung sendiri.
Yang tidak akan kembali ke Langensari No 22, saya harap jangan merindu, apa lagi bertanya soal kabar. Karena kabar hari ini sedang diterpa badai digital yang merambat ke setiap kamar lalu terkurung karena pintu dan jendela tak lagi dibuka.
Bahaya yang tidak ditakutkan
Paradigma yang ditunjukkan pada zaman ini bukan ketakutan melainkan kebanggaan tanpa kekhawatiran yang merasa tak berdosa jika membiak lalu tersebar menjejak pada anak-anak yang tak berdosa. Mereka menolak lalu menilai sesuatu yang kuno dan memisahkan diri pasca membentuk kelompok feodal.
Baku tipu di media saat dimintai kebenaran sampai berlari ketakutan karena ingin dihabok massa. Konsensus sudah tidak lagi diindahkan, berkendara menemui mangsa yang telah dibooking dan saling mengajak melewati jalan rahasia untuk memuaskan nafsu yang serakah. Membentuk lingkaran, tiap-tiap dari mereka menunggu giliran tegukan pertama dan akhirnya saling membunuh. ”Buta huruf memang.”
Baca juga:
Jalan-jalan asalkan uang tidak habis untuk jajan. Yang satu menipu yang lugu, dua-duanya terhasut karena mabuk cinta yang membius lalu sama-sama cari dukun untuk kas gugur, itu cinta tai kucing tapi dengan dalil penipu ini terlalu baik untuk ditinggalkan. Jangan mudah percaya dengan golongan yang pintar merayu sebelum tenggelam hingga lapuk.
Bukan belajar tapi setiap kali gabut keluar cari angin hingga masuk angin. Jaket saja tidak cukup untuk menghangatkan maka dari itu mereka butuh pelukan untuk diboncengi waktu cari angin. Kegabutan itu tidak ada kejelasan yang menyebabkan si lugu dan penipu mati terbunuh di tangan kelompok yang oleh para elite.
Ada yang selalu tampil mengatasnamakan orang lain guna menambal keraguan, kekurangan dan kemaluan. Sungguh tidak ada yang lebih kejam dari wujud ini.
- Intelektual yang Konsisten - 27 Januari 2023
- Menghamba pada Ketakutan - 27 Desember 2022
- Demokrasi Bayang-Bayang? - 26 Desember 2022