Alexander

Alexander
©Projeto Gospel

Selepas misa tadi pagi, Alexander tergesah-gesah menuju pintu keluar. Misa pun belum usai, masih di bagian perutusan, ia sudah membungkukkan badan, berlutut, lalu beranjak pergi.

Gelagat aneh itu bukan baru hari ini. Tiga hari terakhir ini, ia sering kali ke luar gereja lebih awal. Tidak seperti biasanya. Padahal semua anggota gereja tahu, ia adalah salah seorang umat yang paling taat beribadah hingga akhir. Apalagi menjelang perayaan Natal seperti sekarang ini. Selalu mengambil tempat duduk paling depan. Sikap berdoa yang begitu sopan-khusyuk. Begitulah Alexander biasanya.

Tidak hanya itu, ia pun selalu menyempatkan diri untuk berdoa pribadi seusai misa. Pernah suatu waktu di musim seperti sekarang setahun yang lalu, seorang koster gereja terpaksa membuat doa pribadinya terputus di tengah jalan hanya karena doanya kelewat panjang dan pintu gereja yang mesti ditutup.

Kejadian itu bukannya menyurutkan semangat doa pribadinya, melainkan malah membuatnya makin intens berdoa pribadi selepas misa. Hanya semenjak kejadian itu, ia lebih sadar memaksimalkan waktu yang ada.

Kali ini, ia telah berubah drastis. Telah tiga hari ia lalaikan doa pribadinya. Dan rupanya beberapa dari umat gereja yang sering mengikuti misa juga memperhatikan gelagat aneh pada diri Alexander.

Persis setelah ke luar gereja, pagi ini, mereka kelihatan berdiri bergerombol di depan gereja. Diam-diam, aku mengambil tempat tidak jauh dari situ. Dalam diamku, aku mencoba menangkap isi pembicaraan mereka. Meski samar-samar, tentunya.

“Saya perhatikan, akhir-akhir ini, Si Alexander agak aneh ko,” Vinsensius mulai membuka percakapan.

“Iya, betul sekali, Vinsen. Entah ada masalah apa dia, tapi tidak seperti biasa ko dia begitu,” jawab Heribertus sambil merapikan celananya yang sedikit kedodoran.

Yang lainnya lagi, tampak hanya angguk-angguk saja. Entah atas dasar apa mereka menyetujui pernyataan tersebut.

Di tengah kebingungan itu, seorang bapak yang datang entah dari mana menghampiri mereka dengan napas naik-turun. Kata-katanya seketika seperti petir menyambar. Memecah keheningan sepagi itu. Mereka terpaku. Kucoba lebih dekat, lalu lebih dekat lagi, tapi tetap tak bisa sedikit pun kutangkap apa isi pembicaraan si bapak itu.

Entah apa yang sebenarnya ia jelaskan pada mereka. Yang jelas, volume suaranya sengaja dikecilkan. “Apa karena mereka menyadari kalau ada orang lain di sekitar mereka yang diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka?” batinku.

Baik Vinsensius, Heribertus, maupun anggota gereja yang lainnya mendadak bubar. Si bapak itu pun pergi ke arah yang berbeda. Sementara aku masih berdiri seorang diri. Persisnya membisu. Sederet pertanyaan mulai menari dalam kepalaku.

Apa hubungan si bapak tadi dengan Alexander? Apa dia keluarga atau kerabatnya? Lalu, apa isi pembicaraannya sehingga umat pun akhirnya pergi? Sebenarnya apa yang terjadi dengan Alexander?

Aku sungguh dibuatnya penasaran.

***

Aku mengenal Alexander jauh sebelum ia tinggal di kampung ini. Bahkan tidak ada satu pun orang di sini yang mengenalnya lebih baik daripada aku.

Kami bertemu di sebuah kampus swasta di Jogja. Kebetulan juga kami mengambil jurusan yang sama. Mungkin karena latar geografis yang sama, kedekatan kami terjalin cepat. Hari-hari selanjutnya, kami menjelma sahabat karib tak terpisahkan. Bersama-sama, kami melibatkan diri dalam organisasi internal maupun eksternal kampus. Kami getol menyuarakan kepentingan mahasiswa hingga masyarakat banyak. Tak jarang berbagai demonstrasi di Kota Jogja pun kami ikuti.

Meski begitu, kami tidak pernah lupa alasan utama kami dikirim ke Jogja oleh keluarga besar di kampung. Karena itu, meski aktif berorganisasi, aktif berkuliah merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar. Tidak tangung-tangung, kami pun menyelesaikan kuliah dalam kurun waktu empat tahun. Pencapaian itu serentak membungkam pendapat lawas bahwa mahasiswa yang aktif berorganisasi pasti akan terlambat wisudanya. Bahkan, tidak akan bisa selesai.

Begitulah hidup. Segala sesuatu tidak bisa berjalan sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya. Hidup selalu memberikan pilihan. Pilihan kami berdua jelas: sukses kuliah dan sukses juga dalam berorganisasi.

Selesai kuliah, entah bagaimana Alexander tertarik untuk ikut bersamaku mengabdikan diri di kampung halamanku. Entah apa yang mengorek nuraninya kala itu.

Sejak berada di kampung, kami mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Intinya kami seolah menjadi tenaga sosial siap pakai. Namun, bila menyangkut kepentingan gereja, kami selalu sepaham. Dari aktif mengikuti koor, menjadi anggota dewan paroki, hingga turut menggerakan dan memajukan kegiatan orang muda katolik (OMK) di paroki ini.

Dari situlah nama kami berdua perlahan-lahan, tapi pasti, mulai dikenal luas di seantero kecamatan hingga kabupaten. Adalah Rini, anggota OMK sekaligus anak semata wayang kepala desa di kampung kami yang diam-diam jatuh hati pada Alexander. Mereka berdua akhirnya menikah setelah melewati beberapa musim bersama. Pernikahan itu pun digelar di lapangan sepak bola.

Setelah menikah dengan Rini, anak kepala desa itu, nama Alexander kian tersohor setenar kepala desa, mertuanya. Ia pun direkrut menjadi sekretaris kepala desa, meski penunjukannya sempat melalui proses panjang dan terkesan kontroversial. Meski begitu, jauh di dalam hatiku, aku percaya bahwa sahabatku itu mampu mengemban tugas barunya tersebut. Toh, pengalamannya dalam berorganisasi sudah tidak diragukan lagi.

Semenjak menjadi sekdes itulah intensitas pertemuan kami mulai berkurang. Atas dasar kesibukan, kami tidak pernah bertemu lagi. Akhirnya, kami bertemu lagi dalam suatu forum debat di kantor desa.

Sebenarnya, di suatu malam yang agak gerimis, beberapa minggu sebelumnya, ketua lingkungan ke rumahku dan mengundangku hadir dalam rapat kampung. Awalnya, undangan tersebut kuanggap biasa saja. Namun, setelah ia memberi isyarat agar aku tak banyak bertanya, aku mendadak merasa suatu hal besar akan terjadi.

Setibaku di balai kampung, tempat diselenggarakannya rapat itu, banyak orang manyambutku dengan senyuman. Pertemuan kampung itu pun dimulai.

”Selamat malam, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Adapun maksud pertemuan kita malam ini tidak lain untuk memilih sekaligus mengutus salah seorang dari kampung kita untuk maju sebagai calon kepala desa pada bursa pencalonan kepala desa tahun ini,” ujar Ketua Lingkungan membuka pertemuan.

Mendengar itu, perasaanku mulai tak keruan. Hal itu pun terbukti benar. Kuketahui kemudian, ternyata sebelum pertemuan itu digelar, para tokoh kampung dan warga kampung sudah bersepakat memilih aku sebagai calon kepala desa dari kampung kami. Sementara rapat malam itu sebenarnya hanya formalitas semata.

Aku akhirnya ikut dalam bursa pencalonan kepala desa tanpa menyampaikan keberatan apa pun. Aku sendiri pun tidak ingin menodai kepercayan yang telah diberikan.

Begitulah perjalananku hingga berada di kantor desa dan mesti bersaing dengan sahabatku sendiri, Alexander. Perdebatan kami sebagai calon kepala desa berlangsung alot dan menegangkan. Namun, tetap berjalan lancar.

Selepas debat, aku ingin secara khusus berbicara dengan sahabatku itu, tapi entah kenapa para pendukungnya dan Alexander sendiri seperti menunjukkan tanda-tanda tidak bersedia bertemu aku. Aku pun mengurungkan niatku. Saat itu aku menyadari satu hal: persahabatan kami telah dinodai kepentingan dan kekuasaan.

Hari pemungutan suara pun tiba. Dan saat pembacaan suara menjadi momentum yang paling menegangkan.

“01…,” kata Antonius setelah membuka kertas suara yang telah dicoblos.

“02..”

“01..”

Begitu seterusnya…

Yang lainnya menjawab, “sah..sah…”

***

“Pak Frans, Pak Alexander tadi pergi membawa parang dan tali. Entah ke mana perginya,” suara seorang bapak tiba-tiba mengagetkanku.

“Para tetangga juga dikagetkan dengan amarahnya, Pak. Ia marah-marah pada istri dan juga anak-anaknya. Bahkan ia sempat mengancam istri dan anaknya dengan parang tersebut,” lanjut pria itu.

Tanpa basa-basi, kami berdua segera menuju rumah Alexander. Dalam perjalanan, baru kusadari bahwa bapak di sebelahku ini tidak lain adalah si bapak yang berbicara pada gerombolan umat tadi.

Istri dan anak-anaknya menerima kami dengan baik. Sebagian warga setempat menunggu di luar rumah. Dengan mata berbinar-binar dan nada suara naik-turun, istri Alexander mulai menjelaskan suaminya itu.

Selepas itu, mulailah kami mencari Alexander. Kami mulai dengan mengecek dari rumah-rumah kerabatnya di sekitar situ. Namun, ia tidak ada di sana. Di rumah mertuanya pun tidak ada. Akhirnya, kami mencarinya di salah satu kebun miliknya yang baru dibeli dari tetangga sebelah beberapa hari yang lalu. Kebetulan jaraknya kebun itu tidak terlalu jauh.

Sesampainya di sana, mata-mata kami dipaksa melotot. Sebagian lainnya tidak berani membuka mata. Seutas tali nilon besar telah melingkar pada leher. Persis di hadapan kami. Tidak ada satu kata pun yang ke luar. Kecuali tanya seorang anak muda di sebelahku. Itu pun dengan berbisik, “Pak Kades, bagaimana ini?”

Arnus Setu
Latest posts by Arnus Setu (see all)