
Menawan Isu Penundaan Pemilu dan 3 Periode Jabatan Presiden
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, sehingga penyelenggaraan Pemilu adalah hal yang penting untuk dilaksanakan. Hal itu termuat dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat. Amanat rakyat didelegasikan ke setiap individu-kelompok untuk mengisi setiap jabatan politik (eksekutif-legislatif) sehingga di sana mereka akan merumuskan kebijakan-kebijakan untuk kesejahteraan rakyat.
Dalam perjalanannya, Indonesia cukup memiliki pengalaman dalam melaksanakan Pemilu. Terhitung sejak pertama kali Pemilu digelar pada 1955 hingga 2019, Indonesia sudah 11 kali melaksanakan Pemilu dan dalam pelaksanaannya juga Pemilu mengenal dua pemilihan.
Menurut Undang-undang 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan, pertama, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; kedua, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota) dengan skala periode 5 tahun sekali.
Pada pelaksanaan di tahun 2019 lalu digelar secara bersamaan dan serentak. Tujuannya untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) secara reguler merupakan syarat mutlak bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Termasuk dapat membatasi kekuasaan.
Menurut teori demokrasi minimalis (Schumpertarian), Pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestan) antara aktor politik untuk meraih kekuasaan; partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan; liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara. Salah satu fungsinya, Pemilu merupakan sarana penggantian pemimpin atau rotasi kekuasaan secara konstitusional.
Melalui Pemilu, pemerintahan yang aspiratif akan dipercaya rakyat untuk memimpin kembali (public trust). Sebaliknya, jika rakyat tidak percaya, maka pemerintahan itu akan berakhir dan diganti dengan pemerintahan baru yang didukung oleh rakyat.
Akal-akalan Isu Penundaan Pemilu
Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah bersama dengan DPR Komisi II serta Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) sudah menyepakati penentuan hari pemilihan dan pemungutan suara. Opsi yang dipilih adalah hari Rabu, 14 Februari 2024.
Tentunya, pengambilan keputusan ini bukan asal-asalan. Membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam pengambilan keputusan tersebut. Adu argumentasi pun tak terhindarkan, demi dan untuk pelaksanaan pemilu dapat berjalan dengan sukses. mengingat sebelum hari pemilihan dan pemungutan suara nanti ada proses panjang yang tidak bisa dinegasikan.
Pasca diputuskan jadwal hari pemilihan dan pemungutan suara Pemilu tahun 2024, terembus isu penundaan pemilu dari salah satu pembantu presiden, tak lain adalah menteri Investasi Bahlil Lahaladia. Dirinya mengklaim, para pengusaha menginginkan pemilu ditunda. Pun, stabilitas politik dijadikan alasan untuk menumbuhkan ekonomi pasca pandemi covid-19.
Disusul ketua umum Partai Kesatuan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang mengusulkan pelaksanaan Pemilu ditunda paling lama 2 tahun dengan alasan yang kurang lebih sama yaitu recovery ekonomi nasional pasca terpaan ganasnya covid-19.
Tokoh elite partai lainya seperti Airlangga Hartarto dari Partai Golkar serta Zulkifli Hasan dari PAN.
Tak luput dalam arak-arakan isu penundaan Pemilu juga Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan yang dijuluki menteri segala urusan itu mengklaim bahwa hasil big data setidaknya ada 110 juta penduduk Indonesia yang menyatakan setuju dengan penundaan pemilu. Data ini bisa dikatakan fiktif serta alasan-alasan yang tidak logis. Sungguh hal yang terlalu dini untuk mengalami post power syndrom.
Sifat ketidaknegarawanan yang sudah dimunculkan di awal tahun ini oleh elite parpol tentu bisa menjadi refrensi untuk pemilih (voters) untuk jangan lagi memilih calon atau figur-figur politik yang seperti ini. Orang-orang yang seperti ini tidak bisa memikirkan kemaslahatan orang banyak, lebih-lebih hanya kepentingan pribadi dan koleganya saja. Bila perlu catat nama dan partainya agar kelak bangsa ini terhindar dari penyakit akut yang menggerogoti demokrasi.
Menurut hasil survei dari lembaga Survei Indonesia Polling Statation (IPS) pada Maret lalu, sebanyak 74,6% publik menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Survei ini dilakukan di 34 provinsi, terhadap 1.220 responden.
Halaman selanjutnya >>>
- Amanat Rakyat Jangan Dipermainkan - 9 April 2022
- Menggugat Dwifungsi ABRI di Era Reformasi - 10 Desember 2021
- Politics Is Not Bad - 21 Juli 2021