Dalam perjalanan sejarah bangsa kita, demokrasi seharusnya menjadi cahaya harapan yang menerangi jalan menuju keadilan dan keadaban. Sayangnya, saat ini, citra tersebut sudah pudar, tercermin dari amburadulnya budaya demokrasi kita. Kita ibaratkan seorang pelaut yang menjalani ombak ganas tanpa arah yang jelas. Di sinilah tantangan besar kita: mengarungi samudera yang penuh dengan badai ketidakpastian.
Demokrasi yang kita anut seharusnya menjadi ladang subur bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun, kenyataan membuktikan sebaliknya. Seiring berkembangnya waktu, semangat partisipasi tersebut sering kali terdegradasi menjadi sekadar formalitas belaka. Rapat-rapat yang dilaksanakan terkadang hanya menjadi ajang seremonial tanpa makna. Seolah-olah demokrasi kita adalah taman yang ditumbuhi rumput liar, mengabaikan keindahan yang seharusnya ada.
Perhatikan bagaimana proses pemilu yang kerap kali menjadi sorotan. Bukan hanya sekadar memilih, tetapi juga sebuah proses yang dilakoni dengan penuh ritual. Namun, dalam pelaksanaannya, banyak elemen yang merusak esensi dari pemilu itu sendiri. Penyuapan, manipulasi suara, hingga politisasi isu sosial menjadi bumbu konflik yang meresap ke dalam budaya politik kita. Hal ini menciptakan suasana yang merugikan, di mana kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi semakin memudar.
Budaya demokrasi juga terlihat dari sikap para pemimpin kita. Idealnya, pemimpin harus menjadi teladan, cerminan dari harapan rakyatnya. Namun, sering kali kita menyaksikan perilaku yang bertolak belakang. Pemimpin yang seharusnya mengayomi, malah terjebak dalam praktik nepotisme dan korupsi. Ini menciptakan citra buruk yang menyebar bak virus, meracuni harapan dan mimpi masyarakat untuk hidup dalam tatanan yang adil dan sejahtera.
Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah semakin melahirkan skeptisisme dalam diri rakyat. Masyarakat yang seharusnya menjadi penyeimbang dalam proses demokrasi, lambat laun menjadi apatis. Ia seperti bunga yang layu di tengah terik panas. Keterlibatan dalam diskusi politik berkurang, sementara suara-suara protes yang tadinya menggelegar kini teredam dalam sunyi. Ketidakberdayaan ini menjadi bumerang bagi perjalanan demokrasi kita.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa media massa memegang peranan penting dalam penyebaran informasi. Namun, media yang tidak independen atau tidak bertanggung jawab justru memperburuk situasi. Berita hoaks dan propaganda menjadi senjata yang digunakan untuk menyerang rival politik. Dalam keadaan ini, fakta menghadapi kesulitan untuk disorot, dan masyarakat kehilangan arah dalam mencari kebenaran. Media seharusnya berfungsi sebagai pilar demokrasi, tetapi ketika ia berfungsi sebagai alat kepentingan, bencana pun menanti.
Namun demikian, tidak selamanya gelap menyelimuti budaya demokrasi kita. Masih ada gempita harapan yang muncul dari berbagai komunitas, yang berusaha menyebarkan benih-benih kesadaran politik di kalangan generasi muda. Mereka adalah pelopor perubahan, mengajak masyarakat untuk kembali menggenggam esensi demokrasi. Kegiatan diskusi, pendidikan politik, dan kampanye sosialisasi dilakukan dengan semangat, harapan untuk membangkitkan kesadaran kolektif.
Berbagai gerakan ini perlu didorong, tidak hanya untuk menyadarkan rakyat, tetapi juga untuk menantang status quo yang berlaku. Terbukanya ruang partisipasi bagi masyarakat adalah langkah awal untuk membangkitkan kembali kepercayaan kepada sistem demokrasi. Ketika masyarakat merasakan urgensi untuk terlibat, kita akan kembali melihat taman demokrasi kita tumbuh subur, bersih dari rumput liar yang selama ini menghalangi.
Seiring dengan dinamika tersebut, penting bagi kita untuk melakukan refleksi. Sudahkah kita sebagai individu ikut berkontribusi dalam memperbaiki budaya demokrasi? Setiap tindakan kecil dapat memberikan dampak besar. Entah itu dengan mulai berdiskusi kritis di ruang publik, berpartisipasi dalam pemilu dengan penuh tanggung jawab, atau hanya sekedar memberikan informasi yang benar, semua itu merupakan bagian dari proses perbaikan.
Idealnya, demokrasi tidak hanya menjadi jargon yang diucapkan. Ia harus direpresentasikan dalam tindakan nyata yang bersumber dari hati dan nalar kita. Maka, ketika kita melihat budaya demokrasi yang amburadul, mari kita angkat bicara, mari kita terlibat. Jadilah bagian dari perubahan, bukan sekadar penonton dari kisah yang penuh gejolak ini. Keberanian untuk memperbaiki keadaan adalah bentuk cinta kita terhadap negara dan bangsa.
Demokrasi yang beranjak dari akar budaya yang kuat adalah harapan terbaik untuk masa depan. Jika kita bisa merawatnya dengan bijaksana, banyak pelajaran berharga akan terlahir dari perjalanan ini. Seperti pelaut yang akhirnya menemukan pulau tujuan setelah melewati badai, kita pun pasti bisa menemukan cahaya harapan dalam demokrasi yang berkeadilan dan beradab.






