Ancaman Demokrasi: Radikalisme, Komunisme, Separatisme, dan Korupsi

Ancaman Demokrasi: Radikalisme, Komunisme, Separatisme, dan Korupsi
©Kompas

Nalar Politik – R William Liddle, melalui artikelnya di Kompas (19/10), menyebut empat hal yang jadi ancaman demokrasi di Indonesia dari masa ke masa. Mereka adalah radikalisme, komunisme, separatisme, dan korupsi.

Dari aspek radikalisme, Masyumi dan Nahdlatul Ulama, sebagai dua partai besar era 1955, dinilai berpotensi menggenjot paham radikal tersebut. Itu lantaran keduanya masih memperjuangkan Piagam Jakarta yang kental nuansa identitas agama.

“Seandainya mereka berkuasa, lembaga dan prosedur demokratis kemungkinan besar harus tunduk pada suatu lembaga syariah yang pasti dikuasai para ulama. Kira-kira seperti berlaku kini di Iran,” tulis Liddle, sosok yang pernah memenangkan Anugerah Kebudayaan 2018 ini.

Adapun komunisme, Liddle turut menjadikannya sebagai ancaman sebab tawarannya adalah sistem pemerintahan sendiri, yang dikenal dengan sebutan kediktatoran proletar atau Leninisme. Apalagi pada 1955, dengan 16 persen suara nasional, Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil jadi satu dari empat partai besar, yang setelah itu berkembang terus sebelum akhirnya mati total.

“Kita boleh bersyukur bahwa partai itu tak ada lagi. Tujuan utamanya (adalah) menggantikan demokrasi dengan kekuasaan tunggal partai. Selain itu, kemungkinan besar Indonesia pecah andai dulu PKI menang.”

Perihal separatisme, ancaman yang sangat terasa menurut Liddle, yakni tentang Aceh, yang beberapa tahun sebelumnya diberi status daerah istimewa oleh Presiden Soekarno. Termasuk soal penderitaan masyarakat Simalungun dan Siantar, Sumatra Utara, yang digambarkan Ashadi Siregar secara mengharukan dalam novel Menolak Ayah.

Sayangnya, dari beragam hal yang mengancam demokrasi di atas, sebagaimana pengalamannya saat berkunjung pertama kali ke Indonesia di tahun 1962-1964, Liddle mengaku korupsi sebagai ancaman yang paling tidak terpikirkan kala itu.

“Seharusnya saya sadari dari awal, korupsi lama-kelamaan pasti menggerogoti kepercayaan warga pada absahnya negara demokratis.”

Ia lalu menceritakan bagaimana Pemilihan Wali Kota Siantar tahun 1964 justu melahirkan pemenang dari tim “kuda hitam”. Padahal awalnya sangat yakin bahwa loyalitas politisilah yang akan menentukan kemenangan di pemilihan tersebut.

“Saya sempat meramal calon mana yang akan lolos. Ternyata saya salah. Calon yang menang justru kuda hitam yang tak banyak dibicarakan. Beberapa orang baru mengaku menerima uang ketika saya tanya di rumah masing-masing. Pengakuan itu tidak dengan kata, tetapi dengan gerakan tangan universal yang menggambarkan uang.”

Belum Sirna

Memasuki tahun 2019, empat ancaman demokrasi tersebut di atas ternyata masih awet. Liddle mencatat belum ada yang seluruhnya hilang atau belum terselesaikan dari sejak 1955 sampai 2019 ini.

“Mungkin yang paling mengejutkan, bangkitnya radikalisme.”

Padahal, di awal Reformasi, sejumlah pengamat, termasuk dirinya, turut menyimpulkan bahwa gigi radikalisme sudah tercabut oleh kebijakan Soeharto. Kegiatan politik tokoh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, serta organisasi seperti NU dan Muhammadiyah diyakini ikut membenamkan paham radikal keagamaan tersebut.

“Namun, ternyata kini radikalisme hidup kembali. Terbukti terutama pada kampanye 2016-2017 yang menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.”

Untuk mengatasinya, Liddle menyarankan para pembantu (menteri) Jokowi di periode keduanya nanti membaca dua artikel jurnal berbobot, yakni Bijdragen tot de Taal, Land, en Volkenkunde (2018) oleh Marcus Mietzner, Burhanuddin Muhtadi, dan Rizka Halida; serta Pasific Affairs (2018) oleh Mietzner.

Khusus isu komunisme, walau sudah mati di mana-mana, setidaknya selaku ideologi kediktatoran proletar, tetapi tuduhan prokomunis masih tetap akan muncul, terutama bagi para politisi yang hendak bergerak mewakili kelompok masyarakat bawah. Cap prokomunis bagi pendukung wong cilik masih melekat dan membelenggu sampai hari ini.

Soal separatisme, ancaman besarnya memang sudah selesai di tangan BJ Habibie untuk kasus Timor Leste dan Jusuf Kalla di kasus Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi di zaman Jokowi, kericuhan di Papua yang baru-baru ini terjadi mengisyaratkan masalah separatisme belum terselesaikan.

Gerakan Antikorupsi

Tersebab korupsi jadi ancaman paling nyata bagi demokrasi, yang alih-alih memaksimalkan pencegahan melainkan “membunuh” KPK, Liddle kemudian memberi untaian penting lain sebagai solusi bagi gerakan antikorupsi di Indonesia.

“Kekuatan antikorupsi perlu cari strategi baru tanpa mengharapkan peran KPK ke depan atau bantuan berarti pemerintah.” Ini disampaikan mengingat revisi KPK baru saja usai, yang menurut Indonesia Corruption Watch sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah.

Hal kedua, usulan Burhanuddin Muhtadi dalam buku Vote Buying in Indonesia: the Mechanics of Electoral Bribery (Palgrave Macmillan, 2019) dipandang Liddle tepat menanganinya.

“Burhanuddin mengusulkan perubahan pada desain lembaga pemilu, pelaksanaan hukum, dan pendidikan pemilih. Ia usulkan perubahan dari perwakilan berimbang dengan daftar calon terbuka ke perwakilan berimbang dengan daftar calon tertutup.”

Di luar itu, dampak sistem distrik, yakni hanya satu anggota dewan dipilih per distrik, juga dinilai positif. Tetapi itu mesti didukung oleh pelaksanaan hukum jika tidak ingin strategi pembelian suara kian meluas tak terkontrol.

Apalagi diketahui, keinginan mayoritas pemilih menjual suaranya jadi pemandangan umum sampai sekarang. Sehingga, pendidikan sistematis dibutuhkan agar mereka menjadi intoleran atas praktik politik uang.

“Buku ini diterbitkan dalam bentuk akses terbuka; siapa pun boleh mengunduhnya. Pembaca budiman, manfaatkan kesempatan ini mendalami analisisnya. Makin luas dipelajari, makin jauh studi ini akan memengaruhi pemberantasan korupsi, khususnya di kabupaten dan kota: tingkat yang saya yakini paling penting dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia.”

Baca juga: