Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi isu yang krusial. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan alokasi sumber daya, tetapi juga mencerminkan kredibilitas dan integritas lembaga legislatif yang mengepalai administrasi lokal. Salah satu nama yang belakangan ini mencuat dalam diskursus ini adalah Andi Dodi Hermawan. Ia menyoroti bahwa proses pembahasan APBD Sulawesi Barat (Sulbar) tampak menyalahi aturan. Menggugah rasa ingin tahu, kita akan menelusuri fenomena ini lebih dalam.
Dalam setiap tahapan pembahasan APBD, terdapat norma dan prinsip yang harus diikuti. Apakah hal tersebut telah diindahkan dalam konteks Sulbar? Andi Dodi Hermawan, dalam wawancaranya, menegaskan bahwa ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku membuat proses tersebut berpotensi cacat hukum. Mengetahui hal ini, seharusnya masyarakat lebih kritis terhadap kedua institusi—eksekutif dan legislatif—yang memproduksi kebijakan publik.
Salah satu penyimpangan yang dikhawatirkan adalah praktik transparansi yang sering diabaikan. Dalam banyak kasus, proses pembahasan anggaran diselimuti oleh kurangnya informasi yang terbuka bagi publik. Penyampaian dokumen, seperti rancangan APBD, seringkali tidak disertai dengan penjelasan yang memadai atau tidak tepat waktu. Dodi menggarisbawahi pentingnya keterbukaan, karena transparansi adalah pangkal dari akuntabilitas. Tanpa transparansi, masyarakat tidak akan bisa baik mengawasi maupun terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.
Selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan peran legislasi dalam pembahasan anggaran. Dalam hal ini, Andi Dodi Hermawan menegaskan pentingnya pengawasan ekstensif terhadap eksekutif. Dia mengklaim bahwa dewan perlu mengambil sikap proaktif dan tidak hanya menjadi penjaga formalisme. Apakah anggota DPRD hanya akan menandatangani anggaran tanpa memahami sepenuhnya implikasi dari keputusan tersebut? Pendekatan yang lebih kritis dan rasional seharusnya diterapkan oleh mereka, demi keberlanjutan program-program yang dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat.
Kemudian, tak dapat diabaikan bahwa setiap alokasi anggaran dirancang tidak hanya untuk memenuhi tuntutan administratif, tetapi juga harus mampu merefleksikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini mengarah pada pertanyaan lebih dalam: Apakah APBD Sulbar mencerminkan kehendak rakyat? Dalam tingkatan tertentu, ketidakpuasan publik disebabkan oleh ketidakselarasan antara program yang diusulkan dan kebutuhan aktual masyarakat. Dodi berbicara tentang pentingnya melakukan survei dan telaah terhadap data sosial yang terkini, agar dana anggaran dapat disalurkan secara lebih efektif.
Jika kita memeriksa lebih jauh, ada satu aspek yang sering luput dari perhatian, yaitu keterlibatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan anggaran. Andi Dodi Hermawan menyoroti strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan partisipasi ini. Misalnya, forum-forum diskusi publik, yang mengundang warga untuk memberikan masukan mengenai rencana belanja daerah, akan menciptakan rasa kepemilikan. Dengan demikian, masyarakat merasa lebih terhubung dan memiliki peran dalam mendukung program yang mereka butuhkan.
Dalam menghadapi polemik ini, lainnya adalah bagaimana menyikapi kesulitan yang dihadapi dalam pengelolaan APBD. Andi Dodi Hermawan menegaskan bahwa analisis risiko harus menjadi bagian integral dari diskusi. Taktik ini mencakup identifikasi masalah yang berpotensi menghambat pencapaian target anggaran. Misalnya, potensi defisit anggaran bisa muncul jika proyeksi pendapatan daerah terlalu optimistis. Dan jika tidak dikelola dengan bijak, hal tersebut bisa menimbulkan implikasi yang jauh lebih serius bagi pembangunan daerah.
Pada akhirnya, pernyataan Andi Dodi Hermawan mengenai pelanggaran dalam pembahasan APBD Sulbar memunculkan pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab? Siapa yang seharusnya memperbaiki kesalahan jika anggaran tidak memenuhi tujuan yang seharusnya? Sebagai elemen penting dalam ekosistem pemerintahan daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diharapkan memiliki andil yang signifikan dalam hal ini, sekaligus mempertahankan kepercayaan masyarakat.
Dalam rangka membangun kepercayaan itu, tindakan konkret diperlukan. Masyarakat harus diberdayakan untuk aktif terlibat, sedangkan pihak legislasi harus mengoptimalkan fungsi kontrol dan pengawasan. Apalagi, di tengah banyaknya tantangan yang dihadapi oleh daerah, kesalahan sekecil apapun dalam pengelolaan anggaran dapat menjadi lompatan jauh ke belakang dalam proses pembangunan. Melihat signifikansi isu ini, kita berharap seluruh elemen dapat bersinergi untuk memastikan bahwa APBD Sulbar bukan hanya dokumen formal, tetapi juga alat yang efektif untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.






