Dalam kancah pemerintahan, terdapat sebuah tata kelola yang diharapkan dapat berlangsung dengan semestinya, berlandaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan. Namun, terkadang, cita-cita itu terperosok ke dalam kesemuan karena satu tindakan yang mengejutkan. Salah satu peristiwa yang menuai kontroversi baru-baru ini adalah pengangkatan adik seorang gubernur menjabat sebagai komisaris BUMD di Sulawesi Barat. Tindakan ini bukan hanya menghadirkan dilema etika, tetapi juga menggugat landasan hukum yang ada.
Analisis ini berusaha menggali lebih dalam implikasi dari pengangkatan tersebut. Sebagai pintu masuk, marilah kita pertimbangkan peribahasa tua: “Jika tidak ada angin, tidak akan ada pohon yang bergoyang.” Tindakan yang diambil oleh pejabat publik harusnya selaras dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah. Sayangnya, tindakan ini tampaknya seakan mengabaikan suara hukum yang seharusnya menjadi pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan.
Sekilas, pengangkatan tersebut mungkin terlihat sebagai momentum yang menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu. Namun, saat ditelisik lebih dalam, terungkap bahwa keputusan itu berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Pertama, pengangkatan anggota keluarga secara langsung dalam jabatan publik dapat menciptakan konflik kepentingan. Tindakan ini seakan merongrong independensi BUMD yang seharusnya dikelola sebagaima fungsinya dengan asas professionalisasi, bukan nepotisme.
Lebih jauh lagi, mari kita soroti pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah yang menjelaskan tentang larangan pengangkatan anggota keluarga dalam jabatan publik. Di sinilah letak peliknya persoalan ini; transisi dari norma ke realita menuntut kita untuk menjernihkan visi. Sebuah jabatan seharusnya diisi oleh individu yang kompeten, terlepas dari hubungan darah. Ketika keluarga menduduki posisi strategis, bukan tidak mungkin akan terjadi pengabaian terhadap aspek-aspek penting dalam perumusan kebijakan. Poin ini merugikan masyarakat yang diwakili, sebab pengambilan keputusan yang adil dan merata menjadi kabur.
Pemangku kepentingan, baik pemerintah daerah maupun masyarakat, seharusnya saling mengawasi dan mengingatkan akan norma serta hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, tugas media massa dan publik adalah untuk bersuara, agar tindakan yang tidak mengindahkan asas keadilan segera ditanggapi. Meresapi fragmen ini, cita-cita untuk menjunjung tinggi prinsip demokrasi mulai ternoda. Pada saat itulah, kepercayaan publik pun kian surut.
Dalam setiap keputusan, harus ada batasan yang jelas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Hal ini bukan sekadar rumusan teori; melainkan wujud dari tanggung jawab moral pemimpin. Apakah bisa kita bayangkan, seandainya setiap posisi strategis diisi oleh sanak keluarga? Akankah kuasa menjadi alat untuk menjamin kesejahteraan atau justru mengedepankan kepentingan segelintir orang?
Lebih menyentuh aspek emosional, kita sebagai masyarakat harus terus berupaya mengenali jargon-jargon yang sering kali digunakan politisi untuk melanggengkan kekuasaan. Munculnya istilah “komisaris profesional” kerap kita dengar, namun kenyataannya bisa jadi ini adalah sebuah kode untuk menyamarkan nepotisme. Anggaplah, selayaknya kita meniti jalan berliku yang penuh tikungan. Tanpa bimbingan dan pengawasan yang tepat, jalan itu berpotensi membawa kita ke jurang ketidakadilan.
Selanjutnya, kita harus giat beradaptasi dengan informasi dan fakta yang beredar. Publik perlu lebih selektif dalam memahami kebijakan yang diambil. Seperti sepenggal lirik lagu, “Lihatlah ke langit, jangan terbuai oleh bintang yang bersinar.” Bukan berarti kita mengabaikan pencapaian prestasi, namun meluangkan waktu untuk kritis adalah krusial. Kesadaran akan permasalahan tersebut penting untuk meng насих“ suara dan kritik, hingga keputusan yang diambil semakin dekat dengan kepentingan publik.
Pada akhirnya, sembari menelusuri setiap langkah dalam penugasan ini, kesadaran kolektif masyarakat menjadi pilar kekuatan. Dalam menyikapi tindakan pengangkatan adik gubernur menjadi komisaris BUMD, kita wajib bersikap proaktif. Hanya dengan cara ini, setiap individu dapat berfungsi sebagai garda terdepan yang menjaga integritas pemerintahan.
Dengan demikian, pengawasan dan pengelolaan yang baik adalah kunci utama dalam mencegah tindakan serupa di masa mendatang. Meski keadaannya bisa terbilang rumit, tetap ada harapan untuk menjadikan pemerintahan di Sulawesi Barat lebih berintegritas. Mari kita bersatu dalam usaha melawan ketidakadilan dan menjaga marwah demokrasi. Dalam pengejaran tersebut, setiap elemen masyarakat harus saling mendukung agar cita-cita keadilan benar-benar terwujud.






