
Disimak-simak, ada sekian partai politik yang membawa-bawa nama Islam. Apakah keberadaan mereka itu bikin umat Islam makin membaik?
Yang ada, umat Islam tergiring ke belakang, terbelakang, dan selalu mengeluh terzalimi.
Tokoh-tokoh partai politik yang getol menjual nama Islam itu juga acap terang-terangan membenturkan umat Islam dengan pemeluk agama lain. Ormas-ormas yang lihai memainkan emosi umat Islam menyokong tokoh-tokoh politik ini. Di sinilah kenapa tokoh-tokoh partai yang berdagang lewat nama agama ini merasa sangat terbantu.
Sekarang, siapa saja yang getol melempar kritikan terhadap partai politik penjual nama Islam itu akan berhadapan dengan tudingan memusuhi Islam. Atau bahkan tercap musuh Islam. Sekarang, bahkan Anda lebih aman melempar kritik terhadap pemerintah daripada kritik partai politik yang rajin berdagang nama Islam.
Jika Anda melempar kritikan terhadap pemerintah sekarang, paling cuma perlu menghadapi tuntutan hukum yang sudah jelas jika menjurus fitnah. Sementara, jika Anda mengkritik partai politik penjual nama Islam, selain cacian dan bully, berbagai risiko bisa terjadi atas Anda.
Sebab, meski pengikut partai politik penjual nama agama itu rajin membawa ayat suci, kelakuan mereka sering sangat keji.
Alasan saya kerap melempar kritikan sampai dengan kecaman terhadap tokoh-tokoh partai politik penjual nama Islam itu lahir karena terlalu sering melihat kekejian sampai pembodohan yang tak kenal henti mereka lakukan. Mereka mengemas diri dengan bermacam bungkus yang sangat suci, dan di sini banyak yang tertipu dan terugikan.
Melawan mereka, bagi saya, adalah perlawanan terhadap pembodohan. Sebab, yang mereka lakukan sama sekali bukanlah untuk mencerdaskan umat Islam, melainkan hanya memanfaatkan fakta bahwa mayoritas di negeri ini adalah muslim.
Baca juga:
Mayoritas secara jumlah, tetapi dalam hal kualitas, sebagai muslim, saya mengakui bahwa penganut agama ini juga paling terbelakang. Di antara bukti keterbelakangan itu adalah saat tidak mampu berdiri di depan, hanya bisa melempar kesalahan kepada umat beragama lain, atau kepada etnis yang identik dengan agama di luar Islam.
Sementara, saat Anda berusaha melempar kritikan ke dalam, seketika Anda tercurigai memusuhi Islam. Anda akan mendapat tudingan terlalu memuji-muji umat beragama lain.
Keterbelakangan umat Islam di negeri ini tak lepas dari kegemaran mabuk. Mabuk oleh perasaan paling besar, hingga luput berpikir untuk bisa melakukan hal besar.
Sementara umat agama minoritas yang harus kita akui sering terdiskriminasi cenderung memilih kalem, menolak banyak ribut, dan memaksimalkan untuk mengerahkan potensi yang mereka punya.
Nah, begitu umat agama lain terlihat lebih maju, tokoh-tokoh yang banjir gelar tetapi kering nurani langsung saja mengasah pisau kecurigaan. Tokoh-tokoh tadi rajin meneriaki jika umat beragama lain menzalimi umat Islam, menindas umat Islam, dan lain sebagainya.
Dari sana kebencian, kemarahan, sampai dendam tidak mendasar lantas lahir. Umat beragama lain yang tak berdosa hanya jadi kambing hitam. Dari sini juga benih-benih radikalisme menguat, dan para teroris menemukan alasan untuk menebar teror mereka terhadap umat beragama lain.
Umat Islam di negeri ini lebih banyak mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh yang ingin mencari panggung saja. Tokoh-tokoh itu makin keras bersuara karena mendapatkan posisi tinggi, umat muslim jatuh ke titik terendah. Gilanya, mereka menyalahkan pemeluk agama lain.
Maka kenapa setiap kali mendengar tudingan kesalahan ada pada umat beragama lain, ada perasaan geram. Ya, geram. Kok tokoh-tokoh yang punya ilmu selangit tetapi menjejali pikiran umat dengan pikiran kelas tong sampah?
Halaman selanjutnya >>>
- Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Kemenag RI - 30 November 2019
- Jalan Paulo Coelho Menjadi Penulis - 27 November 2019
- Sepak Bola Indonesia Lebih Hidup di Tangan Anak Muda - 25 Oktober 2019