
Asalkan kau bahagia.
ATM
Pernah dengar tentang orang kampung yang baru pertama datang ke kota? Pasti pernah, dong. Kalau belum, mari saya ceritakan.
Saya punya dua teman yang baru kali pertama datang ke Yogyakarta dengan niat mau kuliah. Sebut saja namanya si Mimin dan Memen (bukan nama sebenarnya).
Dua pemuda ini diterima di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Sebelum perkuliahan mulai, mereka berniat membuat kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri) karena, katanya, supaya Emak di kampung gampang kirim duit.
Setelah punya kartu ATM, hari itu juga mereka langsung mau ambil duit (katanya mau lihat duit keluar sendiri). Sebagai teman yang baik, saya antar mereka.
Sesampainya di depan mesin ATM, mereka tidak bersegera masuk, masih berdiri di depan pintu sebab ada ritual tertentu yang belum terlaksana. Saya lupa kalau mereka dari kampung (ehm…Biasa, saya sudah jadi orang kota dadakan).
Di kampung, kami tidak biasa masuk rumah orang sebelum dipersilakan. Tetapi gak mungkin juga nunggu mesin ATM jalan ke depan pintu, membuka pintu, dan mempersilakan mereka masuk sembari bilang, “Silakan masuk, Mas, saya sudah siap dimasuki dan digesek.” (ampun, asolole yeah..!!)
Sampai lebaran, Tengu (sejenis binatang yang biasanya mendiami pusar) juga tidak akan terlaksana. Itu pun kalau para Tengu merayakan: punya kue di atas meja, pakai baju baru, takbir rame-rame). Masyaallah, jadi rindu kampung.
Ini sedikit menggetarkan hati, betapa mereka memegang erat budaya lokal. Saking eratnya, terlihat sedikit b*doh. Singkat cerita, saya persilakan saja mereka masuk dan, setelah itu, kau tahu apa yang mereka perbuat?
Baca juga:
Mereka lepas sandal, Men..!! Subhanallah, bukan? Jujur, di kampung kami itu juga menjadi budaya. Melepas alas kaki sebelum masuk rumah.
Sembari terbelalak, saya kemudian tanya, “Kenapa dilepas?”
Di balik pintu dijawab, “Lantai ini terlalu suci untuk dinodai.”
Saat itu juga aura jahat saya keluar, ada niat buat mecahin kepala orang. Dari luar, saya lihat tingkah mereka (kacanya, kan, transparan, kayak baju tidur penganten baru, gitu). Ada yang aneh. Saya coba masuk. Kau tahu apa lagi yang mereka perbuat? Mereka heboh liat duit keluar sendiri!
Saya coba tegur, “Tenangno pikermu, Le! (tenangkan pikiranmu, Nak)”. Saya jadi ikutan teriak, tetapi gak digubris. Mereka masih asyik sendiri, seolah dunia milik berdua. Duit-duit itu mereka tertawakan. Mereka tunjuk seenak jidat! Mereka lecehkan! Heboh! Maaf, saya jadi ikutan emosi.
“Wo..wo..wo…, keluar lagi. Ambiiiilll!” tingkah Mimin katrok.
“Pencet lagi, pencet lagiiii.” Nih si Memen gak kalah heboh. Begitu berulang-ulang. Saya pilih diem, wong saya waras.
Peristiwa norak ini berlalu hampir setengah jam hingga sampai pada momen yang menegangkan. Saking asyiknya tertawa, si Mimin gak sengaja nepok “anu-nya” si Memen. Saat itu juga kusaksikan wajah Memen penuh lope-lope dan kupu-kupu dengan mata terbelalak (kau bayangkan sendiri).
Halaman selanjutnya >>>
- Pandemi dan Ruang Cerita - 6 Juni 2020
- Walaupun Kau - 23 Juli 2018
- Yang Tak Lagi - 19 Juli 2018