Di tengah kompleksitas politik Indonesia yang kental dengan nuansa agama, muncul pertanyaan menarik: Di mana suara suara agnostik, ateis, dan humanis sekuler di tengah para legislator di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)? Lantas, adakah ruang bagi pandangan dunia yang tak berlandaskan pada dogma agama dalam percaturan legislatif kita? Ini bukan sekadar pertanyaan retoris, melainkan tantangan yang perlu dijawab dengan tuntas.
Secara historis, peta politik Indonesia sangat dipengaruhi oleh doktrin keagamaan. Kebangkitan ormas-ormas Islam dan pengaruhnya dalam keputusan politik akan membuat siapa pun mempertanyakan keberadaan kelompok yang mengusung pandangan sekuler, apalagi ateis. Jika mayoritas populasi mengidentifikasi diri sebagai penganut agama, lalu ke mana perginya mereka yang hidup tanpa identitas agama?
Perkembangan masyarakat modern seharusnya memberikan refleksi lebih dalam tentang keberagaman perspektif. Namun dengan ketatnya garis ideologis yang dibentangkan oleh komunitas religius, kaum agnostik dan ateis sering kali terpinggirkan, dianggap sebagai kelompok minoritas tidak layak untuk terwakili. Keterasingan ini bisa muncul dari stereotip yang salah, di mana mereka dicap sebagai individu yang tidak memiliki moralitas atau kedekatan spiritual.
Ini membawa kita pada tantangan keempat: bagaimana menjamin bahwa suara-suara ini tidak hanya didengar, tetapi juga diintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan politik? Mengangkat isu ini berarti mendorong dialog yang lebih inklusif di ranah politik. Masyarakat sekuler, ateis, dan agnostik harus mampu menunjukkan bahwa mereka tidak kalah peduli terhadap isu-isu kemanusiaan, keadilan sosial, dan keberlanjutan. Namun, bagaimana langkah awal untuk menggapai tujuan tersebut?
Biarkan saya membagikan beberapa panduan yang bisa diadopsi oleh individu-individu dari spektrum agnostik, ateis, dan humanis sekuler dalam rangka memperjuangkan suara mereka di DPR.
1. Membangun Kesadaran Kultural
Pertama dan utama, membangun kesadaran akan keberadaan dan kontribusi mereka penting untuk mengubah pandangan umum. Sosialisasi ide, nilai, dan pendekatan yang dianut oleh kelompok ini dapat dilakukan melalui berbagai format, mulai dari seminar, workshop, hingga media sosial. Menciptakan konten yang informatif dan menarik menjadi penting untuk membuka mata publik terhadap berbagai pandangan. Pengenalan ini tidak hanya diperlukan di kalangan orang dewasa, tetapi juga sejak usia dini, melalui pendidikan yang penuh dengan keberagaman.
2. Mengorganisir Komunitas
Salah satu cara untuk memperkuat suara adalah dengan memfasilitasi pembentukan organisasi komunitas. Dalam konteks Indonesia, komunitas ini memiliki tugas penting dalam memberikan platform bagi individu dengan pandangan berbeda untuk berkumpul, berdiskusi, dan saling mendukung. Organisasi-organisasi ini juga dapat membantu dalam memformulasi posisi politik yang jelas. Melalui pemersatuan individu-individu ini, mereka dapat membuat pernyataan bersama dan menyebarluaskan aspirasi mereka ke arah yang lebih luas.
3. Terlibat dalam Proses Politik
Tak bisa dipungkiri, keberadaan di lapangan politik adalah dengan berpartisipasi langsung, baik melalui pemilihan umum maupun lobby kepada anggota DPR yang ada. Mereka yang paham tentang proses politik bisa mendorong agar agenda-agenda yang relevan bagi kelompok mereka dibahas. Terlibat aktif dalam kampanye politik untuk calon legislatif yang lebih inklusif menjadi kunci dalam merangkul aspirasi ini. Ini adalah langkah penting untuk membuka ruang bagi pemahaman yang lebih besar tentang sekularisme dalam legislatif.
4. Menggunakan Media dengan Bijak
Di era digital, alat komunikasi telah menjadi senjata yang sangat ampuh. Mempromosikan pemikiran dan ide-ide dari pengalaman dan pandangan hidup mereka melalui blog, video, atau podcast dapat menjangkau kelompok yang lebih luas. Media harus dipahami sebagai ruang yang bisa digunakan untuk mendidik audiens, berbagi pengetahuan, dan menciptakan refleksi terhadap norma-norma yang beredar. Ketika suara-suara ini terdengar secara luas, akan ada kesadaran yang lebih besar tentang keberadaan dan hak mereka di masyarakat.
5. Menjalin Aliansi dengan Kelompok Lain
Akhirnya, bijak untuk memulai dialog dengan kelompok lain yang mungkin memiliki kesamaan tujuan, seperti mereka yang memperjuangkan hak asasi manusia, kebebasan berkeyakinan, atau keadilan sosial. Dengan menciptakan sinergi, kelompok ini dapat saling mendukung dalam menciptakan kebijakan pro-kemanusiaan yang inklusif. Melalui aliansi strategis, suara mereka bisa menjadi lebih kencang, mampu menyaingi arus besar yang didominasi oleh kepentingan religius.
Dalam penutupan, meski DPR tidak memiliki wakil secara resmi bagi kelompok agnostik, ateis, dan humanis sekuler, penting bagi mereka untuk tetap bersuara dan memperjuangkan eksistensi di panggung politik. Bukankah ini tantangan bagi setiap elemen masyarakat untuk duduk bersama dan menciptakan wajah politik yang lebih representatif? Saatnya untuk pengakuan akan keberagaman yang lebih luas demi kemajuan demokrasi yang sejati.






