
Percikan air di pagi buta
Membuat hilang beban di atas mata
Namun agak sedikit menggigil
Kucoba hangatkan dengan kain suci
Dengan sejuta harapan dan mimpi
Segala pintaku padaNya
Melewati syahdunya keheningan
Di antara orang-orang yang masih terlelap
Ini sungguh berat, tapi memang nyata
Kucoba untuk menutupi
Meski tak ada kain yang benar-benar tebal
Semua orang menyaksikan dan tahu
Duh, kenapa sang penghitung jumlah hidup selalu ada
Aku sungguh malu dengan jumlahnya
Bahkan sangat malu dengan kemampuan ini
Diri yang masih tak pandai membimbing ruh dengan benar
Tengok sana-sini dengan sebayaku
Mereka ada yang sudah sungguh membanggakan setiap personal sedarahnya
Ada yang masih berjuang paruh waktu untuk sekedar menghidupi kesenangannya
Ada juga yang tetap berkeluh kesah tanpa bermodal tenaga
Tetapi ini si aku yang selalu insecure
Selalu tak pernah merasa puas dengan pencapaian
Selalu malu dengan jumlah tahun hidupnya
Yang selalu berkhayal sebelum lelap
Terkadang berusaha untuk menstimulus diri itu susah
Iya susah, jika tak pernah paham tentang sebuah perbedaan
Tak pernah paham tentang antomim hidup
Tak pernah paham dengan sinonim hak hidup dari Tuhan
Halaman demi halaman kulewati
Saat ini aku berada di halaman tujuh ribu tiga ratus
Dengan penuh rasa waswas
Yang akan kutulis tak ingin kejadian yang sama di lembar sebelumya
Catatan kelamku yang begitu banyak
Mengotori setiap halaman
Yang tak bisa kubersihkan
Yang kutulis pun tak bisa kurevisi
Begitu gemetarnya diri ini
Terbayang laporan pertanggungjawaban nanti
Semua goresan cerita di halaman akan jadi saksi
Apalagi setiap raga ini akan ikut berbicara
Melewatkan perasaan yang selalu gundah
Setiap sang kegelapan menyapa datang
Setiap menjelang menuju bunga tidur
Tak pernah terlewat aliran air dari sang indera penglihat
Dipahat dengan rasa ketakutan terbesar
Merekam bayangan yang telah lalu diiringi irama sesal
Merasakan setiap goresan yang melukai hati
Mengukir kenangan buruk di ujung kelamnya hari
Desahan napas yang berat itu
Seperti tak sanggup lagi menahan beban
Menahan kekhawatiran tak akan pernah bisa melepaskan beban
Memikirkan yang tak semestinya dipikirkan saat itu
Lantunan senandung cinta di masa puber
Memang tak seindah di masa halaman saat ini
Rasanya pahit menelan kenyataan
Jauh dari ekspektasi yang kubayang-bayang itu
Kisah kasih yang tak pernah kuminati
Karena terlalu membenci diri sendiri
Hingga selalu berkedok bahagia di setiap pertemuan
Menahan indahnya senyuman terpaksa hingga terasa pegal
Terlalu banyak ku memanipulasi diri sendiri
Tak pernah realistis pada diri
Bunga indah pun enggan kuberikan hadiah pada diri ini
Bukan benci ataupun tak mengapresiasi diri, tetapi entah kenapa selalu merasa kosong
Sang indra pemikirku yang selalu kubebani
Seribu permintaan maafku di halaman ini
Produktivitas akalku tak pernah berkesudahan
Relasi hati dan raga yang tak pernah sinkron
Daisy
Kertas putih di hari ini
Tak akan kuawali dengan duka
Tetapi berusaha canda tawa bahagia
Kalaupun sendiri akan kulewati
Bertemu jalan buntu itu omong kosong
Semua bisa membuat jalannya sendiri
Ini problematika waktu
Yang tak bisa diulang kembali
Piciknya harus kubuang
Egois harus kumusnahkan
Mencintai harus kuperjuangkan
Menjaga harus kupertahankan
Meski kugores tak pakai tinta emas
Tapi akan kubuat kesanku lebih berharga daripada emas
Bukan tentang kemewahan barang
Ini tentang kemewahan bersyukur
Kuwarnai setiap lukisan dalam lembaran ini
Hanya abstrak pun tak apa
Ku belajar men-support diri
Mulai dari hal yang tak seberapa
Selamat datang diriku yang baru
Selamat berpetualang
Selamat ber-survival
Selamat, mudah-mudahan selamat
Menyusuri lautan dengan bekal pengetahuan
Berenang hingga palung cita-cita
Menjelajahi samudra sosial
Hingga bersantai di pesisir pantai menikati indahnya sunset keberhasilan
- Bab Dua Puluh - 23 Mei 2022
- Dosa Terindah - 21 Mei 2022
- Tadabbur wa Tafakur - 29 Juli 2021