Bab Dua Puluh

Bab Dua Puluh
©Qureta

Percikan air di pagi buta
Membuat hilang beban di atas mata
Namun agak sedikit menggigil
Kucoba hangatkan dengan kain suci

Dengan sejuta harapan dan mimpi
Segala pintaku padaNya
Melewati syahdunya keheningan
Di antara orang-orang yang masih terlelap

Ini sungguh berat, tapi memang nyata
Kucoba untuk menutupi
Meski tak ada kain yang benar-benar tebal
Semua orang menyaksikan dan tahu

Duh, kenapa sang penghitung jumlah hidup selalu ada
Aku sungguh malu dengan jumlahnya
Bahkan sangat malu dengan kemampuan ini
Diri yang masih tak pandai membimbing ruh dengan benar

Tengok sana-sini dengan sebayaku
Mereka ada yang sudah sungguh membanggakan setiap personal sedarahnya
Ada yang masih berjuang paruh waktu untuk sekedar menghidupi kesenangannya
Ada juga yang tetap berkeluh kesah tanpa bermodal tenaga

Tetapi ini si aku yang selalu insecure
Selalu tak pernah merasa puas dengan pencapaian
Selalu malu dengan jumlah tahun hidupnya
Yang selalu berkhayal sebelum lelap
Terkadang berusaha untuk menstimulus diri itu susah
Iya susah, jika tak pernah paham tentang sebuah perbedaan
Tak pernah paham tentang antomim hidup
Tak pernah paham dengan sinonim hak hidup dari Tuhan

Halaman demi halaman kulewati
Saat ini aku berada di halaman tujuh ribu tiga ratus
Dengan penuh rasa waswas
Yang akan kutulis tak ingin kejadian yang sama di lembar sebelumya

Catatan kelamku yang begitu banyak
Mengotori setiap halaman
Yang tak bisa kubersihkan
Yang kutulis pun tak bisa kurevisi

Begitu gemetarnya diri ini
Terbayang laporan pertanggungjawaban nanti
Semua goresan cerita di halaman akan jadi saksi
Apalagi setiap raga ini akan ikut berbicara

Melewatkan perasaan yang selalu gundah
Setiap sang kegelapan menyapa datang
Setiap menjelang menuju bunga tidur
Tak pernah terlewat aliran air dari sang indera penglihat

Dipahat dengan rasa ketakutan terbesar
Merekam bayangan yang telah lalu diiringi irama sesal
Merasakan setiap goresan yang melukai hati
Mengukir kenangan buruk di ujung kelamnya hari

Desahan napas yang berat itu
Seperti tak sanggup lagi menahan beban
Menahan kekhawatiran tak akan pernah bisa melepaskan beban
Memikirkan yang tak semestinya dipikirkan saat itu

Lantunan senandung cinta di masa puber
Memang tak seindah di masa halaman saat ini
Rasanya pahit menelan kenyataan
Jauh dari ekspektasi yang kubayang-bayang itu

Kisah kasih yang tak pernah kuminati
Karena terlalu membenci diri sendiri
Hingga selalu berkedok bahagia di setiap pertemuan
Menahan indahnya senyuman terpaksa hingga terasa pegal

Terlalu banyak ku memanipulasi diri sendiri
Tak pernah realistis pada diri
Bunga indah pun enggan kuberikan hadiah pada diri ini
Bukan benci ataupun tak mengapresiasi diri, tetapi entah kenapa selalu merasa kosong

Sang indra pemikirku yang selalu kubebani
Seribu permintaan maafku di halaman ini
Produktivitas akalku tak pernah berkesudahan
Relasi hati dan raga yang tak pernah sinkron

Daisy

Kertas putih di hari ini
Tak akan kuawali dengan duka
Tetapi berusaha canda tawa bahagia
Kalaupun sendiri akan kulewati

Bertemu jalan buntu itu omong kosong
Semua bisa membuat jalannya sendiri
Ini problematika waktu
Yang tak bisa diulang kembali

Piciknya harus kubuang
Egois harus kumusnahkan
Mencintai harus kuperjuangkan
Menjaga harus kupertahankan

Meski kugores tak pakai tinta emas
Tapi akan kubuat kesanku lebih berharga daripada emas
Bukan tentang kemewahan barang
Ini tentang kemewahan bersyukur

Kuwarnai setiap lukisan dalam lembaran ini
Hanya abstrak pun tak apa
Ku belajar men-support diri
Mulai dari hal yang tak seberapa

Selamat datang diriku yang baru
Selamat berpetualang
Selamat ber-survival
Selamat, mudah-mudahan selamat

Menyusuri lautan dengan bekal pengetahuan
Berenang hingga palung cita-cita
Menjelajahi samudra sosial
Hingga bersantai di pesisir pantai menikati indahnya sunset keberhasilan

Nurul Arafah
Latest posts by Nurul Arafah (see all)