
Dalam kampanye terbukanya di Stadion Sidolig, Bandung, Prabowo Subianto menyinggung ihwal bagi-bagi kursi kabinet kepada partai koalisinya.
Ibarat gayung yang bersambut, Direktur Media Badan Pemenangan Nasional (BPN), Hasyim Djodjohadikusumo, mempertegas ihwal bagi-bagi kursi kabinet sebagaimana disampaikan Prabowo. Menurutnya, tujuh kursi utuk PAN dan enam kursi untuk PKS. Sedangkan untuk partai lainnya masih jadi pertimbangan.
Bagi-bagi kursi kabinet ala Prabowo-Sandi ini tidak etis mereka perbincangkan di hadapan publik, apalagi pilpres belum selesai dan belum tentu Prabowo-Sandi menang. Dalam hal ini keseriusan pasangan Prabowo-Sandi dalam memperjuangkan nasib rakyat seperti yang selama ini mereka teriakkan patut disoal.
Bagi-bagi kursi kabinet cukup menjadi bukti bahwa pasangan Prabowo-Sandi tidak sedang berjuang untuk kemaslahatan umat dan bangsa, melainkan berjuang untuk kesejahteraan diri, kelompo, dan partai politik koalisinya. Seharusnya membincang tentang bagaimana menyejahterakan rakyat dahulu daripada grasa-grusu persoalan bagi-bagi kursi yang tidak substantif dan terkesan pragmatis.
Pragmatisme politik memang tidak akan terhindarkan dari kontestasi politik kita dewasa ini, tetapi melemparkan pembicaraan ihwal bagi-bagi kursi ke depan publik di saat para pendukungnya mati-matian memperjuangkannya supaya menang adalah tindakan yang naif dan konyol. Tindakan semacam ini menjadi satu indikasi bahwa orientasi politiknya adalah kekuasaan bukan kesejahteraan.
Pengamat politik Indonesian Public Institute, Jerry Massie, menyatakan bahwa pembicaraan ihwal bagi-bagi kursi sebelum pelaksanaan pemilu adalah tindakan yang tidak perlu kita lemparkan ke publik. Dia menilai apa yang Hasyim lakukan adalah tindakan yang gegabah.
Pada saatnya, kesejahteraan rakyat tidak akan mereka pedulikan sebagaimana yang mereka janjikan dalam setiap debat dan kampanyenya. Karena kursi kekuasaan lebih empuk dan lebih berharga dari sekadar membincang persoalan kesejahteraan. Kesejahteraan, pada hakikatnya berada di urutan paling buncit dari sekian banyaknya janji-janji politiknya. Karena yang utama adalah bagi-bagi kekuasaan dalam bentuk kursi-kursi jabatan.
Wacana bagi-bagi kursi jabatan di kubu Prabowo-Sandi jelas merugikan pasangan ini. Karena, secara tidak langsung, wacana ini telah membuka bobrok pasangan ini kepada khalayak sebagai pasangan yang haus akan kekuasaan dan gila akan jabatan. Juga membuat koalisi ini terpecah belah karena bagi-bagi kursi kabinet akan ternilai tebang pilih, padahal semua partai koalisi merasa bekerja secara total memenangkan pasangan Prabowo-Sandi.
Baca juga:
- Minim Pengalaman, Gagasan Prabowo-Sandi Dipertanyakan
- Prabowo-Sandi Bagai Sopir Kondektur Ubah Jalur di Tengah Jalan
Stigma negatif ini tentu akan mengurangi kepercayaan publik, dan bahkan mampu mengubah pandangannya terhadap pasangan Prabowo-Sandi, sebagai pasangan yang peduli akan hajat rakyat kecil. Rakyat kecil hanya menjadi azimat untuk memenangkannya dalam kontestasi pilpres pada 17 April mendatang.
Bagi-bagi kursi, kalau memang penting kita perbincangkan sejak sekarang, seharusnya menjadi konsumsi internal partai politik koalisinya, bukan malah terhidangkan ke hadapan publik kita. Karena hal ini akan menjadi blunder politik bagi pasangan Prabowo-Sandi dalam memenangkan kontestasi pilpres. Apalagi elektabilitas pasangan Jokowi-Ma’ruf berada jauh di atas elektabilitasnya sebagai pasangan penantang menurut mayoritas lembaga survei yang kredibel dan akuntabel.
Memang tidak menutup kemungkinan, siapa pun yang memenangkan pilpres, bagi-bagi kursi kabinet dan jabatan lainnya pasti mereka praktikkan. Tetapi membincangkannya ke hadapan publik sebelum pelaksanaan pilpres sungguh di luar kewarasan nalar politik kita.
Para elite tidak perlu menutup telinga dan menyipitkan mata. Bahwa pilpres itu bukanlah ajang berebut ambisi kekuasaan dan membagi-bagikan kursi jabatan yang berorientasi kenikmatan sesaat. Melainkan ajang berebut kepercayaan rakyat demi mewujudkan masyarakat sejahtera sebagaimana cita-cita bersama.
Jika hasrat berkuasa menjadi orientasi politik para elite kita, maka kesejahteraan, sebagaimana jadi impian semua masyarakat, akan jauh panggang dari kenyataan. Karena mereka akan mengesampingkan kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan hajat masyarakat kecil. Memprioritaskan kepentingan diri dan kelompoknya menjadi nomor wahid.
Jika kepentingan dan hajat masyarakat kecil mereka kesampingkan, kemudian apa yang bisa kita harapkan dari suatu kepemimpinan? Perubahan dan perbaikan yang mereka janjikan hanya akan menjadi ilusi bagi masyarakat kecil tanpa akan pernah mencicipi wujud perubahan itu sendiri. Karena perubahan hanya jadi pemanis dalam setiap kampanye lima tahunan. Tidak lebih.
Perbincangan ihwal bagi-bagi kursi kabinet selayaknya menjadi komunikasi yang intim di antara partai-partai koalisi. Perbincangan ini, bagi saya, dan tentu bagi kebanyakan masyarakat yang melek politik, terlalu vulgar.
Baca juga:
- Sikap Politik Kubu Prabowo-Sandi Tidak Jelas
- Penghargaan Kebohongan: Prabowo Terlebay, Sandiaga Terhakiki
Pendukung Prabowo-Sandi yang cintanya setengah mati seharusnya tidak disuguhi wacana bagi-bagi kursi jabatan, terlebih menjelang detik-detik terakhir pilpres. Karena tidak menutup kemungkinan pendukungnya yang cintanya setengah mati itu akan berbalik dukungan kepada pasangan lain.
Politik itu seperti sepak bola. Selama peluit belum tertiup, kesempatan untuk membalikkan keadaan dan menang masih terbuka lebar. Tergantung kecerdasan tim lawan menciptakan peluang dan kegoblokan tim lawan melakukan blunder. Sebagaimana yang pasangan Prabowo-Sandi lakukan hari ini dengan melemparkan wacana bagi-bagi kursi ke hadapan publik kita yang gilanya setengah matang.
- Investor Politik dan Pilkada Kita - 1 Maret 2020
- Pilkades Kita yang Horor - 5 November 2019
- Bagi-Bagi Kursi Kabinet ala Prabowo-Sandi - 9 April 2019