Beramai-ramai Melanggar Konstitusi

Beramai-ramai Melanggar Konstitusi
©Hukumonline

Beramai-ramai Melanggar Konstitusi

Selasa, 21 Maret 2023 kemarin Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi undang-undang (UU).

Meski banyak ditolak berbagai kalangan, baik akademisi, aktivis maupun buruh, namun DPR tetap saja ngotot mengesahkan Perppu Cipta Kerja menjadi UU—yang sejak dari awal—penerbitan Perppu Cipta Kerja cacat secara konstitusional. Karena tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.

Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Ini yang kemudian diterjemahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bahwa syarat adanya kegentingan yang memaksa: pertama, kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan persoalan hukum secara cepat.

Kedua, kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum, tetapi tidak dapat diselesaikan dengan cara membuat undang-undang biasa karena prosesnya lama.

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, ada tiga unsur adanya kegentingan yang memaksa, yang secara komulatif harus dipenuhi dalam menerbitkan Perppu. Pertama, adanya ancaman yang membahayakan. Kedua, kebutuhan yang mengharuskan. Ketiga, keterbatasan waktu yang mendesak. Jadi, penerbitan Perppu Cipta Kerja jelas-jelas melanggar konstitusi. Karena tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa.

Bila kita cermati secara saksama, pertimbangan hukum pemerintah dalam menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Pertama, dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim dan terganggunya rantai pasokan telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dan terjadinya kenaikan inflasi yang berdampak secara signifikan terhadap ekonomi nasional. Kedua, perang Rusia-Ukraina, ekonomi pascapandemi covid-19 dan potensi resesi tahun 2023.

Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak memiliki dasar yang kuat adanya unsur kegentingan yang memaksa. Penerbitan Perppu Cipta Kerja hanya “perkiraan ataupun dugaan semata”. Dengan kata lain, penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak memiliki unsur adanya kegentingan yang memaksa.

Memang betul penerbitan Perppu merupakan hak subjektif presiden, tetapi bukan berarti kemudian presiden mengabaikan tiga syarat keadaan objektif dalam menerbitkan Perppu.

Baca juga:

Penerbitan Perppu Cipta Kerja jelas-jelas mengabaikan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). MK memutuskan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Menurut MK, ada dua persoalan hukum dalam pembentukan UU Cipta Kerja. Pertama, proses legislasi UU Cipta Kerja dengan menggunakan metode omnibus law belum termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).

Bukannya melaksanakan putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR malah menyiasati putusan MK dengan merevisi UU P3 (UU No. 13 Tahun 2022 tentang P3) dan memuat metode omnibus law  di dalamnya sebagai legitimasi UU Cipta Kerja.

Kedua, proses legislasi UU Cipta Kerja tidak melibatkan partisipasi publik bermakna (meaningful participation). Publik memiliki hak untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya dan mendapatkan jawaban atau penjelasan atas pendapatnya.

Karena itu MK meminta kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun. Alih-alih memperbaiki UU Cipta Kerja, pemerintah malah menerbitkan Perppu Cipta Kerja.

Aneh memang. Dikatakan aneh karena Perppu Cipta Kerja muatan dan isinya UU Cipta Kerja—hanya  beberapa yang diubah—tetapi kemasannya Perppu. Artinya, sifat kegentingan yang memaksa sebagai syarat diterbitkannya Perppu gugur.

Pengesahan Perppu Cipta Kerja

Perppu merupakan hak subjektif presiden. Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Meski Perppu diterbitkan secara subjektif oleh presiden, Perppu tetap akan diuji secara objektif di DPR, apakah Perppu tersebut disetujui oleh DPR atau ditolak.

Pasal 22 ayat (2) UUD NRI 1945, “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam  persidangan yang berikut”. Lebih lanjut, Pasal 22 ayat (3) UUD NRI 1945, “jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabut”.

Baca juga:

Konstitusi telah menyebutkan secara eksplisit, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut dan jika tidak mendapat persetujuan, maka Perppu tersebut harus dicabut.

Dalam penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3, yang dimaksud dengan persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Masa sidang pertama DPR telah berakhir sejak 16 Febuari 2023 lalu. Dengan demikian, seharusnya Perppu Cipta Kerja dicabut.

Jadi, pengesahan Perppu Cipta Kerja jelas-jelas melanggar konstitusi dan norma hukum UU P3. Pelanggaran ini lebih kepada sikap elite-elite politik yang tidak taat terhadap hukum dan konstitusi.

Kini “bola ini” bergelinding ke MK, apakah MK berani “menendang kembali bola itu atau malah menggolkan”? Tapi rasa-rasanya sangat sulit, melihat MK akhir-akhir ini jauh dari harapan!