
Daya dan kekuatan rasio kerapkali tak berfungsi. Apakah memang demikian? Bukankah hampir seluruh aktivitas yang kita lakukan selalu mendahukan peranan rasio untuk mempertimbangkan dan memutuskan baik buruk tindakan kita?
Dinamika aktualitas hidup kita tak terlepas dari intervensi rasio. Saya bertindak seturut apa yang diputuskan hukum rasio. Namun kita juga perlu sadar dan ketahui bersama bahwa rasio pada waktu tertentu tidak berfungsi secara baik. Pada saat itu, diri kita dapat menyerupai manusia robot. Manusia yang bisa bergerak sejauh ada orang yang menggerakkannya.
Kita perlu berusaha menemukan causa prima yang menyebabkan kita bertindak seperti robot. Manusia artifisial yang bergerak dan mengikuti arahan dari tuan saja. Kita bertindak demikian, artinya bahwa kita sepenuhnya mengarahkan dan menaruh kepercayaan total kepada tuan yang mengerakkan kita.
Kita memandang dia sebagai tuan yang mempunyai kuasa dan kebenaran mutlak dalam dirinya sehingga kita patut tunduk kepadanya. Pandangan seperti ini memperlemah dan mematikan fungsi rasio kita. Rasio kita diubah menjadi benda mati. Tentunya hal itu bukan tanpa sebab. Hemat saya, setidaknya ada beberapa sebab yang dapat membatasi fungsi rasio kita.
Tuan yang Berotoritas dan Berkuasa
Acapkali rasio menjadi korban keganasan kekuasaan yang dimiliki tuan. Setiap orang mempunyai kebebasan untuk mewujudkan dirinya. Tidak ada hal mutlak yang bisa membatasi kebebasan setiap orang ketika ia mengekspresikan keautentikan dan orisinalitas dirinya. Hal ini berarti setiap orang berhak mengekspresikan kebebasannya secara bertanggung jawab entah di mana saja berada.
Namun demikian kadangkala ruang kebebasan kita dikuasai dan diambil alih oleh orang-orang tertentu sehingga ruang yang disediahkan bagi kita menjadi sangat sempit dan sangat ekstrem. Pengambilan ruang kebebasan kita, mereka melibatkannya dengan kekuatan dan daya ampuh tertentu. Daya dan kekuatan yang saya maksudkan adalah kekuasaan atau otoritas yang sewenang-wenang.
Kekuasaan dan otoritas kita jumpai di mana-mana. Yang paling tampak dan kita alami setiap hari, misalnya di dalam gereja, lembaga pemerintahan, di sekolah dan sebagainya. Mereka sering tampil dengan kekuatan tertentu untuk memaksaan kehendaknya kepada orang lain.
Memang secara fisik tindakan mereka tidak terbukti. Namun secara otoritas dan kekuasaan mengondisikan kita, memaksa kita untuk tunduk. Di sinilah terjadi penjajahan atas kemampuan berpikir kita. Mereka menguasai kita dengan menyajikan janji-janji manis yang penuh spekulasi, janji manis yang tidak pernah didapatkan. Kita begitu gampang menerima dan meyakini sebagai suatu kebenaran mutlak, maka kemampuan bernalar kita pun ikut ditumupulkan.
Baca juga:
- Perempuan Aktor Penting untuk Pembiasaan Berpikir Kritis di Masyarakat
- Demokrasi dan Tanggung Jawab Berpikir
Sesungguhnya siapa yang bersalah? Ini akibat dari kekuasaan mereka ataukah memang karena kesalahan kita?
Jika melihat keduanya dengan pisau kritis, kita bakal terkejut bahwasanya karena kita kurang mengoptimalkan kemampuan bernalar kita. Kemampuan bermalar kita banyak dikepung oleh berbagai dogmamatisme dan sistem lembaga yang terstruktur dan sistematis. Nalar kita ditemboki secara rapi dan ketat sehingga kemampuan bernalar kita tak berkutik untuk bergairah mencari tempat mengekspersikan secara bebas.
Di tengah ketidakberdayaan, jalan satu-satunya untuk membebaskan diri adalah pasrah dan menerima segala sesuatu yang menimpa walau artifisial dan dapat merugikan. Ketika menerimanya tanpa berpikir kritis dan mandiri, di situlah tempat berakhirnya napas nalar kita.
Di tengah terjadinya penindasan besar-besaran, muncullah beberapa tokoh yang gagah perkasa dan berani untuk melawan mereka dengan pedang pengetahuan dan kekuatan rasio kritis. Tampaknya sekelompok tokoh yang sangat berpengaruh itu sama sekali tidak suka dengan dogma-dogma dan sistem lembaga yang terstruktur rapi dan ketat. Yang sudah sekian tahun membikin manusia kehilangan keautentikan dirinya dan menderita.
Pemandangan ini sungguh sangat mengganggu kebatinan mereka. Untuk itu mereka bersepakat untuk mencari solusi yang tepat. Hal ini dibuat agar manusia tidak lagi menjadi budak atas dogma dan tuan yang berwatak otoritatif.
Mereka sudah meninjau, menangkap, menganalisis, dan mengkritisi bangunan kokoh, yang telah menguasai manusai selama sekian tahun lamanya. Usaha mereka ini mampu berhasil menemukan di dalamnya sesuatu yang sangat bertentangan bahkan tidak nyaman ketika bersentuhan dengan nalar kita. Maka mereka mengambil langkah strategis agar pemandangan yang sangat menganggu itu dibuat dan ditata seindah mungkin.
Orang-orang pada akhirnya menghirup hawa segar. Dalam artian bahwa sanggup berpikir secara mandiri tanpa terikat pada suata aturan atau dogma tertentu.
Mereka yang berjasa itu ialah para pemikir modern. Mengapa mereka disebut sebagai pemikir modern? Karena usaha dan perjuangan mereka mampu berhasil meruntuhkan tembok atau cara berpikir klasik.
Halaman selanjutnya >>>
- Guru Tanpa Tanda Jasa - 4 Desember 2022
- Filsafat Perdamaian Eric Weil dan Indonesia - 22 September 2022
- Kesehatan dan Budaya Hedonistik - 18 September 2022